Larangan dan Pembatasan Impor
Gusmardi Bustami ;
Mantan Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional
Kementerian Perdagangan; Duta Besar RI-WTO di Geneva (2002-2008); Anggota
TRAP Forum
|
KOMPAS,
16 November 2015
Masalah impor akhir-akhir
ini hangat dibicarakan dan telah menjadi polemik di masyarakat. Tak hanya
impor produk pertanian seperti beras, dan perikanan seperti ikan teri, tetapi
juga produk industri seperti tekstil, elektronik, kosmetik, dan mainan anak.
Bahkan ditengarai
terjadinya alih fungsi dari produsen kepada pedagang, juga ketidakserasian
para menteri mengenai impor. Timbul pertanyaan, sebagai negara anggota
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), (1) apakah suatu negara dapat melakukan
larangan atau pembatasan impor; (2) membahayakankah impor tersebut; dan (3)
bagaimana suatu negara menyikapinya.
Sebagai bagian
masyarakat internasional, Indonesia tidak bisa mengabaikan perikatan dalam
perjanjian internasional, dengan Indonesia sebagai salah satu negara pihak.
WTO sebagai rules based adalah organisasi yang mengatur hak dan kewajiban
negara anggota dalam perdagangan internasional. Ada persepsi di masyarakat bahwa perjanjian
WTO itu merugikan kita sebagai suatu negara yang berdaulat dan selalu melihat
bahwa WTO sebagai wujud neokolonialisme.
Bayangkan kalau tidak
ada WTO, akan terjadi yang kuat menindas yang lemah dan perdagangan
internasional akan kembali ke era sebelum Perang Dunia II. Bayangkan kalau
Indonesia bukan anggota WTO, ke mana akan diekspor produk Indonesia? Apakah
ekonomi kita bisa tumbuh seperti dalam beberapa dekade terakhir?
Perjanjian WTO &
GATT 1947 telah diratifikasi dengan UU No 7/1994. Indonesia termasuk
"anggota pendiri" dari WTO. Kalau kita cermati, memang perjanjian
WTO lebih banyak mengatur mengenai impor atau akses pasar ketimbang mengatur
ekspor atau akses pasokan. Mengapa? Karena semua negara cenderung menutup
pasarnya dengan membuat aturan-aturan yang menghambat dan sulit untuk
ditembus sehingga tidak terjadi adanya pertumbuhan dalam perdagangan.
Padahal, perdagangan diyakini akan membawa kesejahteraan suatu bangsa.
Pertanyaan pertama,
apakah negara sebagai anggota WTO boleh melarang atau membatasi impor? Ada
dasarnya (Art XI dan Art XIII GATT). Kebijakan perdagangan dalam bentuk
larangan impor atau pembatasan itu "dilarang" untuk dilakukan dan
hanya dapat dilakukan dengan pengenaan tarif ataupun nontarif, seperti
perizinan impor dan ekspor, tarif kuota, dan standardisasi.
Lantas, apakah
larangan dan pembatasan itu bersifat mutlak? Sebenarnya tidak demikian. Dalam
Art XX GATT, suatu negara dibolehkan membuat kebijakan larangan dengan
syarat-syarat yang ditentukan. Ada 10 syarat, di antaranya: (1) untuk
melindungi moral publik; (2) melindungi kesehatan manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan; dan (3) berkaitan dengan impor atau ekspor emas dan perak.
Terdapat juga
pembatasan dalam kaitan pengamanan neraca pembayaran (Art XII GATT), dengan
ketentuan hak yang diberikan itu tidak bisa dilakukan seenaknya. Hak tersebut
dapat dilakukan dengan syarat, antara lain, adanya ancaman yang nyata atau
menghentikan penurunan yang serius cadangan devisa; atau apabila suatu negara
yang mempunyai cadangan devisa yang sangat rendah dengan maksud untuk
meningkatkan pada tingkat yang wajar.
Kalau kebijakan ini diambil, secara bertahap harus dilakukan
relaksasi.
Perlindungan konsumen
Pertanyaan kedua,
membahayakankah impor tersebut?
Perdagangan luar negeri adalah dua arah: impor dan ekspor. Kalau kita
selalu melihat impor itu membahayakan produksi dalam negeri, ini keliru
karena kompetisi yang sehat diperlukan untuk terbentuknya harga yang wajar
dan kualitas yang baik bagi konsumen. Konsumen juga harus diberi kesempatan
memilih. Impor Indonesia lebih didominasi bahan baku/penolong dan barang
modal untuk kepentingan industri manufaktur yang sebagian besar hasilnya
diekspor dan membuka lapangan pekerjaan.
Namun, bagaimana
dengan barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman, tekstil dan
pakaian jadi, sepatu, elektronik, dan besi baja? Apabila barang-barang tersebut
membanjiri pasar dengan cara tidak adil dan juga tidak sesuai kaidah
perlindungan konsumen, impor atas barang-barang tersebut tentu akan
membahayakan kesehatan konsumen dan rusaknya pasar. Akhirnya akan
menghancurkan produsen barang sejenis di dalam negeri.
Oleh karena itu,
pemerintah harus jeli, bagaimana membuat kebijakan perdagangan yang tidak
melanggar perjanjian internasional, tetapi juga bagaimana produsen dan pasar
dalam negeri dapat berkembang serta konsumen terlindungi.
Sikap pemerintah
Pertanyaan ketiga,
bagaimana negara menyikapinya? Seharusnya negara tidak menyikapi secara
berlebihan. Apabila dilakukan, sikap seperti itu pasti akan merugikan kita
semua karena negara lain juga dapat bersikap sama terhadap kita. Oleh karena
itu, Perjanjian WTO mengatur cara-cara yang dapat diambil oleh negara anggota
untuk melindungi dirinya terhadap membanjirnya barang-barang impor.
Beberapa cara elegan
yang dapat dilakukan, antara lain, pertama, menerapkan tindakan anti-
dumping, tindakan pengamanan, dan antisubsidi. Tindakan ini adalah cara yang
sangat elegan untuk melindungi pasar dalam negeri atas tindakan yang tidak
adil dilakukan eksportir di luar negeri untuk menguasai pasar yang bisa
mematikan industri produk serupa di dalam negeri.
Pemerintah RI sesuai
dengan Art VI WTO Agreement dan PP No 34/2011 telah membentuk Komite
Antidumping dan Komite Pengamanan Perdagangan. Komite ini telah bekerja dan
telah pula menerapkan kebijakan antidumping dan tindakan pengamanan. Namun,
kedua komite tersebut tampaknya kurang kapasitas dan kurang perhatian dari
pemerintah. Padahal, komite ini punya peran sangat strategis.
Kedua, menerapkan
tariff-rate quota (TRQ), khususnya untuk barang pertanian, seperti beras,
jagung, atau daging. Tidak ada larangan dan tegas dinyatakan dalam Art XIII
WTO Agreement bahwa TRQ dapat
diterapkan sepanjang transparan, adil, dan tidak diskriminasi.
Negara maju, seperti
negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, juga menerapkan TRQ
untuk beberapa produk pertanian. Perlu diketahui, TRQ ini suatu sistem
pembatasan jumlah tertentu yang boleh diimpor dengan tingkat tarif tertentu.
Jika batas jumlah itu dilampaui, akan terkena tarif yang jauh lebih tinggi.
Sayangnya, pemerintah kurang memahami bagaimana kuota tarif ini bekerja
sehingga agak alergi mengambil kebijakan TRQ karena takut bisa terjadi moral
hazard.
Ketiga,
menyesuaikan prosedur perizinan impor
dengan WTO Import Licensing Agreement. Keempat, membuat non- tariff measures
(NTM) berdasarkan bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Perjanjian WTO tidak
mengatur bagaimana suatu negara anggota melakukan impor barang konsumsi,
bahan baku/penolong dan barang modal. Hanya mengatur prosedur dengan dua
kategori izin, yaitu otomatis dan non-otomatis. Bagaimana bentuk perizinan
yang dimiliki perusahaan itu sangat bergantung pada sistem yang dimiliki oleh
setiap negara anggota dan ini dihormati oleh Perjanjian WTO (Art 1 Pasal 2
Import Licensing Agreement).
Dengan demikian,
Indonesia tetap bisa memberikan bentuk perizinan impor sesuai dengan kebutuhannya, seperti
yang ada sekarang, yaitu dengan kategori Angka Pengenal Importir Umum (API-U)
dan Angka Pengenal Importir Produsen (API-P). Sebab, ini adalah kebutuhan
dalam mengatur perdagangan, tetapi harus transparan dan mudah. Kekisruhan
yang muncul akibat dikeluarkannya Permendag No 87/M-DAG/10/2015 seharusnya
tidak perlu terjadi.
Larangan atau
pembatasan impor harus dilakukan sesuai dengan Perjanjian WTO, Indonesia
harus menunjukkan kredibilitasnya kalau kita ingin menjadi basis produksi dan
mendorong peningkatan ekspor yang lebih tinggi di masa mendatang. Lakukan
kebijakan perdagangan yang memiliki landasan kuat. Kebijakan larangan dan
pembatasan impor bukanlah hal yang tidak dibolehkan, tetapi harus dilakukan
dalam kondisi tersebut di atas. Indonesia harus bisa menjadi "anak
cerdas" dalam memanfaatkan Perjanjian WTO. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar