Manuver
di Penghujung Tahun
Saldi Isra
; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2015
MINGGU-MINGGU
terakhir menuju penghujung 2015, Dewan Perwakilan Rakyat menjadi semacam
arena pertunjukan berbagai macam manuver. Apakah manuver itu memutarbalikkan
logika masyarakat, sama sekali tidak menjadi masalah penting yang perlu
ditimbang dengan serius. Lebih daripada itu, manuver yang dilakukan seperti
membuang jauh pakem atau logika hubungan dan batas wewenang lembaga negara.
Salah satu di
antara manuver di DPR ialah ketidakjelasan soal penjatuhan sanksi terhadap
Setya Novanto. Meskipun semua anggota Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) menyatakan
tokoh berpengaruh Partai Golkar itu melanggar kode etik, putusan tersebut
bukanlah sikap MKD sebagai sebuah institusi. Dalam posisi sebagai mahkamah
penegakan etik, menjadi sulit diterima akal sehat proses persidangan selesai
setelah setiap anggota membacakan pendapat masing-masing.
Pascatugas
yang tidak tuntas tersebut, Partai Golkar mempertontonkan betapa ‘tipisnya’
pemahaman mereka atas pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya Novanto.
Buktinya, ketika mayoritas anggota MKD menilai telah terjadi pelanggaran kode
etik, Partai Golkar justru menempatkan Novanto sebagai ketua fraksi. Boleh
jadi, bagi Partai Golkar, sikap atau langkah mengundurkan diri dianggap sudah
cukup untuk menyelamatkan DPR dari imbas skandal ‘papa minta saham’. Padahal,
meski fraksi bukan alat kelengkapan DPR, posisi baru Novanto tak mungkin
tidak berimbas pada citra DPR.
Ketika masih
berupaya memahami manuver itu, kita dikagetkan lagi dengan ‘rekomendasi sementara’ Panitia Angket Pelindo II. Kesan manuver menjadi sulit dihindari karena pansus masih jauh
untuk dapat dikatakan telah menyelesaikan tugas, tapi tiba-tiba muncul dalam
sidang paripurna dengan rekomendasi yang seolah-olah pansus telah selesai.
Padahal, sebagaimana diatur Pasal 207 UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan
DPRD (UU MD3), ada fase yang harus dilewati sebelum panitia angket
menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR. Manuver menjadi begitu terasa
karena rekomendasi sementara tersebut masuk ke wilayah yang bukan merupakan
wewenang DPR.
Intervensi Presiden
Bagi saya,
manuver berupa rekomendasi sementara Panitia Angket Pelindo II menjadi sangat
menarik. Sebagaimana ditulis Refly Harun (Media Indonesia, 28/12), ketika
tidak adanya pernyataan dari pansus bahwa pekerjaan telah selesai, berarti
tugas panitia angket belum tuntas. Karena itu, laporan kepada rapat paripurna
DPR 18 Desember lalu tersebut bukanlah laporan akhir, melainkan laporan
sementara. Dalam posisi demikian, bila pun akan mengambil momentum `hadir'
dalam paripurna DPR, laporan sementara tidak mengarah pada kesimpulan. UU MD3 sama sekali tidak mengenal rekomendasi sementara.
Selain itu,
pansus dalam proses menyelesaikan tugas mereka, sadar atau tidak, telah
merambah jauh ke dalam wilayah yang sesungguhnya bukan merupakan domain DPR,
apalagi domain pansus. Celakanya, tindakan salah pansus justru seperti
diterima menjadi sebuah langkah yang benar. Pembenaran tersebut dapat dilacak
dengan penyampaian rekomendasi sementara Panitia Angket Pelindo II dari
pimpinan DPR kepada Presiden Joko Widodo. Pertanyaannya, bagaimana mungkin
sesuatu yang belum final disampaikan kepada pihak lain (baca Presiden) untuk
ditindaklanjuti?
Karena bukan
berasal dari proses yang diatur UU MD3, tidaklah keliru jika banyak pandangan
yang mengatakan bahwa rekomendasi tersebut sangat terkait dengan isu
perombakan kabinet. Bila benar, sangat mungkin ada langkah politik menunggangi
kerja panitia angket sebagai instrumen menekan presiden dalam perombakan
kabinet. Padahal, dengan langkah itu, sebagian kekuatan politik sedang
memorak-porandakan logika pola relasi DPR-Presiden
di dalam sistem presidensial.
Dalam batas
penalaran yang wajar, manuver berupa rekomendasi sementara tersebut tak sebatas
memorakporandakan logika sistem presidensial, tetapi juga menghancurkan
logika dan etika hubungan DPR dan Presiden. Misalnya,
dalam UUD Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), relasi tarik-menarik dimungkinkan
dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Pola demikian sangat mungkin terjadi
karena konstitusi kita meletakkan hubungan yang setara antara DPR dan presiden
dalam pembentukan UU. Paling tidak, hubungan yang demikian dapat dilacak dari
konstruksi Pasal 20 UUD 1945.
Meskipun dalam
banyak masalah bernegara Presiden tidak mungkin menutup mata dengan
suara-suara di DPR, konstitusi memberi demarkasi sangat tegas ihwal
kewenangan lembaga negara. Dalam soal pengisian
anggota kabinet, misalnya, Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit
menyatakan pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan otoritas
Presiden. Artinya, ketika Panitia Angket Pelindo II memberikan rekomendasi
untuk memberhentikan menteri kabinet, panitia angket gagal memahami makna
hakiki Pasal 17 ayat (2) UUD 1945. Kegagalan
untuk memahami tersebut kian terasa inkonstitusional karena dalam sebuah rekomendasi yang berasal dari proses yang
belum selesai. Bahkan, kalaupun sudah
pendapat final, panitia angket tidak tepat memasuki wilayah yang menjadi hak
prerogatif Presiden.
Sekadar
perbandingan, Pansus Hak Angket Century, misalnya, sekalipun telah melalui
proses yang sesuai dengan ketentuan yang ada, hasil akhirnya tidak sampai
masuk ke wilayah yang menjadi wewenang Presiden. Pansus Century hanya sampai
pada rekomendasi melanjutkan segala bentuk penyimpangan ke proses hukum. Merujuk
pengalaman itu, rekomendasi Panitia Angket Pelindo II sangat janggal dan tak
mungkin jauh dari maksud mengintervensi Presiden dalam pusaran perombakan
kabinet.
Oleh karena itu, agar tidak
menambah kontroversi baru dan sekaligus langkah guna menghentikan segala
macam manuver di sekitar perombakan kabinet, Presiden Joko Widodo tidak perlu
terpengaruh dengan rekomendasi tersebut. Kalau sekiranya melakukan perombakan
kabinet memang menjadi kebutuhan, Jokowi harus menjaga makna hak prerogatif
dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945. Jika tidak, manuver dengan menunggangi
instrumen seperti pansus akan menjadi modus baru. Karena itu, pilihan
presiden amat terbatas: takluk dengan manuver atau menganggapnya seperti
angin demi menjaga hak prerogatif Presiden. Semoga Jokowi tidak takluk dengan manuver di penghujung 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar