Orang Indonesia di Sarang NIIS
Hamid Awaludin ;
Mantan Dubes RI untuk Rusia;
Dosen Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS,
17 November 2015
Entah apa yang
diimpikan delapan anggota jemaah An-Nadzir asal Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan,
yang beberapa waktu lalu dicegat petugas keamanan di Pelabuhan Sabang, Aceh,
ketika hendak berangkat ke Suriah. Tak sulit diduga, mereka hendak ke negeri
yang kini sebagian dikuasai kelompok militan kuat Negara Islam di Irak dan
Suriah (NIIS). Di antara mereka bahkan ada seorang anak di bawah umur dan
seorang bayi. Sebelumnya, sejumlah orang juga tertangkap di perbatasan Turki,
sebagian lain telanjur menyeberang. Dalam laporan intelijen Inggris, seperti
disampaikan PM Inggris David Cameron yang beberapa bulan lalu datang ke
Jakarta, orang Indonesia yang bergabung dengan NIIS dan ikut di berbagai
palagan pertempuran di sana sedikitnya 500 orang.
Tindakan hukum
Dunia yang kian tak
terpisahkan oleh berbagai sarana komunikasi mutakhir membuat ideologi dan
paham yang dulu hanya terdengar samar-samar kini lalu-lalang di ruang-ruang
pribadi masyarakat Indonesia. Internet menyajikan kabar dan tontonan yang
lengkap tentang segala yang terjadi di pelosok Timur Tengah, lengkap dengan
imaji-imaji masa depan dan janji-janji surga. Ajakan untuk bergabung dengan
kelompok-kelompok militan itu tak sulit didapatkan, merasuk lewat perangkat
teknologi mutakhir: telepon pintar, komputer, dan televisi.
Tak heran jika petugas
keamanan seperti Detasemen Khusus 88 Antiteror, organ di bawah Kepolisian,
kini di tingkat kewaspadaan tertinggi. Mereka mengendus, menelisik,
mengawasi, dan juga berusaha mencegah meluasnya ideologi ekstrem seperti NIIS
di negeri ini, termasuk mencegah keberangkatan orang-orang Indonesia yang
hendak bergabung dengan para militan di luar negeri.
Sejatinya, kita
menolak NIIS bukan semata lantaran misi dan ideologi organisasi ini
bersilangan dengan ideologi kita. Dalam menjalankan misinya, NIIS menggunakan
semua cara. Pembunuhan keji yang membabi buta tanpa mengenal garis demarkasi
antara orang dewasa, anak- anak, balita, wanita dan laki-laki, bersenjata
atau tidak. NIIS adalah sebuah monster harkat dan martabat manusia, serta
mesin giling bagi peradaban manusia. Apa pun motif perjuangan NIIS, cara menjalankan
misi itu tidak akan bisa mendapatkan pembenaran yuridis dan moral.
Kejadian di Paris, 13
November lalu, kian mengabsahkan kebiadaban kelompok ini, yang menewaskan 129
orang dan mencederai ratusan lain. Paus Fransiskus tegas mengatakan, ”Saya
tak mengerti semua ini bisa dilakukan oleh manusia. Tak mungkin ada
pembenaran religi ataupun manusiawi. Ini sesuatu yang biadab.”
Masalah hukum yang
dihadapi negara dalam menghadapi orang-orang Indonesia yang pergi berjuang
atas nama NIIS sangatlah pelik. Aparat negara bisa saja menangkap dan
mengajukan mereka ke pengadilan setelah mereka kembali. Namun, para hakim
yang mengadili akan kesulitan menerapkan hukum positif apa yang bisa dipakai
untuk menghukum.
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana kita sekarang hanya menyiapkan hukuman bagi orang-orang yang
hendak melakukan penggulingan (makar) terhadap pemerintah yang sah di
Republik Indonesia, bukan di luar wilayah Indonesia. UU Antiterorisme kita
juga belum menjangkau fenomena seperti NIIS ini. Terlepas dari itu, para
hakim akan sangat berhati-hati menghukum warga Indonesia yang kembali ke
Tanah Air setelah berjuang untuk NIIS, sebab NIIS bukan sebuah entitas
negara. Andaikan NIIS adalah entitas negara, warga negara yang tergabung dan
membantu NIIS bisa dikenai hukuman sebab hukum positif kita sudah mengatur
dengan jelas larangan WNI membantu negara lain untuk memenangi perangnya.
Kondisi faktual ini
menyebabkan para hakim, kelak, akan sulit menghukum para WNI yang kembali
seusai membantu NIIS. Para hakim akan mengkhawatirkan diri mereka disodok
dengan agenda hak asasi manusia, sebuah label yang bisa merembes ke
mana-mana. Selain itu, para hakim bisa jadi akan berhadapan lagi dengan
Komisi Yudisial (KY), yang memang sangat dinamis mencari peluang
mempersoalkan segala keputusan hakim. Begitu KY menghakimi para hakim, pihak
lain seolah bersatu dalam nada ikut-ikutan jadi hakim.
Jalan keluar
Pilihan negara
menangani ini hanya satu: sesegera mungkin merevisi UU No 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Terorisme. Dalam revisi ini sudah harus diatur bahwa
WNI yang terlibat pendidikan, pelatihan, dan ikut melakukan aktivitas terkait
terorisme di luar negeri, apakah sifatnya individu atau kelompok, tetap harus
dihukum saat kembali ke Indonesia. Keterlambatan menyiapkan aturan hukuman
akan berarti ada peluang mereka lolos dari jerat hukum. Apalagi, konstitusi
kita melarang menghukum dengan hukum yang berlaku surut.
Selanjutnya, WNI yang
mengumpulkan, menyalurkan, membagikan dana, baik dari dalam negeri maupun di
luar negeri, selama itu berkaitan dengan kegiatan terorisme, juga harus
dihukum. Pengumpulan dana untuk membiayai kegiatan terorisme ditengarai
terjadi di wilayah Republik Indonesia. Kedoknya sangat menyentuh: dana untuk
kemanusiaan. Kedok lain, pembangunan rumah ibadah (masjid dan mushala) dan
panti asuhan. Modus ini marak di mana-mana, terutama di pinggir-pinggir
jalan. Negara perlu awas terhadap kegiatan sejenis ini.
Negara harus
melindungi warganya dari segala bentuk penyalahgunaan kepercayaan publik.
Negara harus hadir untuk mencegah terjadinya kekerasan yang bisa mengorbankan
warganya dan warga lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar