Selasa, 17 November 2015

Larangan dan Pembatasan Impor

Larangan dan Pembatasan Impor

Gusmardi Bustami ;  Mantan Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan; Duta Besar RI-WTO di Geneva (2002-2008); Anggota TRAP Forum
                                                     KOMPAS, 16 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masalah impor akhir-akhir ini hangat dibicarakan dan telah menjadi polemik di masyarakat. Tak hanya impor produk pertanian seperti beras, dan perikanan seperti ikan teri, tetapi juga produk industri seperti tekstil, elektronik, kosmetik, dan mainan anak.

Bahkan ditengarai terjadinya alih fungsi dari produsen kepada pedagang, juga ketidakserasian para menteri mengenai impor. Timbul pertanyaan, sebagai negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), (1) apakah suatu negara dapat melakukan larangan atau pembatasan impor; (2) membahayakankah impor tersebut; dan (3) bagaimana suatu negara menyikapinya. 

Sebagai bagian masyarakat internasional, Indonesia tidak bisa mengabaikan perikatan dalam perjanjian internasional, dengan Indonesia sebagai salah satu negara pihak. WTO sebagai rules based adalah organisasi yang mengatur hak dan kewajiban negara anggota dalam perdagangan internasional.  Ada persepsi di masyarakat bahwa perjanjian WTO itu merugikan kita sebagai suatu negara yang berdaulat dan selalu melihat bahwa WTO sebagai wujud neokolonialisme.

Bayangkan kalau tidak ada WTO, akan terjadi yang kuat menindas yang lemah dan perdagangan internasional akan kembali ke era sebelum Perang Dunia II. Bayangkan kalau Indonesia bukan anggota WTO, ke mana akan diekspor produk Indonesia? Apakah ekonomi kita bisa tumbuh seperti dalam beberapa dekade terakhir?

Perjanjian WTO & GATT 1947 telah diratifikasi dengan UU No 7/1994. Indonesia termasuk "anggota pendiri" dari WTO. Kalau kita cermati, memang perjanjian WTO lebih banyak mengatur mengenai impor atau akses pasar ketimbang mengatur ekspor atau akses pasokan. Mengapa? Karena semua negara cenderung menutup pasarnya dengan membuat aturan-aturan yang menghambat dan sulit untuk ditembus sehingga tidak terjadi adanya pertumbuhan dalam perdagangan. Padahal, perdagangan diyakini akan membawa kesejahteraan suatu bangsa.

Pertanyaan pertama, apakah negara sebagai anggota WTO boleh melarang atau membatasi impor? Ada dasarnya (Art XI dan Art XIII GATT). Kebijakan perdagangan dalam bentuk larangan impor atau pembatasan itu "dilarang" untuk dilakukan dan hanya dapat dilakukan dengan pengenaan tarif ataupun nontarif, seperti perizinan impor dan ekspor, tarif kuota, dan standardisasi.

Lantas, apakah larangan dan pembatasan itu bersifat mutlak? Sebenarnya tidak demikian. Dalam Art XX GATT, suatu negara dibolehkan membuat kebijakan larangan dengan syarat-syarat yang ditentukan. Ada 10 syarat, di antaranya: (1) untuk melindungi moral publik; (2) melindungi kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan; dan (3) berkaitan dengan impor atau ekspor emas dan perak.

Terdapat juga pembatasan dalam kaitan pengamanan neraca pembayaran (Art XII GATT), dengan ketentuan hak yang diberikan itu tidak bisa dilakukan seenaknya. Hak tersebut dapat dilakukan dengan syarat, antara lain, adanya ancaman yang nyata atau menghentikan penurunan yang serius cadangan devisa; atau apabila suatu negara yang mempunyai cadangan devisa yang sangat rendah dengan maksud untuk meningkatkan pada tingkat yang wajar.  Kalau kebijakan ini diambil, secara bertahap harus dilakukan relaksasi.

Perlindungan konsumen

Pertanyaan kedua, membahayakankah impor tersebut?  Perdagangan luar negeri adalah dua arah: impor dan ekspor. Kalau kita selalu melihat impor itu membahayakan produksi dalam negeri, ini keliru karena kompetisi yang sehat diperlukan untuk terbentuknya harga yang wajar dan kualitas yang baik bagi konsumen. Konsumen juga harus diberi kesempatan memilih. Impor Indonesia lebih didominasi bahan baku/penolong dan barang modal untuk kepentingan industri manufaktur yang sebagian besar hasilnya diekspor dan membuka lapangan pekerjaan.

Namun, bagaimana dengan barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, sepatu, elektronik, dan besi baja? Apabila barang-barang tersebut membanjiri pasar dengan cara tidak adil dan juga tidak sesuai kaidah perlindungan konsumen, impor atas barang-barang tersebut tentu akan membahayakan kesehatan konsumen dan rusaknya pasar. Akhirnya akan menghancurkan produsen barang sejenis di dalam negeri.

Oleh karena itu, pemerintah harus jeli, bagaimana membuat kebijakan perdagangan yang tidak melanggar perjanjian internasional, tetapi juga bagaimana produsen dan pasar dalam negeri dapat berkembang serta konsumen terlindungi.

Sikap pemerintah

Pertanyaan ketiga, bagaimana negara menyikapinya? Seharusnya negara tidak menyikapi secara berlebihan. Apabila dilakukan, sikap seperti itu pasti akan merugikan kita semua karena negara lain juga dapat bersikap sama terhadap kita. Oleh karena itu, Perjanjian WTO mengatur cara-cara yang dapat diambil oleh negara anggota untuk melindungi dirinya terhadap membanjirnya barang-barang impor. 

Beberapa cara elegan yang dapat dilakukan, antara lain, pertama, menerapkan tindakan anti- dumping, tindakan pengamanan, dan antisubsidi. Tindakan ini adalah cara yang sangat elegan untuk melindungi pasar dalam negeri atas tindakan yang tidak adil dilakukan eksportir di luar negeri untuk menguasai pasar yang bisa mematikan industri produk serupa di dalam negeri.

Pemerintah RI sesuai dengan Art VI WTO Agreement dan PP No 34/2011 telah membentuk Komite Antidumping dan Komite Pengamanan Perdagangan. Komite ini telah bekerja dan telah pula menerapkan kebijakan antidumping dan tindakan pengamanan. Namun, kedua komite tersebut tampaknya kurang kapasitas dan kurang perhatian dari pemerintah. Padahal, komite ini punya peran sangat strategis.

Kedua, menerapkan tariff-rate quota (TRQ), khususnya untuk barang pertanian, seperti beras, jagung, atau daging. Tidak ada larangan dan tegas dinyatakan dalam Art XIII WTO Agreement  bahwa TRQ dapat diterapkan sepanjang transparan, adil, dan tidak diskriminasi.

Negara maju, seperti negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, juga menerapkan TRQ untuk beberapa produk pertanian. Perlu diketahui, TRQ ini suatu sistem pembatasan jumlah tertentu yang boleh diimpor dengan tingkat tarif tertentu. Jika batas jumlah itu dilampaui, akan terkena tarif yang jauh lebih tinggi. Sayangnya, pemerintah kurang memahami bagaimana kuota tarif ini bekerja sehingga agak alergi mengambil kebijakan TRQ karena takut bisa terjadi moral hazard.

Ketiga, menyesuaikan  prosedur perizinan impor dengan WTO Import Licensing Agreement. Keempat, membuat non- tariff measures (NTM) berdasarkan bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Perjanjian WTO tidak mengatur bagaimana suatu negara anggota melakukan impor barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal. Hanya mengatur prosedur dengan dua kategori izin, yaitu otomatis dan non-otomatis. Bagaimana bentuk perizinan yang dimiliki perusahaan itu sangat bergantung pada sistem yang dimiliki oleh setiap negara anggota dan ini dihormati oleh Perjanjian WTO (Art 1 Pasal 2 Import Licensing Agreement).

Dengan demikian, Indonesia tetap bisa memberikan bentuk perizinan  impor sesuai dengan kebutuhannya, seperti yang ada sekarang, yaitu dengan kategori Angka Pengenal Importir Umum (API-U) dan Angka Pengenal Importir Produsen (API-P). Sebab, ini adalah kebutuhan dalam mengatur perdagangan, tetapi harus transparan dan mudah. Kekisruhan yang muncul akibat dikeluarkannya Permendag No 87/M-DAG/10/2015 seharusnya tidak perlu terjadi.

Larangan atau pembatasan impor harus dilakukan sesuai dengan Perjanjian WTO, Indonesia harus menunjukkan kredibilitasnya kalau kita ingin menjadi basis produksi dan mendorong peningkatan ekspor yang lebih tinggi di masa mendatang. Lakukan kebijakan perdagangan yang memiliki landasan kuat. Kebijakan larangan dan pembatasan impor bukanlah hal yang tidak dibolehkan, tetapi harus dilakukan dalam kondisi tersebut di atas. Indonesia harus bisa menjadi "anak cerdas" dalam memanfaatkan Perjanjian WTO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar