Rabu, 18 November 2015

Tragedi Paris: Indonesia Menolak ISIS

Tragedi Paris: Indonesia Menolak ISIS

A Helmy Faishal Zaini  ;   Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
                                                KORAN SINDO, 17 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Paris 13/11 adalah tragedi kemanusiaan yang menyedihkan, memilukan, mengiris hati, serta meninggalkan sejumlah pertanyaan aktual yang oleh beberapa pihak dikatakan sedikit sulit untuk diurai.

Betapa tidak, tragedi Paris seolah membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa sesungguhnya terorisme dan radikalisme bisa melanda apa saja, kapan saja, dan siapa saja, termasuk negara dengan sistem sekuritas yang mapan juga modern seperi Prancis. Serangan yang diduga kuat dilakukan oleh jihadis-jihadis Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang menyebabkan ratusan jiwa meregang nyawa itu juga bisa dijadikan dalil sahih bahwa sesungguhnya bibit-bibit radikalisme itu bisa bersemai di mana saja.

Dari negeri yang paling fasis sampai negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Pada negeri yang terakhir ini, menarik untuk kembali mengungkapkan hasil temuan Jack Snyder (1999), seorang guru besar Universitas Columbia. Ia dalam bukunya yang bertajuk From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict mengatakan bahwa sejarah demokrasi adalah bentangan sejarah konflik, kekerasan, juga radikalisme.

Perang-perang yang merupakan puncak kekerasan di dunia seperti perang Napoleon (1803-1815), perang Kaisar Wilhelm (1914-1918), juga perang Adolf Hitler (1939-1945) adalah sebagian besar disebabkan oleh usaha untuk menuju demokratisasi itu sendiri. Artinya, tesis Snyder ini bisa dijadikan landasan kuat bahwa sesungguhnya kekerasan itu bisa bersemai di mana saja, termasuk di negara yang demokratis sekalipun.

Bahkan lebih jauh soal radikalisme ini, Karen Amstrong (2007) dalam the Battle for God mengatakan bahwa radikalisme ada di hampir semua agama. Di setiap kepercayaan, apa pun itu bentuknya terlebih agama, hampir bisa dipastikan ada barang satu atau dua gerakan yang lebih bersikap fundamentalis yang kemudian gerakannya diekspresikan dengan cara-cara kekerasan (radikalisme).

Pada tataran inilah saya ingin memberikan garis demarkasi antara fundamentalisme dan radikalisme yang dalam bahasa agama kerap diistilahkan sebagai ”Syiddah Al-Tanattu”. Dalam hemat saya, fundamentalisme adalah abstraksi pemahaman yang domain wilayahnya ada di pikiran.

Sementara itu, ra-dikalisme adalah tindakan turunan yang dilahirkan dari pola pikir fundamentalis itu. Artinya, fundamentalisme itu soal pikiran, sementara radikalisme itu soal tindakan. Lebih jauh soal radikalisme itu sendiri, Said Aqil Siroj (2014) pernah mengemukakan analisisi menarik. Ia berpendapat bahwa sesungguhnya radikalisme hari ini telah terfragmentasi menjadi minimal tiga bentuk dan varian.

Pertama, radikalis puritan. Radikalis macam ini lebih menitikberatkan kegiatannya dalam rangka memurnikan ajaran Islam dari tradisi-tradisi yang lokal. Kedua, radikalis sekuler. Radikalis ini banyak mengonsentrasikan gerakannya untuk mengislamkan segala sistem sekuler seperti demokrasi, sistem politik, juga bentuk negara.

Terakhir, radikalis teroris yang mengejawantahkan seluruh konsep dan pikiran serta pandangannya dengan cara pemaksaan yang dibungkus dengan kekerasan. Sesungguhnya jika kita telaah lebih jauh, dua bentuk pertama dari fragmentasi radikalisme itu, kita akan menemukan bahwa gerakan radikalisme berada sebatas pada konsep dan alam pikir pengikutnya semata.

Mungkin juga dua bentuk tersebut juga diwujudkan dalam bentuk gerakan, namun tidak sampai menggunakan kekerasan sebagai alat gerakannya. Pada dua bentuk itu kadar serta taraf bahaya radikalisme tidak sebesar yang ada pada radikalisme dalam bentuk ketiga yakni radikalisme teroris yang selalu istikamah menjadikan teror dan kekerasan sebagai pengejawantahan gerakan serta cara untuk menerjemahkan gagasannya.

Terorisme sebagaimana yang terjadi di Paris hari ini yang merupakan ejawantah dari fragmentasi radikalisme teroris di atas, meminjam analisis F Budi Hardiman (2009), bangkit lewat Technology of Fear, bangkit lewat dramatisasi kematian. Di sinilah sesungguhnya ”kerja-kerja” seperti bom bunuh diri itu bisa kita pahami.

Lebih menyedihkannya, paham terorisme tersebut jika kita cermati dengan teliti, sesungguhnya mereka bisa berkembang dengan sangat cepat justru dengan cara memanfaatkan lahan subur yang bernama kebebasan yang dikenal dalam sistem demokrasi. Kebebasan argumentasi juga kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu ciri utama demokrasi itulah yang menjadi media pacu landas serta alasan kemunculan paham radikalisme yang berwujud terorisme tersebut di negara-negara yang menganut paham demokrasi.

Pada titik inilah saya mengajak pada semua pihak untuk selalu waspada. Radikalisme adalah momok bagi kita semua. Meminjam Roxane L Ebune (2002), fundamentalisme serta radikalisme adalah musuh dalam cermin bagi kaum beragama. Tak ada jalan untuk bisa menaklukkan musuh dalam cermin itu kecuali dengan cara menaklukkan diri sendiri.

ISIS yang menjadi aktor utama radikalisme akhir-akhir ini nyatanya tidak saja bersemi di negara-negara Asia, ia juga sudah merambah Eropa yang konon paling aman. Nyatanya hari ini kita mendapati fakta yang berbeda. Terorisme tidak tertidur di Eropa, ia sudah bangun dan bersiap merenggut nyawa manusia lebih banyak dan lebih meruah.

NU mengajak semua pihak untuk membentengi diri dengan kearifan dan kesantunan dalam beragama. Derajat manusia lebih tinggi dari hewan-hewan di dunia. Jika hewan-hewan itu, meminjam analisis Erich Fromm (2000), menunjukkan perilaku agresif hanya dalam bentuk yang paling defensif yakni untuk kepentingan hatinya jika mulai terancam yang ternyata tujuannya bukan untuk menghancurkan, tetapi justru untuk sekadar menjaga kelangsungan hidupnya.

Sebaliknya yang kita dapati pada manusia adalah perilaku lebih rendah dari hewan-hewan itu. Mereka menggunakan nalar destruktivitas dan kekejaman serta radikalisme justru untuk memaksakan kehendak mereka. Jika hewan-hewan menggunakan kekerasan dalam arena defensivitas, manusia menggunakan kekerasan dalam ranah ofensivitas.

Keadaan yang demikian sesungguhnyalah yang menempatkan manusia tidak lebih mulia dibandingkan hewan-hewan tersebut. Alakullihal, gerakan radikalisme seperti apa pun dan dalam bentuk bagaimanapun tidak pernah dibenarkan oleh agama. Atas dasar itulah, NU menjadi garda depan yang menolak paham-paham Islam radikalis seperti ISIS berkembang di Indonesia.

Apalagi, sejak dini kami mengenal diktum hubbul wathon minal iman, cinta Tanah Air adalah sebagian bentuk dari keimanan, jelas kami lebih mencintai Indonesia dibandingkan Irak dan Syiria. Wallahualam bishhowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar