Kamis, 19 November 2015

Ketika Presiden Marah

Ketika Presiden Marah

Bandung Mawardi  ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
                                                    JAWA POS, 18 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA 16 November 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla melaporkan bahwa Presiden Joko Widodo terkejut dan marah. Konon, beliau marah karena ulah unsur pimpinan DPR yang mencatut nama presiden dalam urusan Freeport. 

Sejak lama kita mengenal Jokowi adalah tokoh yang santun, semringah, gampang mengumbar tawa, dan lugas. Kini kita mendapat berita Jokowi marah.
Konstitusi tidak melarang presiden marah. Kita pun mengerti jika presiden marah berdalih kepentingan bangsa-negara dan kehormatan pejabat. Wajah kalem dan tawa bernada itu berubah menjadi ekspresi kemarahan.

Dulu Jokowi jarang diceritakan marah saat memimpin Solo dan Jakarta. Kemarahan bisa muncul karena ada hal-hal yang keterlaluan. Jokowi suka bercakap dalam mengatasi pelbagai perkara atau bersikap untuk realitas politik. Kebiasaan itu bisa menguak kejawaan dan kemauan jadi teladan. Nalar kekuasaan Jawa memungkinkan penguasa marah, tetapi memerlukan kesesuaian perkara, tempat, waktu, dan pilihan bahasa.

Marah itu representasi kekuasaan. Sejarah di Jawa turut dipengaruhi marah para raja yang berkaitan dengan politik, ekonomi, agama, seks, dan militer. Marah itu manusiawi, tetapi memiliki seribu arti saat dimunculkan di panggung kekuasaan. Jokowi mungkin pernah belajar Wulangreh, Wedhatama, Jayengbaya, Nitisastra, atau Sanasunu untuk menjadikan diri sebagai manusia bijak dan pemimpin yang pandai mengolah rasa.

Teks-teks sastra klasik Jawa sering bermuatan petuah atau ’’piwulang’’ mengenai karakter manusia. Jokowi mungkin meresapi ajaran-ajaran dalam ’’sastra piwulang’’ agar tak gampang marah atau bertindak gegabah dalam mengurusi seribu perkara di Indonesia.

Berita tentang Jokowi marah bisa membuat kita terkejut, meski menganggap itu wajar. Presiden tanpa marah malah tidak lazim. Presiden-presiden di Indonesia pernah marah, sejak Soekarno sampai SBY. Apakah Jokowi juga pernah mempelajari cara marah para presiden terdahulu? Semoga Jokowi mengetahui ekspresi kemarahan para presiden masa lalu, tetapi tidak harus meneladani. Jangan jadikan marah sebagai keteladanan absolut!

Kita memiliki ingatan Soekarno marah karena demonstrasi kaum perempuan terkait dengan poligami. Soekarno jadi sasaran perlawanan atas lakon-lakon asmara Soekarno. Para tokoh gerakan perempuan menginginkan Soekarno mawas diri, tidak berlaku sebagai presiden yang memuja asmaranisme bercap poligami. Presiden marah dan berusaha memberikan penjelasan, meski sulit dipahami.

Pada 1960-an, Soekarno juga marah dalam situasi politik yang panas. Kemarahan berakibat ke pembubaran partai politik, pemenjaraan tokoh, serta pemberedelan pers. Soekarno tentu marah saat mendapat ejekan dan tuduhan dari para mahasiswa. Demonstrasi pada hari-hari menjelang malapetaka 1965 gampang membuat Soekarno marah. Para mahasiswa diajak bercakap agar mereka tidak mengumbar ejekan dalam orasi, poster, atau coretan di mobil para pejabat.

Soekarno pernah mendapat tuntutan: ’’Stop import istri!’’ Para menteri juga dituduh ’’tukang kawin’’. Di rumah Hartini, terdapat coretan-coretan berisi serangan politik dan seks. Soekarno marah!

So Hok Gie dalam catatan harian bertanggal 25 Januari 1965 menceritakan pertemuan para mahasiswa dengan Soekarno. Gie menulis kemarahan Soekarno: ’’Kau tahu apa jang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di rumah Ibu Hartini? Kau tahu rumah Ibu Hartini ditjoret-tjoret ’Lonte Agung’, ’Gerwani Agung’, dan lain-lainnja? Kau tahu apa artinja lonte? Hartini adalah isteriku dan aku adalah bapakmu. Jadi, dia djuga ibumu. Inikah jang dilakukan seorang anak terhadap ibunja?’’

Gie menganggap Soekarno marah sekali. Dia tak ingin menghujat atau menimpakan kesalahan mutlak pada Soekarno. Gie malah mengakui: ’’Aku jakin bahwa Bung Karno adalah manusia jang baik dan tragis hidupnja. Mungkin ia pernah membuat kesalahan-kesalahan politik jang besar, akan tetapi salah satu sebabnja adalah pembantu-pembantunja sendiri.’’ Indonesia pada masa 1960-an dilanda kemarahan yang berakibat malapetaka berdarah dan pergantian kekuasaan.

Pada masa Orde Baru, kita memiliki ingatan-ingatan tentang Soeharto marah. Kita menilai kemarahan beliau khas penguasa Jawa dan militeristik. Para pejabat, pengusaha, seniman, dan wartawan sangat mengerti risiko jika membuat Soeharto marah.

Di mata para sahabat, Soeharto tentu tidak dianggap pemarah. Buku berjudul Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun (1991) terbitan Cipta Lamtoro Gung Persada tidak berisi kesaksian Soeharto itu pemarah. Umar Wirahadikusuma menganggap beliau tenang, sabar, dan ulet. J.B. Sumarlin memuji, Soeharto adalah tokoh arif, bijaksana, dan rendah hati. Soepardjo Roestam memastikan Soeharto itu arif, tenang, dan tegas. Soeharto bukan pemarah.

Sebelum Jokowi tampil sebagai presiden, kita sempat mendapat berita dan cerita SBY marah. Selama sepuluh tahun SBY menunaikan misi membangun Indonesia. Beliau terlihat ganteng dan santun. Anggapan itu bisa sejenak berubah saat mengetahui SBY marah terkait dengan urusan serangan politik, fitnah, dan tuduhan-tuduhan sembarang. Buku berjudul Selalu Ada Pilihan (2014) garapan SBY menjadi dokumentasi saat-saat dia marah, meski tidak dijelaskan secara gamblang dan utuh.

Kini kita mengetahui dari laporan Jusuf Kalla bahwa Jokowi marah. Kita berharap Jokowi marah sebagai representasi kemarahan Indonesia. Marah itu perlu jika menentukan kedaulatan dan kesejahteraan Indonesia. Kita mendukung Jokowi marah, tetapi harus dibuktikan dengan kerja merampungkan masalah Freeport. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar