Jumat, 01 Januari 2016

Tantangan Pelabuhan Indonesia di Selat Malaka

Tantangan Pelabuhan Indonesia di Selat Malaka

  Djasarmen Purba  ;  Anggota DPD RI asal Provinsi Kepri
                                           MEDIA INDONESIA, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

INDONESIA merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang ditegaskan dalam Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957. Pada kenyataannya, Indonesia tidak pernah benar-benar mampu memanfaatkan keunggulannya untuk menjadi negara maritim yang kuat. Bahkan, sampai sejauh ini tidak mampu mengoptimalkan posisi strategisnya di Selat Malaka yang merupakan center gravity dari perdagangan dunia lewat laut.

Sebaliknya, Indonesia justru mengalami ketergantungan terhadap Singapura sebagai hub-port (pelabuhan pengumpul) dalam segala kegiatan ekspor impornya. Saat ini masih lebih dari 4 juta TEUs kontainer dari dan ke Indonesia harus lewat hub-port Singapura. Port of Singapore Authority (PSA) merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di dunia. Pada 2010, pelabuhan Singapura punya arus peti kemas (kontainer) sekitar 28,4 juta TEUs, atau terbesar kedua di dunia setelah Pelabuhan Shanghai (Tiongkok) yang mencapai 29,05 juta TEUs. 
Sementara, dalam hal bunkering industry PSA telah memperoleh gelar Worlds Top Bunkering Port dengan menyuplai lebih dari 23,6 juta bahan bakar untuk keperluan kapal di pelabuhan. Angka ini jauh melebihi konsumsi BBM PT PLN untuk menghidupi generator seluruh Indonesia yang berjumlah hanya 10 juta kiloliter.

Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia hanya menjadi pelabuhan pengumpan (feeder port) untuk Singapura. Menurut Maritime Magazine, setiap tahun, lebih dari 10 juta TEUs kontainer dari dan ke Indonesia harus lewat PSA. Demikian Indonesia mengalami kehilangan devisa mencapai US$15 miliar per tahun.

Kegagalan Batam

Dengan pertimbangan kedekatan dengan jalur pelayaran internasional, sejumlah pengamat maritim mengusulkan Pulau Batam menjadi international hub port. Terlebih sudah sejak lama Badan Pengusahaan (BP) Batam (dahulu Otorita Batam) berencana mengembangkan pelabuhan Batu Ampar. Namun, rencana ini selalu dihalangi Singapura.

Pada era kepemimpinan BJ Habibie di Otorita Batam, sempat beredar nama Evergreen Corp yang akan mengembangkan pelabuhan ini, tetapi entah bagaimana kemudian mengundurkan diri. Pada tender internasional pengembangan pelabuhan Batu Ampar pada 2003-2005 didapat pemenang melalui beauty contest perusahaan asal Prancis Compagnie Maritime d'Affretement-Compagnie Generale Maritime (CMA-CGM). Namun, hingga 2008 tidak ada kepastian dari CMA-CGM untuk memulai pembangunan.

`Negeri Singa' kabarnya tidak `rela' bila Batam mengembangkan pelabuhan kontainer sendiri untuk melayani alih kapal. Singapura masih `trauma' atas pengembangan Port of Tanjung Pelepas (PTP) di Johor Bahru, Malaysia. PTP yang menggandeng Maersk Sealand-merupakan mitra dan pelanggan terbesar PSA--resmi dioperasikan 13 Maret 2000 mengakibatkan berkurangnya pangsa pasar alih kapal di pelabuhan Singapura.

Indikasi lain intervensi Singapura diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemenko Bidang Perekonomian, Edy Putra Irawady. Edy seperti dikutip CNN Indonesia (9/2015), mengaku pernah mendapatkan ancaman fisik waktu pemerintah ingin menjadikan Pelabuhan Batu Ampar di Batam sebagai hub utama perdagangan Internasional Indonesia.

BP Batam kemudian menggandeng Pelindo II untuk mengembangkan Pelabuhan Tanjung Sauh sebagai international hub port untuk ekspor impor Indonesia di Selat Malaka dengan kapasitas kargo mencapai 4 juta TEUs per tahun. Belakangan PT Pelindo II menggandeng China Merchants Holding untuk terlibat dalam mengembangkan pelabuhan itu, dengan investasi sebesar Rp20 triliun.

Ketergantungan BBM

Pengembangan pelabuhan di Batam maupun di wilayah lain di Indonesia tidak dapat menjamin dapat menyaingi pelabuhan Singapura dan Malaysia, mengingat Indonesia masih mengalami ketergantungan impor minyak (BBM) dari negara tersebut. Seandainya Indonesia dapat membangun international hub port di Selat Malaka, tidak menutup kemungkinan Singapura sewaktu-waktu menyetop pengiriman BBM.

Untuk mengantisipasinya, pada 2012, China Petroleum & Chemical Corporation (Sinopec.Corp), berencana membangun kilang minyak beserta terminal project yang diberi nama West Point, dengan nilai investasi US$ 850 juta, atau Rp7,7 triliun. Namun, gagal direalisasikan karena pemerintah enggan memberikan insentif fiskal kepada Sinopec Corp. Kehadiran kilang minyak di Batam bukan saja dapat mengoptimalkan posisi Indonesia di Selat Malaka serta menjadi pesaing bagi Singapura dan Malaysia, melainkan juga mampu menunjang operasional pelabuhan lain di Indonesia.

Menyimak berbagai `kegagalan' pembangunan pelabuhan di Selat Malaka, sebenarnya kita tidak bermaksud untuk menyaingi pelabuhan Singapura. Paling tidak, dengan berpedoman pada teori balon Habibie, “Batam Cukup menampung tumpahan dari pelabuhan Singapura.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar