Bisnis
Hulu Migas pada 2016
A Rinto Pudyantoro ; Praktisi Bisnis Hulu Migas
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Desember 2015
HARGA minyak
bumi versi WTI saat ini tertoreh pada kisaran US$35 per barel. Diperkirakan,
angka itu akan stabil dalam beberapa bulan ke depan. Akan tetapi, di
bulan-bulan berikutnya akan turun terus. IMF memperkirakan harga minyak bumi
pada 2016 rata-rata akan berada di kisaran US$20 per barel. Tentu saja IMF
bisa meleset. Bergantung pada basis asumsi yang digunakan dan apakah asumsi
yang digunakan benar-benar terjadi. Apa pun, faktanya harga minyak bumi dunia
cenderung menurun sehingga sudah pasti akan memengaruhi laju kegiatan hulu
migas.
Harga minyak
bumi yang rendah akan memengaruhi kegiatan pengembangan lapangan, tidak terkecuali
lapangan gas karena harga minyak bumi bertalian erat dengan harga gas.
Dampaknya beberapa lapangan gas yang akan dikembangkan di 2016 menghadapi
persoalan keekonomian. Dikhawatirkan sisi penerimaan tidak akan mampu
menutupi pengeluaran. Untuk mempertahankan agar proyek pengembangan lapangan
layak investasi, tidak ada pilihan selain memangkas biaya. Celakanya, selain
biaya yang sudah terjadi dan direncanakan, rupanya kegiatan hulu migas masih
akan menghadapi kendala operasional yang justru akan menambah biaya.
Eksplorasi
Pada 2016,
kegiatan eksplorasi menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Sebenarnya
pencanangan `gerakan' eksplorasi di 2016 merupakan strategi jitu. Namun,
rupanya kegiatan eksplorasi sudah akan berhadapan dengan kendala operasional
yang tipenya sama dengan di 2015, tapi dengan intesitas yang lebih tinggi.
Kendala operasional eksplorasi yang bersifat nonteknis masih akan
mendominasi, mulai masalah perizinan, pembebasan lahan, hingga tumpang-tindih
lahan.
Sebenarnya,
banyak pihak yang berharap 2016 dapat menjadi tonggak terwujudnya cita-cita
perizinan hulu migas satu pintu, karena hanya dengan cara demikian percepatan
eksplorasi migas dapat terjadi.
Di sisi lain,
bisnis hulu migas di 2016 dan tahun-tahun berikutnya akan diramaikan dengan
diskusi dan ‘negosiasi’ pelepasan WK (wilayah kerja) migas karena pada 2017
hingga 2024 akan ada 33 WK migas yang habis masa kontrak. Jika mengacu pada
aturan dan kontrak kerja sama, WK migas akan kembali ke pemerintah secara
otomatis.
Dalam
mengantisipasi hal tersebut, Menteri ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri
No 15/2015. Peraturan tersebut secara umum mengatur tata cara pelepasan WK
migas, tetapi secara khusus memberikan privilese kepada Pertamina dan pemda.
Dinyatakan dalam peraturan tersebut bahwa pemerintah ‘harus’ menawarkan lebih
dahulu kepada Pertamina untuk setiap WK migas yang habis masa kontraknya
sebelum ditawarkan kepada pihak lain. Lalu, pemda melalui BUMD juga diberikan
kesempatan untuk mendapatkan participating interest (PI). Secara umum
peraturan ini lebih bagus, karena jika mengacu pada peraturan yang ada
sebelumnya, tidak ada kepastian bagi Pertamina untuk mendapatkan tawaran
awal. Demikian juga pemda memiliki perlakuan khusus untuk mendapatkan WK
migas hanya pada saat WK dinyatakan POD pertama approved.
Pada masa
peralihan, pemerintah memiliki kesempatan untuk mengubah isi kontrak. Klausul
kontrak dapat disesuaikan dengan situasi terkini. Pemerintah juga dapat
mengambil posisi yang lebih menguntungkan dengan menetapkan persentase bagi
produksi yang lebih baik walaupun tetap mempertimbangkan keekonomian bagi
investor.
Model
split-nya pun bisa disesuaikan. Misalnya, meniru Irak. Besaran split bagi
produksi ditentukan berdasarkan rasio antara hasil (revenue =R) dan biaya
(cost=C). Maksudnya, ketika rasio R/C tinggi (mencapai angka tertentu),
diberikan persentase pembagian yang relatif besar bagi investor. Demikian
juga jika terjadi sebaliknya.
Lebih ekstrem
sedikit, bisa saja beberapa lapangan yang tidak membutuhkan investasi terlalu
besar diubah menggunakan sistem service
contract. WK migas yang masih membutuhkan investasi besar dipertahankan
menggunakan pola bagi produksi.
Permasalahan lain
Pelaku bisnis
hulu migas masih memandang bahwa ketentuan perpajakan umum yang diterapkan pada
industri hulu migas yang memiliki sifat-sifat khusus memberatkan operasional
migas. Pengembangan lapangan dibayangi oleh beban pajak yang akan memengaruhi
kalkulasi keekonomian proyek. Beberapa proyek migas besar, seperti Masela dan
IDD yang memiliki margin tipis, sensitif terhadap penambahan biaya termasuk
pajak.
Jika saja
karena berbagai alasan proyek tidak jadi dilaksanakan, sebenarnya banyak
potensi pajak jangka menengah dan panjang yang akan hilang. Maka dari itu
dibutuhkan kebijakan yang smart yang mampu menyeimbangkan antara penerimaan
pajak migas jangka pendek pada satu sisi dan menjaga agar potensi pajak
jangka menengah dan panjang tidak hilang.
Tahun depan
diperkirakan UU migas baru akan lahir menggantikan UU Migas No 22/2001.
Segera setelah itu dipastikan SKK migas akan bubar dan `berubah wujud'.
Sementara ini pilihannya, SKK migas bergabung ke Pertamina atau berdiri
sendiri berbentuk BUMN khusus. Investor bisnis hulu migas tentu saja sangat
peduli dengan wujud, bentuk, dan peran `SKK migas baru' karena keberadaan
institusi baru dapat memengaruhi implementasi dan pelaksanaan kontrak kerja
sama yang pada akhirnya akan berdampak pada kalkulasi investasi. Diharapkan,
proses peralihannya berjalan mulus, sebab kecepatan peralihan dengan tanpa
kegaduhan akan memberikan jaminan keberlangsungan investasi hulu migas.
Catatan akhir
Tahun 2016
bukan masa yang mudah untuk bisnis hulu migas di Indonesia. Perhatian khusus
pemerintah diperlukan untuk keberlangsungan kegiatan eksplorasi dan
pengembangan lapangan. Presiden Jokowi tampaknya perlu turun tangan jika
kegiatan hulu migas diharapkan menjadi poros sekaligus pendorong ekonomi
nasional.
Seperti yang
sempat terjadi di 2015. Pemerintah membentuk Komite Eksplorasi Nasional (KEN)
yang salah satu kajiannya merekomendasikan agar PP 79/2010 dicabut. Lantas,
mendasarkan pada rekomendasi tersebut Presiden mengumandangkan pencabutan
peraturan tersebut sebagai bagian dari upaya menggairahkan investasi di
sektor hulu migas. Sekarang tinggal menunggu realisasinya.
Sejak 2000 hingga 2015, institusi manajemen KKS
berulang kali dipersoalkan. Pada masa reformasi, DPR dan pemerintah membentuk
BP Migas menggantikan Pertamina. Dua belas tahun kemudian dibubarkan karena
dianggap tidak konstitusional. Lalu dibuat SKSP Migas yang kemudian berubah
menjadi SKK Migas. Setelah itu harus bubar dan perlu diubah lagi. Dari sisi
investor luar negeri, hal ini mempersepsikan Indonesia sebagai negara yang
relatif tidak `stabil' untuk tujuan investasi.
Begitu banyak waktu terpakai
untuk mendiskusikan institusi manajemen KKS. Akibatnya, sedikit waktu yang
digunakan untuk memikirkan kebijakan yang dapat mengoptimalkan penemuan
cadangan migas dan mempercepat pengembangan lapangan. Sayang sekali. Semoga saja 2016 tetap memberikan berkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar