Minggu, 03 Januari 2016

Prostitusi, Pejabat, Kepemerintahan

Prostitusi, Pejabat, Kepemerintahan

  Saifur Rohman  ;  Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
                                                       KOMPAS, 02 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah menangkap dua artis televisi yang terlibat prostitusi (15/12/2015), polisi menyatakan sebagian pelanggan mereka adalah sejumlah pejabat pemerintah dan tokoh publik yang cukup dikenal masyarakat. Sejumlah aparat negara bereaksi. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meminta agar segera diungkap apabila memang ada pejabat yang terlibat.

Kasus pembongkaran prostitusi yang melibatkan bintang televisi swasta itu bukanlah yang pertama terjadi. Namun, apabila pernyataan aparat dapat dianggap sebagai petunjuk untuk menelusuri lebih jauh, bagaimana langkah menyeluruh dan meyakinkan untuk mengikis praktik-praktik prostitusi kelas atas tersebut? Apabila tidak dilakukan, apa dampak prostitusi terhadap pelaksanaan hukum dan pemerintah? Sebetulnya sejak awal bisa ditanyakan, itu sungguh-sungguh atau tidak?

Gula-gula penegakan hukum

Penanganan aparat terhadap praktik prostitusi dalam segala tingkatan berhubungan secara positif terhadap kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Semakin tegas penanganan prostitusi, maka semakin baik citra aparat.

Faktanya, selama ini penanganan prostitusi kelas atas tak ubahnya sebagai gula-gula dalam penegakan hukum. Ada berbagai wilayah yang mungkin untuk ditelusuri oleh aparat, tetapi tidak dilakukan. Sampai sejauh ini, keterlibatan pejabat dalam prostitusi hanya menjadi spekulasi di tengah-tengah masyarakat.

Dalam logika semantik yang dikembangkan oleh Rudolf Carnap terdapat dua makna, yakni makna yang pasti dan makna yang mungkin. Situasi-situasi aktual dianggap sebagai makna yang pasti, tetapi tambahan kondisional tertentu dari sebuah pernyataan itu membuat sebuah peristiwa menjadi bagian dari makna yang mungkin. Contoh, pernyataan "seorang artis telah ditangkap polisi" adalah hal yang pasti, tetapi ada makna yang mungkin ketika dinyatakan "jika dia melayani setiap orang yang mampu membeli, maka salah satu pelanggannya adalah pejabat".

Logika tersebut memberikan makna penting tentang apa yang sudah dilakukan aparat dan apa yang belum. Ketika penanganan kejahatan tidak pernah memikirkan berbagai kemungkinan yang ada, kita layak mempertanyakan kesungguhan aparat melaksanakan pemerintahan yang bersih. Apabila direfleksikan ke dalam praktik penegakan hukum, kesungguhan itu nyatanya memang sulit untuk dibuktikan. Argumentasi itu didasarkan pada empat hal.

Pertama, selama ini pemerintah bermain dengan logika formal: hal-hal yang mungkin tidak pernah dianggap sebagai wilayah yang bisa dibuktikan. Aparat apatis terhadap pelbagai kemungkinan yang mengarah pada kejadian yang nyata. Bukti, pernyataan tentang keterlibatan pejabat dalam prostitusi ditanggapi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Katanya, tidaklah mungkin seorang pejabat jadi pelanggan karena gaji pejabat pemerintah sedikit sehingga mereka tidak mampu mengeluarkan uang hingga Rp 50 juta per malam.

Gaji pejabat pemerintah memang sudah diumumkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, tetapi tidak ada yang menyangkal bahwa pendapatan di luar gaji sebetulnya lebih besar. Sebab, asumsi umum, pejabat dapat "menguangkan" kewenangan, kekuasaan, hingga kesempatan. Hal itu dibuktikan dengan adanya isu rekening gendut para pejabat pemerintah, beberapa waktu lalu.

Berpikir apriori

Kedua, pernyataan tersebut membawa pada pemikiran apriori terhadap kejahatan-kejahatan yang tersembunyi. Apabila fakta empiris merupakan hal yang telah terjadi, maka hubungan satu kejadian dan kejadian lainnya adalah hal yang mungkin saja terjadi. Proyeksi tentang pelanggaran di dunia yang mungkin itu nyatanya tak dilanjutkan dengan penyelidikan yang memadai.

Lagi pula, apriori itu semakin kuat ketika data Kementerian Sosial pada tahun 2015 menunjukkan adanya 168 lokasi prostitusi di tengah-tengah masyarakat, tetapi hanya 39 lokasi yang dapat dibereskan. Boleh dikatakan jauh panggang dari api karena kinerja pemerintah baru mencapai 23 persen selama 70 tahun Indonesia merdeka.

Ketiga, aparat melakukan penanganan prostitusi kelas atas secara setengah-setengah. Hal itu semakin membuktikan pepatah lama bahwa hukum hanya "tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas". Contoh, pada Oktober 2015, kasus prostitusi yang melibatkan dua artis hanya menyeret mucikari ke meja hijau dan divonis penjara satu tahun empat bulan. Belakangan diketahui mucikari ini bekerja sebagai perias artis.

Kiranya mata rantai kejahatan tidak hanya tertuju pada satu orang saja, tetapi melibatkan sejumlah tokoh dengan peran khusus yang mendukung modus operandinya. Karena itu, jelas tidak adil manakala hanya satu orang yang dijatuhi hukuman, sementara artis dan pelanggannya tidak pernah disentuh.

Keempat, praktik pembongkaran prostitusi kelas atas tampak hanya sebagai sensasi dalam pemberitaan di media massa. Suka atau tidak, berita penangkapan akan tersebar secara cepat dan meluas, tetapi cuma sebentar. Setelah itu, publik akan melupakan tindak lanjut. Coba lihat, fakta-fakta sebelumnya menunjukkan tidak ada penyelesaian yang menyeluruh atas kasus prostitusi tersebut, yakni dimulai dari penindakan terhadap pelanggan, mucikari, hingga artis yang tertangkap.

Pendeknya, selama rantai prostitusi kelas atas itu tidak dijelaskan kepada publik, selama itu pula aparat boleh dikata tidak bekerja secara sungguh-sungguh. Ini tidak main-main. Sebab, selain ancaman terhadap wacana pemerintahan yang berwibawa, hal yang dipertaruhkan adalah kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari pelbagai penyakit sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar