Membingkis Pesan untuk G-20
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 18 November 2015
Minggu ini adalah
minggu sibuk bagi para kepala negara dunia. Beberapa pertemuan tingkat tinggi
seperti G-20 di Turki, APEC di Manila, KTT-ASEAN di Malaysia, dan Konferensi
Perubahan Iklim di Prancis telah atau akan berlangsung.
Pertemuan tersebut
menjadi semakin penting dan mendapatkan perhatian internasional ketika
serangan teroris pecah di Kota Paris. Serangan tersebut membuat konteks
pertemuan kepala negara menjadi sangat penting. Tatap muka para kepala negara
secara psikologis bisa mengurangi hambatan formalitas birokrasi dan
mempererat hubungan pribadi. Efek tatap muka memang sangat berbeda dengan
komunikasi melalui telepon atau e-mail.
Para kepala negara
secara pribadi dapat menanyakan secara langsung kepada kepala negara lain
perihal masalah-masalah yang mengganjal dalam hubungan antarnegara. Kita
masih ingat dalam pertemuan G-20 yang lalu di Australia, Perdana Menteri
Selandia Baru John Key memilih untuk tidak menutupi kemarahannya kepada
Presiden Rusia Vladimir Putin atas insiden di Ukraina.
Situasi itu telah
membuat Putin pulang lebih cepat dari jadwal karena suasana yang sudah tidak
nyaman lagi untuk dirinya terlibat dalam pertemuan selanjutnya. Serangan
teroris terhadap Paris telah membuat pertemuan G-20 kali ini lebih kental
dengan pembicaraan mengenai bagaimana menangani masalah terorisme walaupun
permasalahan ekonomi tetap menjadi topik yang dibahas dalam
pertemuanpertemuan kecil.
Kebetulan para kepala
negara yang hadir di G-20 berasal dari negara-negara yang terlibat secara
langsung dalam krisis di Timur Tengah khususnya di Suriah seperti Turki, Arab
Saudi, Amerika Serikat (AS), Australia, dan Rusia. Presiden AS Barack Obama
dan Presiden Rusia Putin yang biasanya tidak ramah satu sama lain justru
mengadakan pertemuan mendadak untuk membahas masalah penyelesaian di Suriah.
Sejauh informasi yang
dikeluarkan oleh masingmasing pihak, AS dan Rusia menyepakati jalan tengah
untuk mengadakan pemilihan umum (pemilu) di Suriah. Pemilu itu akan
melibatkan PBB sebagai fasilitator tanpa membicarakan perbedaan pendapat
antarkedua negara ini perihal apakah Presiden Suriah Bashar al- Assad bisa
berpartisipasi atau tidak dalam pemilu tersebut. Berita itu sangat baik bagi
dunia, tetapi mungkin membuat pesan Indonesia di G-20 agak tenggelam.
Dalam G-20, Indonesia
menyampaikan tiga pesan pokok, yaitu perlunya reformasi arsitektur keuangan
dunia, pentingnya diversifikasi mata uang internasional, serta perlunya
negara-negara maju mempertimbangkan dampak dari kebijakan moneter yang
diambilnya terhadap perekonomian negara berkembang. Indonesia merasa bahwa
selama ini negara berkembang kerap terkena imbas negatif dari kebijakan
moneter negara maju yang tidak menguntungkan.
Selain tiga pesan
pokok itu, Indonesia juga menyampaikan seruan untuk menanggulangi terorisme
secara bersamasama. Terkait dengan perubahan iklim, Indonesia mendesak agar
negara-negara maju memberikan bantuan keuangan yang lebih banyak. Tidak dapat
disangkal bahwa ketiga pesan pokok itu penting untuk Indonesia.
Namun pertanyaannya
adalah mengapa hal ini begitu penting hingga harus diungkapkan dengan sama
persis seperti beberapa waktu lalu dalam perayaan Konferensi Asia-Afrika
(KAA) di Bandung. Dalam KAA di Bandung, pidato itu memiliki signifikansi
karena hampir seluruh peserta adalah negaranegara berkembang yang tengah
berjuang mengatasi kemiskinan.
Dalam konteks G-20,
audiensnya lebih beragam dan pertanyaannya justru tentang seperti apa bentuk
baru arsitektur keuangan dunia yang ingin didorong oleh Indonesia, termasuk,
pengaturan tata kelola moneter dunia apa yang ideal menurut Indonesia. Selain
itu, kita perlu paham bahwa mereformasi lembaga keuangan internasional
warisan Perang Dunia II (IMF dan World Bank) memang sudah menjadi salah satu
tujuan utama didirikannya G-20.
Itu sebabnya telah
dialokasikan dua kursi suara di IMF kepada India dan China agar suara
negaranegara berkembang terwakili di sana. Dengan kata lain, saya ingin
mengatakan bahwa mengulang-ulang ide perlunya reformasi lembaga keuangan
internasional tanpa solusi yang jitu tak ubahnya membuang waktu. Sebenarnya
selama ini Indonesia melakukan pendekatan yang cukup konstruktif dalam
menyokong komitmen G-20.
Indonesia adalah salah
satu Negara yang memelopori dibentuknya General Expenditure Support Fund,
yaitu sebuah mekanisme pemberian bantuan keuangan untuk negara-negara
berkembang untuk mengembangkan infrastruktur dan lapangan kerja dengan dana
dari IMF dan World Bank. Dan dana ini berlaku tidak hanya untuk negaranegara
G-20, tetapi juga negara-negara yang tidak menjadi anggota.
Gagasan ini terutama
juga dilatarbelakangi komitmen dunia untuk memenuhi Millennium Development Goals (MDGs). Fasilitas ini diusulkan
karena sejak krisis 2008, negara-negara maju sulit untuk mengeluarkan uang
mereka. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang
juga melambat karena tidak ada investasi.
Apabila tidak ada
kemajuan, negara-negara berkembang akan sulit mencapai target MDGs mereka.
Inisiatif seperti ini adalah salah satu upaya yang pernah kita lakukan di
tengah situasi ekonomi dunia yang memojokkan negara-negara berkembang. Posisi
Indonesia saat ini tentunya perlu berangkat juga dari inisiatif tersebut;
kalaupun diubah, perlu diberi alasan mengapa berubah.
Kita perlu mengingat
kembali bahwa G-20 ini adalah sebuah klub yang dibentuk sebagai respons dari
krisis keuangan yang terjadi pada 1999-an. Sebelum G-20 terbentuk, kita
mengenal klub beranggotakan hanya negara-negara maju, yaitu G-7 (Kanada,
Prancis, Jerman, Jepang, AS, Italia, dan Inggris).
Klub ini kemudian
menambah lagi Rusia menjadi G-8 dan kemudian membentuk G-20 yang menambah
anggota dari negara-negara berkembang seperti India, Indonesia dan China.
Landasan filosofi dari G-20 dan mengapa Indonesia diundang untuk masuk adalah
keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tidak dapat berjalan
sendiri-sendiri dan harus melibatkan banyak negara khususnya negara-negara
yang populasinya besar dan ekonominya dinamis.
Walaupun
keanggotaannya bersifat individu, negara-negara yang diundang masuk ke klub
adalah negaranegara yang dianggap akan memiliki dampak kepada negaranegara
lain apabila mereka menikmati keuntungan yang ditawarkan klub ini.
Contoh, Afrika Selatan
yang mewakili negaranegara berkembang Benua Afrika atau Brasil yang mewakili
negara-negara Pegunungan Andes, Indonesia yang mewakili negara-negara ASEAN.
Kepesertaan Indonesia dalam G-20 tidak semata-mata karena kehebatan ekonomi
kita, tetapi juga ada harapan yang dititipkan dunia bahwa Indonesia bisa
mengemban tanggung jawab untuk membantu negaranegara berkembang lain.
Indonesia sebagai
negara yang berhasil keluar dari krisis, negara demokratis dengan mayoritas
penduduk Muslim, dan negara dengan upaya pemberantasan korupsi dilihat
sebagai potensi luar biasa oleh negara lain. Best practice Indonesia
diharapkan menular ke negara-negara terdekat.
Untuk itu, penting
bagi pimpinan Indonesia untuk menyadari apa saja modalitas yang telah
dimiliki dan bisa dikembangkan lebih jauh lagi untuk mendukung kontribusi
Indonesia di G-20 bagi khalayak yang lebih luas. Salah satu modalitas yang
telah dimiliki adalah infrastruktur diplomasi dan politik luar negeri di
Kementerian Luar Negeri.
Informasi seputar
pemetaan kepentingan dan geopolitik telah dibahas berkali-kali di Kementerian
Luar Negeri. Ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk persiapan negosiasi
dengan negara-negara lain. Usul-usul dari Presiden perlu dikemas dengan
elegan oleh mereka yang paham tahapantahapan perjuangan Indonesia di ranah
internasional.
Hal-hal yang strategis
dan mendesaklah yang perlu disampaikan Presiden kepada kepala-kepala negara
lain karena itu menjadi pintu masuk bagi tindak lanjut dari para diplomat.
Tindakan seperti ini akan lebih produktif daripada membiarkan Presiden kita
mengemukakan hal-hal di tataran teknis.
Pengalaman di G-20
menunjukkan bahwa pencapaian halhal strategis bermula dari tatap muka
antarkepala negara dan siaran pers yang persuasif. Pembicaraan seperti ini
tidak bisa digantikan oleh level kementerian atau yang lebih rendah. Harus
kepala negara yang turun tangan.
Sementara merekamereka
yang telah lama terlibat dalam kegiatan diplomasi patut dikerahkan untuk
mendampingi kepala negara termasuk dalam mengendus peluang dan membungkus
pesan dengan lebih persuasif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar