Selasa, 17 November 2015

Perekonomian Mulai Menggeliat

Perekonomian Mulai Menggeliat

A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                                     KOMPAS, 16 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tidak sulit memaknai data pertumbuhan ekonomi triwulan III-2015 yang mencapai 4,73 persen, meningkat dibandingkan 4,67 persen pada triwulan II-2015. Tanpa bermaksud menghibur diri, saya melihat indikasi perekonomian Indonesia menyentuh level terendah. Jika semua berjalan baik dan tak ada kejutan yang berarti, kita akan menyaksikan tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat pada triwulan terakhir 2015. Tren ini berpeluang berlanjut pada 2016.

Perbaikan ekonomi pada triwulan III- 2015 disebabkan dua hal. Pertama, belanja pemerintah mulai meningkat. Pada dua triwulan pertama, belanja pemerintah terganggu faktor nomenklatur organisasi pemerintah. Presiden Joko Widodo pernah menyatakan terkejut dan baru sadar perubahan struktur kabinet ternyata berimplikasi pada pelambatan belanja pemerintah. Perlu waktu menyesuaikan administrasi dan birokrasi sebelum dana APBN dapat dicairkan.

Kedua, penguatan dollar AS (atau sebaliknya pelemahan rupiah) cepat atau lambat akan menyentuh titik jenuh. Dollar AS yang sudah terlalu kuat akan menggerus daya saingnya. Akibatnya, daya serap tenaga kerja AS kini mulai melemah. Tenaga kerja di sektor nonpertanian yang semula bisa terserap 200.000 orang hingga di atas 300.000 orang per bulan kini mulai tergelincir ke 100.000-an orang saja.

Hal ini menjadi alasan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, tak kunjung menaikkan suku bunga dari level sekarang 0,25 persen. Sudah berapa bulan Gubernur The Fed Janet L Yellen seperti menelan ludah, dengan menunda rencana menaikkan suku bunga. Jika suku bunga dinaikkan, dollar AS akan kian menguat. Ini tentu tidak dikehendaki karena berisiko pada pelemahan kemampuan penyerapan tenaga kerja.

Rupiah yang sempat mencapai titik terendah Rp 14.700 per dollar AS kini stabil di level Rp 13.500-13.600 per dollar AS. Memang belum mencapai level optimal, tetapi setidaknya tak lagi melemah secara liar, tak terkendali, dan tidak melampaui batas psikologis Rp 15.000 per dollar AS.

Kombinasi belanja pemerintah dan stabilitas rupiah pada level yang ”masuk akal” memicu peningkatan kepercayaan pelaku ekonomi untuk kembali berbelanja. Pengeluaran sisi konsumsi individual yang biasanya berkontribusi 60 persen terhadap pembentukan produk domestik bruto mulai bergerak naik.

Harus diakui, kebijakan deregulasi hingga enam paket juga ikut menyumbang perbaikan persepsi pelaku ekonomi terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Dari sekian banyak paket deregulasi itu, mungkin yang paling cepat direspons positif adalah revaluasi aset. Bank besar dan sejumlah perusahaan besar lain cukup antusias mengikuti program ini.

Dengan revaluasi, aset bank akan meningkat. Implikasinya, modal inti bank meningkat, yang membuat kemampuan bank mendorong kredit kian besar. Di sisi lain, pemerintah mendapat penerimaan pajak dari revaluasi aset. Jika revaluasi dilakukan pada 2015, pemerintah mengenakan pajak hanya 3 persen.

Momentum pertumbuhan ekonomi yang mulai menggeliat harus dijaga. Dari sektor riil, pemerintah harus mengawal deregulasi hingga benar-benar dapat terimplementasi secara efektif. Jangan sampai semangat deregulasi alias ”ramah terhadap investasi” hanya berhenti pada pencanangan oleh Presiden atau sebatas diumumkan menteri. Deregulasi bukan cuma di tataran normatif atau wacana, melainkan juga menukik pada wilayah operasional. Oleh karena itu, birokrat di level eselon di bawah menteri (I, II, III) harus memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan yang hendak dicapai.

Relaksasi regulasi dan kemudahan menjalankan usaha merupakan hal yang dipahami, diresapi, dan dijalankan birokrat. Jangan sampai mereka malah merasa terusik karena wilayah kekuasaannya menjadi berkurang akibat dipangkas deregulasi. Deregulasi bisa menjadi semacam konflik kepentingan bagi birokrat. Namun, kepentingan besar harus dikedepankan. Negeri ini butuh percepatan industrialisasi untuk menaikkan daya saing sehingga birokrasi yang membelenggu harus dienyahkan.

Masalah kedua adalah suku bunga. Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) masih 7,5 persen. Untuk mendorong geliat perekonomian, perlu penurunan suku bunga. Namun, BI tetap harus berhitung tentang sensitivitas rupiah terhadap penurunan suku bunga. Jika BI Rate diturunkan dari 7,5 persen ke 7,25 persen, apakah itu tak mengusik stabilitas rupiah?

Jika rupiah melemah, cadangan devisa pasti berkurang. BI tidak mungkin membiarkan rupiah melemah tanpa intervensi. BI sudah berjanji senantiasa berada di pasar untuk mengawal rupiah. Situasi dilematis ini akan mewarnai Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (17/11). Ini bukan hal yang mudah, sebagaimana The Fed setahun ini dalam dilema menentukan kenaikan suku bunga.

Berangkat dari pemahaman saat ini, stabilitas rupiah masih menjadi prioritas utama, saya merekomendasikan BI Rate tetap ditahan dulu agar cadangan devisa tidak merosot. Setelah 2015 berakhir dan kita benar-benar memiliki inflasi rendah, misalnya 3,5 persen, BI Rate bisa diturunkan mulai Januari 2016. Dengan cara itu, kita mulai bisa menggantung asa pertumbuhan ekonomi, setidaknya 5 persen tahun depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar