Minggu, 03 Januari 2016

Sekarang Sudah Tahun 2016

Sekarang Sudah Tahun 2016

  M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 02 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di pengujung tahun 2015, Presiden FIFA Sepp Blater dan Presiden UEFA Michel Platini dihukum oleh FIFA. Dua tokoh kunci yang begitu melegenda di dunia sepak bola itu tak kebal juga. Komite Etik FIFA sebagaimana disampaikan hakim asal Jerman, Hans-Joachim Eckert, bahwa Blatter dan Platini dihukum karena bayaran senilai 1,35 juta poundsterling pada 2011. Mereka dilarang terlibat di kegiatan sepak bola selama delapan tahun ke depan. Padahal, sepak bola adalah darah kehidupan mereka.

Sebelumnya, dalam waktu hampir sama, masih di sekitar pengujung tahun 2015, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak memberi putusan tegas terhadap Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus ”papa minta saham” PT Freeport. Meskipun semua ”hakim yang mulia” MKD menyatakan Novanto melanggar etika, bahkan beberapa di antaranya mengategorikan berat, tetapi tidak memberi putusan begitu Novanto mundur dari Ketua DPR sebelum sidang putusan MKD rampung. Sidang MKD yang sempat membuat gaduh menjadi antiklimaks. Seakan-akan masalah pelanggaran etik selesai seiring mundurnya Novanto.

Inilah bedanya realitas di negara kita dan negara orang lain. Kalau Blatter dan Platini dihukum ”karier dan kehidupan masa depannya” sehingga peluang untuk mengulangi perbuatan dapat dicegah. Namun, Novanto bukan saja tidak dihukum ”karier dan masa depan kehidupannya” sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang politisi yang merupakan pimpinan lembaga negara, malah justru dapat ”promosi” sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Apakah pelanggaran etik dalam kasus ”papa minta saham” hanya berlaku untuk jabatan Ketua DPR. Apakah itu berarti anggota DPR boleh melakukan pelanggaran sejenis? Itulah sandiwara politik heboh tahun 2015.

Tahun 2015 energi terkuras habis untuk urusan remeh-temeh yang lagi-lagi selalu berkutat di sekitar para politisi. Banyak politisi berkoar-koar berdalih menyelesaikan persoalan bangsa. Padahal, sebetulnya mereka terlihat menunggangi dengan kepentingan sendiri atau kelompoknya. Pada hari pertama 2016, Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon berharap kegaduhan politik pada 2016 bisa dikurangi agar pemerintah dan DPR bisa lebih produktif. Lha, bukankah selama ini yang membuat gaduh panggung politik itu para politisi sendiri? Pernyataan seperti sepatutnya diarahkan ke wajah para politisi sebab merekalah yang membuat bangsa ini terbelah. Mereka pula yang membuat negeri ini tak bergerak ke mana-mana. Rasanya makin jauh saja bermimpi menjadi negara maju.

Sekarang tahun 2016. Jika para politisi tak cepat sadar diri, tahun ini pun akan terus-terusan gaduh. Belum apa-apa, isu pergantian kabinet (reshuffle) sudah terdengar santer. Memang, sejak Partai Amanat Nasional (PAN) memilih bergabung ke koalisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, secara politis jatah kursi mesti disiapkan. Memang, kabinet adalah hak prerogatif presiden, tetapi isu reshuffle itu sama saja fait accompli terhadap presiden. Meskipun sudah dibantah, pertemuan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Presiden barangkali menjadi sinyal lain perubahan konstelasi politik. 

Sayangnya, apabila benar reshuffle terjadi, menteri-menteri yang tidak punya basis politik kuat (bukan orang partai) yang paling mungkin tergusur.
Sekarang memang sudah tahun 2016. Tetapi, pada hari pertama saja sudah muncul berita heboh: kepengurusan Partai Golkar yang dinilai kosong setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mencabut SK Munas Ancol tanpa menerbitkan SK Munas Bali. Pastinya kisah partai beringin ini akan makin memanas, meneruskan kegaduhan sepanjang tahun 2015. Rasanya tahun 2016 ini kebisingan politik tidak berhenti. Karena, tahun 2016 ini mewarisi banyak peninggalan gaduh dari tahun 2015.

Warisan paling jelas dari tahun 2015 adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Barangkali DPR (dan juga pemerintah) benar-benar ngebet untuk merevisi UU itu meskipun banyak pihak menilai belum perlu sama sekali. Publik sudah berteriak bahwa UU itu sangat tidak urgen untuk diutak- atik. Tetapi, mungkin DPR memiliki telinga terlalu tebal. Hanya mereka, ya, politisi dan pejabat, yang terancamlah, yang ngotot mau merevisi UU itu. Dan, tahun ini kita punya pimpinan KPK yang baru. Di tengah keraguan banyak kalangan, tahun 2016 ini saatnya pimpinan KPK yang baru membuktikan diri kepada rakyat bahwa mereka benar-benar bekerja untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini.

Hari ini adalah hari kedua tahun 2016. Sejak 11 tahun silam, setiap awal tahun selalu menjadi momentum tepat untuk introspeksi dan permenungan bahwa bencana tsunami di Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004 adalah tragedi kemanusiaan terbesar. Bagaimana politisi bisa mengingat bencana itu jikalau mereka selalu ribut dan gaduh dengan dirinya sendiri. Sadarlah, ini sudah tahun 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar