Jumat, 01 Januari 2016

Bisnis Hulu Migas pada 2016

Bisnis Hulu Migas pada 2016

  A Rinto Pudyantoro  ;  Praktisi Bisnis Hulu Migas
                                           MEDIA INDONESIA, 31 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARGA minyak bumi versi WTI saat ini tertoreh pada kisaran US$35 per barel. Diperkirakan, angka itu akan stabil dalam beberapa bulan ke depan. Akan tetapi, di bulan-bulan berikutnya akan turun terus. IMF memperkirakan harga minyak bumi pada 2016 rata-rata akan berada di kisaran US$20 per barel. Tentu saja IMF bisa meleset. Bergantung pada basis asumsi yang digunakan dan apakah asumsi yang digunakan benar-benar terjadi. Apa pun, faktanya harga minyak bumi dunia cenderung menurun sehingga sudah pasti akan memengaruhi laju kegiatan hulu migas.

Harga minyak bumi yang rendah akan memengaruhi kegiatan pengembangan lapangan, tidak terkecuali lapangan gas karena harga minyak bumi bertalian erat dengan harga gas. Dampaknya beberapa lapangan gas yang akan dikembangkan di 2016 menghadapi persoalan keekonomian. Dikhawatirkan sisi penerimaan tidak akan mampu menutupi pengeluaran. Untuk mempertahankan agar proyek pengembangan lapangan layak investasi, tidak ada pilihan selain memangkas biaya. Celakanya, selain biaya yang sudah terjadi dan direncanakan, rupanya kegiatan hulu migas masih akan menghadapi kendala operasional yang justru akan menambah biaya.

Eksplorasi

Pada 2016, kegiatan eksplorasi menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Sebenarnya pencanangan `gerakan' eksplorasi di 2016 merupakan strategi jitu. Namun, rupanya kegiatan eksplorasi sudah akan berhadapan dengan kendala operasional yang tipenya sama dengan di 2015, tapi dengan intesitas yang lebih tinggi. Kendala operasional eksplorasi yang bersifat nonteknis masih akan mendominasi, mulai masalah perizinan, pembebasan lahan, hingga tumpang-tindih lahan.

Sebenarnya, banyak pihak yang berharap 2016 dapat menjadi tonggak terwujudnya cita-cita perizinan hulu migas satu pintu, karena hanya dengan cara demikian percepatan eksplorasi migas dapat terjadi.

Di sisi lain, bisnis hulu migas di 2016 dan tahun-tahun berikutnya akan diramaikan dengan diskusi dan ‘negosiasi’ pelepasan WK (wilayah kerja) migas karena pada 2017 hingga 2024 akan ada 33 WK migas yang habis masa kontrak. Jika mengacu pada aturan dan kontrak kerja sama, WK migas akan kembali ke pemerintah secara otomatis.

Dalam mengantisipasi hal tersebut, Menteri ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri No 15/2015. Peraturan tersebut secara umum mengatur tata cara pelepasan WK migas, tetapi secara khusus memberikan privilese kepada Pertamina dan pemda. Dinyatakan dalam peraturan tersebut bahwa pemerintah ‘harus’ menawarkan lebih dahulu kepada Pertamina untuk setiap WK migas yang habis masa kontraknya sebelum ditawarkan kepada pihak lain. Lalu, pemda melalui BUMD juga diberikan kesempatan untuk mendapatkan participating interest (PI). Secara umum peraturan ini lebih bagus, karena jika mengacu pada peraturan yang ada sebelumnya, tidak ada kepastian bagi Pertamina untuk mendapatkan tawaran awal. Demikian juga pemda memiliki perlakuan khusus untuk mendapatkan WK migas hanya pada saat WK dinyatakan POD pertama approved.

Pada masa peralihan, pemerintah memiliki kesempatan untuk mengubah isi kontrak. Klausul kontrak dapat disesuaikan dengan situasi terkini. Pemerintah juga dapat mengambil posisi yang lebih menguntungkan dengan menetapkan persentase bagi produksi yang lebih baik walaupun tetap mempertimbangkan keekonomian bagi investor.

Model split-nya pun bisa disesuaikan. Misalnya, meniru Irak. Besaran split bagi produksi ditentukan berdasarkan rasio antara hasil (revenue =R) dan biaya (cost=C). Maksudnya, ketika rasio R/C tinggi (mencapai angka tertentu), diberikan persentase pembagian yang relatif besar bagi investor. Demikian juga jika terjadi sebaliknya.

Lebih ekstrem sedikit, bisa saja beberapa lapangan yang tidak membutuhkan investasi terlalu besar diubah menggunakan sistem service contract. WK migas yang masih membutuhkan investasi besar dipertahankan menggunakan pola bagi produksi.

Permasalahan lain

Pelaku bisnis hulu migas masih memandang bahwa ketentuan perpajakan umum yang diterapkan pada industri hulu migas yang memiliki sifat-sifat khusus memberatkan operasional migas. Pengembangan lapangan dibayangi oleh beban pajak yang akan memengaruhi kalkulasi keekonomian proyek. Beberapa proyek migas besar, seperti Masela dan IDD yang memiliki margin tipis, sensitif terhadap penambahan biaya termasuk pajak.

Jika saja karena berbagai alasan proyek tidak jadi dilaksanakan, sebenarnya banyak potensi pajak jangka menengah dan panjang yang akan hilang. Maka dari itu dibutuhkan kebijakan yang smart yang mampu menyeimbangkan antara penerimaan pajak migas jangka pendek pada satu sisi dan menjaga agar potensi pajak jangka menengah dan panjang tidak hilang.

Tahun depan diperkirakan UU migas baru akan lahir menggantikan UU Migas No 22/2001. Segera setelah itu dipastikan SKK migas akan bubar dan `berubah wujud'. Sementara ini pilihannya, SKK migas bergabung ke Pertamina atau berdiri sendiri berbentuk BUMN khusus. Investor bisnis hulu migas tentu saja sangat peduli dengan wujud, bentuk, dan peran `SKK migas baru' karena keberadaan institusi baru dapat memengaruhi implementasi dan pelaksanaan kontrak kerja sama yang pada akhirnya akan berdampak pada kalkulasi investasi. Diharapkan, proses peralihannya berjalan mulus, sebab kecepatan peralihan dengan tanpa kegaduhan akan memberikan jaminan keberlangsungan investasi hulu migas.

Catatan akhir

Tahun 2016 bukan masa yang mudah untuk bisnis hulu migas di Indonesia. Perhatian khusus pemerintah diperlukan untuk keberlangsungan kegiatan eksplorasi dan pengembangan lapangan. Presiden Jokowi tampaknya perlu turun tangan jika kegiatan hulu migas diharapkan menjadi poros sekaligus pendorong ekonomi nasional.

Seperti yang sempat terjadi di 2015. Pemerintah membentuk Komite Eksplorasi Nasional (KEN) yang salah satu kajiannya merekomendasikan agar PP 79/2010 dicabut. Lantas, mendasarkan pada rekomendasi tersebut Presiden mengumandangkan pencabutan peraturan tersebut sebagai bagian dari upaya menggairahkan investasi di sektor hulu migas. Sekarang tinggal menunggu realisasinya.

Sejak 2000 hingga 2015, institusi manajemen KKS berulang kali dipersoalkan. Pada masa reformasi, DPR dan pemerintah membentuk BP Migas menggantikan Pertamina. Dua belas tahun kemudian dibubarkan karena dianggap tidak konstitusional. Lalu dibuat SKSP Migas yang kemudian berubah menjadi SKK Migas. Setelah itu harus bubar dan perlu diubah lagi. Dari sisi investor luar negeri, hal ini mempersepsikan Indonesia sebagai negara yang relatif tidak `stabil' untuk tujuan investasi.

Begitu banyak waktu terpakai untuk mendiskusikan institusi manajemen KKS. Akibatnya, sedikit waktu yang digunakan untuk memikirkan kebijakan yang dapat mengoptimalkan penemuan cadangan migas dan mempercepat pengembangan lapangan. Sayang sekali. Semoga saja 2016 tetap memberikan berkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar