Kaum
Muda dan Toleransi Agama
Zuly Qodir
; Sosiolog dan Direktur Eksekutif Ahmad
Syafii Maarif School Pascasarjana UMY
|
KOMPAS,
02 Januari 2016
“Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah
suatu tindakan yang sama sekali tak bisa dibenarkan" (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11).
Pernyataan Paus
disampaikan ketika berkunjung ke Afrika untuk membantu mencari penyelesaian
konflik Muslim-Kristen di benua tersebut. Paus Fransiskus sangat berharap
pada kaum muda untuk melanjutkan hidup bangsanya. Di tangan kaum muda inilah
sebuah bangsa akan maju dan berkembang sekalipun para elitenya bergelimang
kekuasaan dan harta kekayaan.
Kita tentu tidak ingin
negara ini bergelimang darah karena pertumpahan warga sesama anak bangsa,
bahkan saudara setanah air. Kita tidak ingin yang terjadi di Timur Tengah,
Afrika, maupun di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Turki, dan Irlandia
melanda Indonesia. Cukuplah kekerasan yang mengatasnamakan kesucian Tuhan
buat mereka. Kita telah dibuat ngeri melihatnya. Kita tak sanggup melihat
kekejaman yang dipraktikkan atas nama Tuhan.
Timur Tengah dan
beberapa negara Eropa bergolak. Indonesia tidak boleh seperti itu. Salah satu
kuncinya adalah sesama umat beragama menghindarkan sikap arogan, menindas,
menelikung, serta ingin menang sendiri sehingga orang lain dianggap kafir,
sesat, dan harus pula dimusnahkan. Bukankah Tuhan telah memberikan pilihan
pada kita, akan kafir atau beriman. Beriman atau kafir akan mendapatkan
tempatnya sendiri. Kita juga bukan panitia masuk surga atau neraka. Itu hak
Tuhan.
Kaum muda penentu
Sebagai penggerak masa
depan, kaum muda menjadi sangat penting. Kaum muda merupakan masa depan
sebuah bangsa yang ingin maju. Kaum muda tidak bisa dibiarkan dalam
"kesesatan pikir" dan kesesatan tindakan atas nama agama/Tuhan.
Kaum muda perlu mendapatkan pemahaman dan pendidikan inklusif yang memadai.
Kaum muda tidak bisa dibiarkan dalam lingkaran setan intoleransi yang terus
menggunung dan mengepung.
Kaum muda dengan
begitu perlu diberi arahan yang matang tentang berbangsa dan bernegara. Kaum
muda perlu dapat pemahaman kondisi sosial ekonomi politik dan historis
memadai sehingga memiliki gambaran jelas tentang fenomena sebuah negara. Kaum
muda tak boleh dibiarkan memahaminya sendiri tentang bangsa yang sedang kacau
dan karut-marut. Hal ini akan menyesatkan dan mengarahkan dengan mudah pada
tindakan anarkis, bahkan teroris.
Di sinilah tugas kaum
elite agama memberikan pemahaman keagamaan yang inklusif sehingga kaum muda
mampu memiliki pandangan dan sikap toleran, menghargai perbedaan, menghormati
keyakinan keagamaan yang berbeda dengan keyakinan yang dimilikinya. Elite
agama tak bertugas menyiram bibit radikal serta intoleransi kepada kaum muda
dengan doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan secara serampangan dan tak
lengkap sesuai konteks sosial historisnya. Kaum elite agama harus memberikan
contoh nyata dalam berkata-kata (berdakwah) dengan santun, bijaksana, dan
bertindak dengan damai dan menenteramkan. Tidak sembarangan berkata dan bertindak.
Bibit toleransi kaum
muda seperti dikemukakan para psikolog sosial dan ilmuwan sosial
sekurang-kurangnya disebabkan empat hal utama. Pertama, soal kesiapan mental
yang belum matang sehingga anak-anak muda gampang terpengaruh hal-hal yang
disampaikan orang yang dianggap lebih tua, lebih pintar, serta lebih
"berkuasa" dalam hal keagamaan. Mental kaum muda masih mencari
figur siapa yang akan dijadikan "pedoman" dalam kata-kata dan
hidup.
Kedua, ketimpangan
politik yang memunculkan spekulasi bahwa kaum muda kurang mendapatkan akses
memadai, padahal mereka tulang punggung politik seperti di Indonesia. Kondisi
seperti ini membuat kaum muda kecewa pada negaranya. Ketika kecewa dan
mendapatkan siraman kebencian, yang muncul adalah kebencian pada salah satu agama
tertentu, padahal yang berpolitik di Indonesia bukan hanya salah satu agama.
Ketiga, persoalan
ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi bibit paling subur munculnya
intoleransi dan kekerasan. Disebabkan hidup susah yang diderita, pekerjaan
sulit didapatkan, dan pengangguran menunggu di depannya, ketika ada
sekelompok atau seseorang menyiramkan bibit kebencian dan iming-iming masuk
surga, segera tanpa basa-basi kaum muda mengikuti.
Kasus pengantin bom
dan pengeboman di Indonesia lima tahun terakhir yang pelakunya anak muda
adalah buktinya. Oleh sebab itu, gap ekonomi tak boleh terjadi, apalagi pada
saat rakyat kesusahan sementara para elite bergelimang kekayaan, termasuk
karena korupsi.
Keempat, masalah
pemahaman teks keagamaan. Ini merupakan produk lama yang senantiasa
direproduksi oleh para pemberi mandat teror dan mandat intoleransi bahwa
agama kita mengajarkan untuk jihad dengan fisik, yakni mati sebagai martir
atau mati di sebuah ujung pedang, mati di sebuah granat atau bom molotov.
Semuanya dianggap sebagai jihad yang sesungguhnya sehingga tak segan
anak-anak muda yang masih kurang paham agamanya segera melaksanakan.
Merevisi pemahaman jihad
Hal itulah yang perlu
mendapatkan perhatian oleh para pengelola negara dan pendakwah agama. Para
pengelola negara dan pendakwah agama perlu merevisi kembali pemahamannya
tentang doktrin jihad, doktrin iman, doktrin takwa, bahkan doktrin surga dan
neraka sehingga memberikan kerangka yang relatif utuh pada kaum muda harapan
bangsa kita. Agamawan harus mendorong sikap dan tindakan toleransi antarumat
beragama yang sekarang tampak semakin hampa.
Sikap toleransi itu
sendiri merupakan kesediaan untuk menerima adanya perbedaan teologi,
perbedaan keyakinan, menghargai, menghormati yang berbeda sebagai sesuatu
yang nyata adanya dan diyakini oleh mereka yang memang berbeda dengan kita.
Dengan sikap toleransi inilah akan lahir sikap hidup rukun dalam perbedaan,
tidak saling menghujat, membenci, mengafirkan, apalagi hendak membunuhnya
karena berbeda dengan kita.
Itulah pesan yang
sangat penting dari pemimpin sedunia umat Katolik seperti kita sampaikan di
awal tulisan, bukan hanya bagi umat Katolik, tetapi bagi seluruh warga
manusia yang mengaku beragama. Beragama dengan demikian bukan untuk saling
membenci, menghardik, atau menghakimi. Beragama adalah memanusiakan manusia
serta menghargainya sebagai ciptaan itulah kodrat Ilahi.
Indonesia sebagai
negara dengan penduduk sangat beragam dalam hal kepercayaan dan keyakinan
beragama perlu memperhatikan seruan itu, sehingga negeri ini tak berada dalam
gelimang konflik kekerasan atas nama agama. Ke depan tak boleh lagi Indonesia
mendapatkan gelar sebagai negara dengan intoleransi tertinggi di Bumi.
Jika kita sebagai umat
beragama tetap hendak melakukan tindakan intoleransi dengan cara mengafirkan
yang berbeda, menghukum yang minoritas, membunuh yang dianggap
"lain", serta bertindak biadab lainnya, bukan tidak mungkin pada
tahun 2016 kita tetap akan mendapatkan gelar sebagai bangsa yang tingkat
intoleransinya tertinggi di muka Bumi. Selamat tinggal tahun 2015 yang penuh
kelabu intoleransi menuju tahun 2016 yang penuh kedamaian dan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar