Tahun
Baru, Konsisten Menderita
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS,
02 Januari 2016
Dalam berbagai teks
kebudayaan, waktu (masa) tidak hanya dimaknai secara kuantitatif, tetapi juga
kualitatif, yakni momentum (peluang, kesempatan) manusia untuk menggugat dan
menggugah kesadaran eksistensial. Waktu bukan sekadar deretan hitung satuan
detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Bukan pula sekadar jadi
fakta yang melekat pada peristiwa (kapan, berapa lama). Pertanyaan kebudayaan
atas waktu terkait dengan nilai dan makna. Seorang presiden bisa ditanya, "Selama Anda memerintah, Anda
melakukan apa saja yang bermakna bagi rakyat? Bagaimana Anda memimpin dan
menjalankan revolusi mental yang sudah Anda canangkan sebagai program
unggulan?".
Adapun kepada para
penegak hukum kita bisa bertanya, "Dalam
satu tahun ini, Anda bekerja atau tidur? Kenapa banyak gembong koruptor masih
leluasa mengisap duit rakyat dan kekayaan negara? Kenapa pula hukum masih
lembek menghadapi berbagai kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama dan
primordialisme?".
Kita pun bisa bertanya
kepada para wakil rakyat soal kapan mereka jera dan tobat dalam
memperjuangkan kesejahteraannya sendiri. Bagus juga kita bertanya, kenapa
selama ini banyak kelas menengah yang melakukan pengkhianatan intelektual
dengan menjadi komprador atau sekutu penguasa modal.
Pertanyaan-pertanyaan
di atas jauh lebih penting dan mendesak dibandingkan pertanyaan "Kita merayakan old and new di mana,
dengan harga tiket berapa? Rp 10 juta? Rp 15 juta atau pilih yang premium, Rp
25 juta?".
Pergantian tahun dari
yang lama ke yang baru selalu menggoreskan kepiluan bagi orang kebanyakan,
terutama wong cilik, kelompok sosial tanpa kekuasaan. Bukan sedih karena
tidak mampu merayakan tahun baru atau iri melihat pesta gemerlap berlumur
hedonisme dari orang-orang kaya. Bukan! Sejatinya rakyat kecil tak punya
kompleksitas kejiwaan atas perayaan tahun baru. Peralihan, perubahan, atau
pergantian tahun, dalam arti masa, dipahami sebagai hal rutin dan lumrah.
Selain itu, mereka juga sudah lelah merawat berbagai keirian, kecemburuan
sosial, yang ternyata sangat tidak produktif. Sudah lama rakyat kurang
dianggep (dihargai eksistensinya). Jika toh masih ada rasa mangkel atau
kesal, hal itu sudah diubah menjadi kesunyian di rongga batin mereka.
Wong cilik cemas
karena, dalam sejarahnya, pergantian tahun tidak membawa perubahan penting
bagi mereka. Mereka tetap akan pontang-panting dan tersaruk-saruk untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya alias tetap konsisten menderita. Dan yang paling
mencemaskan, berdasarkan ilmu titen
(menandai kenyataan), pada tahu baru nanti akan terjadi pelbagai penyesuaian
harga kebutuhan dasar.
Itu artinya, rakyat
dituntut arif dan bijak untuk menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah
yang pandai dan sangat kreatif menaikkan harga-harga. Memang ada bonus
penurunan harga BBM. Namun, apa artinya jika penurunan angka itu sangat kecil
dan tak mampu menaklukkan kesombongan harga-harga dalam konteks efek domino?
Baik saja tak cukup
Bagi rakyat,
pemerintahan saat ini jauh lebih sulit untuk disikapi. Berbeda dengan rezim
Soeharto yang sangat jelas merepresi rakyat dan karena itu energi perlawanan
jadi sangat besar, rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla tampil "elegan".
Lembah manah (rendah hati, sopan, ramah). Ini terutama karena citra Jokowi
yang kinclong di mata rakyat. Kerja kelas menengah/pendukung Jokowi dan media
dalam membangun opini "Jokowi presiden pilihan rakyat" terbukti
jadi mantra ampuh bagi rakyat.
Namun, dalam
perkembangan waktu dan seiring kinerja politik pemerintahan Jokowi,
pelan-pelan pelbagai kekaguman itu luntur. Rakyat yang rikuh berteriak protes
pun akhirnya nggerundel, "Jebul ora kacek" (ternyata
tak ada kelebihan). Ini terjadi seiring dengan semakin meningkatnya dosis
penderitaan wong cilik karena dihajar kebutuhan berbiaya tinggi, sementara sumber
penghasilan tak pasti atau nilai uang yang diperoleh merosot.
Bagi rakyat, presiden
baik hati ternyata tidak cukup. Rakyat
sudah kenyang dengan sikap ramah dan populisme sang presiden. Rakyat juga
sudah bosen disuguhi teater blusukan. Nilai-nilai blusukan (merakyat, sehati
dengan rakyat) ternyata masih menjadi kekayaan batin personal, tetapi belum
optimal ditransformasikan ke dalam perilaku memerintah (menjalankan
konstitusi secara konsisten) yang berbuah pada kesejahteraan rakyat.
Maka, pada tahun baru
ini, rakyat akan sangat kecewa jika Jokowi dan rezimnya turut berhura-hura
demi membangun citra dekat dengan masyarakat, terutama kalangan menengah ke
atas yang tidak merasakan dampak krisis ekonomi akibat dekadensi kekuasaan.
Pada tahun baru ini,
rakyat bisa matur kepada Presiden, "Mas
Joko, panjenang sudah saatnya lebih total membersihkan kekuasaan tingkat hulu
sehingga kejernihan dan kenyamanan bisa
dirasakan di tingkat hilir." Jokowi wajib menggugat dirinya
secara eksistensial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar