Kamis, 19 November 2015

Membingkis Pesan untuk G-20

Membingkis Pesan untuk G-20

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                KORAN SINDO, 18 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Minggu ini adalah minggu sibuk bagi para kepala negara dunia. Beberapa pertemuan tingkat tinggi seperti G-20 di Turki, APEC di Manila, KTT-ASEAN di Malaysia, dan Konferensi Perubahan Iklim di Prancis telah atau akan berlangsung.

Pertemuan tersebut menjadi semakin penting dan mendapatkan perhatian internasional ketika serangan teroris pecah di Kota Paris. Serangan tersebut membuat konteks pertemuan kepala negara menjadi sangat penting. Tatap muka para kepala negara secara psikologis bisa mengurangi hambatan formalitas birokrasi dan mempererat hubungan pribadi. Efek tatap muka memang sangat berbeda dengan komunikasi melalui telepon atau e-mail.

Para kepala negara secara pribadi dapat menanyakan secara langsung kepada kepala negara lain perihal masalah-masalah yang mengganjal dalam hubungan antarnegara. Kita masih ingat dalam pertemuan G-20 yang lalu di Australia, Perdana Menteri Selandia Baru John Key memilih untuk tidak menutupi kemarahannya kepada Presiden Rusia Vladimir Putin atas insiden di Ukraina.

Situasi itu telah membuat Putin pulang lebih cepat dari jadwal karena suasana yang sudah tidak nyaman lagi untuk dirinya terlibat dalam pertemuan selanjutnya. Serangan teroris terhadap Paris telah membuat pertemuan G-20 kali ini lebih kental dengan pembicaraan mengenai bagaimana menangani masalah terorisme walaupun permasalahan ekonomi tetap menjadi topik yang dibahas dalam pertemuanpertemuan kecil.

Kebetulan para kepala negara yang hadir di G-20 berasal dari negara-negara yang terlibat secara langsung dalam krisis di Timur Tengah khususnya di Suriah seperti Turki, Arab Saudi, Amerika Serikat (AS), Australia, dan Rusia. Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Putin yang biasanya tidak ramah satu sama lain justru mengadakan pertemuan mendadak untuk membahas masalah penyelesaian di Suriah.

Sejauh informasi yang dikeluarkan oleh masingmasing pihak, AS dan Rusia menyepakati jalan tengah untuk mengadakan pemilihan umum (pemilu) di Suriah. Pemilu itu akan melibatkan PBB sebagai fasilitator tanpa membicarakan perbedaan pendapat antarkedua negara ini perihal apakah Presiden Suriah Bashar al- Assad bisa berpartisipasi atau tidak dalam pemilu tersebut. Berita itu sangat baik bagi dunia, tetapi mungkin membuat pesan Indonesia di G-20 agak tenggelam.

Dalam G-20, Indonesia menyampaikan tiga pesan pokok, yaitu perlunya reformasi arsitektur keuangan dunia, pentingnya diversifikasi mata uang internasional, serta perlunya negara-negara maju mempertimbangkan dampak dari kebijakan moneter yang diambilnya terhadap perekonomian negara berkembang. Indonesia merasa bahwa selama ini negara berkembang kerap terkena imbas negatif dari kebijakan moneter negara maju yang tidak menguntungkan.

Selain tiga pesan pokok itu, Indonesia juga menyampaikan seruan untuk menanggulangi terorisme secara bersamasama. Terkait dengan perubahan iklim, Indonesia mendesak agar negara-negara maju memberikan bantuan keuangan yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal bahwa ketiga pesan pokok itu penting untuk Indonesia.

Namun pertanyaannya adalah mengapa hal ini begitu penting hingga harus diungkapkan dengan sama persis seperti beberapa waktu lalu dalam perayaan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Dalam KAA di Bandung, pidato itu memiliki signifikansi karena hampir seluruh peserta adalah negaranegara berkembang yang tengah berjuang mengatasi kemiskinan.

Dalam konteks G-20, audiensnya lebih beragam dan pertanyaannya justru tentang seperti apa bentuk baru arsitektur keuangan dunia yang ingin didorong oleh Indonesia, termasuk, pengaturan tata kelola moneter dunia apa yang ideal menurut Indonesia. Selain itu, kita perlu paham bahwa mereformasi lembaga keuangan internasional warisan Perang Dunia II (IMF dan World Bank) memang sudah menjadi salah satu tujuan utama didirikannya G-20.

Itu sebabnya telah dialokasikan dua kursi suara di IMF kepada India dan China agar suara negaranegara berkembang terwakili di sana. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan bahwa mengulang-ulang ide perlunya reformasi lembaga keuangan internasional tanpa solusi yang jitu tak ubahnya membuang waktu. Sebenarnya selama ini Indonesia melakukan pendekatan yang cukup konstruktif dalam menyokong komitmen G-20.

Indonesia adalah salah satu Negara yang memelopori dibentuknya General Expenditure Support Fund, yaitu sebuah mekanisme pemberian bantuan keuangan untuk negara-negara berkembang untuk mengembangkan infrastruktur dan lapangan kerja dengan dana dari IMF dan World Bank. Dan dana ini berlaku tidak hanya untuk negaranegara G-20, tetapi juga negara-negara yang tidak menjadi anggota.

Gagasan ini terutama juga dilatarbelakangi komitmen dunia untuk memenuhi Millennium Development Goals (MDGs). Fasilitas ini diusulkan karena sejak krisis 2008, negara-negara maju sulit untuk mengeluarkan uang mereka. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang juga melambat karena tidak ada investasi.

Apabila tidak ada kemajuan, negara-negara berkembang akan sulit mencapai target MDGs mereka. Inisiatif seperti ini adalah salah satu upaya yang pernah kita lakukan di tengah situasi ekonomi dunia yang memojokkan negara-negara berkembang. Posisi Indonesia saat ini tentunya perlu berangkat juga dari inisiatif tersebut; kalaupun diubah, perlu diberi alasan mengapa berubah.

Kita perlu mengingat kembali bahwa G-20 ini adalah sebuah klub yang dibentuk sebagai respons dari krisis keuangan yang terjadi pada 1999-an. Sebelum G-20 terbentuk, kita mengenal klub beranggotakan hanya negara-negara maju, yaitu G-7 (Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, AS, Italia, dan Inggris).

Klub ini kemudian menambah lagi Rusia menjadi G-8 dan kemudian membentuk G-20 yang menambah anggota dari negara-negara berkembang seperti India, Indonesia dan China. Landasan filosofi dari G-20 dan mengapa Indonesia diundang untuk masuk adalah keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dan harus melibatkan banyak negara khususnya negara-negara yang populasinya besar dan ekonominya dinamis.

Walaupun keanggotaannya bersifat individu, negara-negara yang diundang masuk ke klub adalah negaranegara yang dianggap akan memiliki dampak kepada negaranegara lain apabila mereka menikmati keuntungan yang ditawarkan klub ini.

Contoh, Afrika Selatan yang mewakili negaranegara berkembang Benua Afrika atau Brasil yang mewakili negara-negara Pegunungan Andes, Indonesia yang mewakili negara-negara ASEAN. Kepesertaan Indonesia dalam G-20 tidak semata-mata karena kehebatan ekonomi kita, tetapi juga ada harapan yang dititipkan dunia bahwa Indonesia bisa mengemban tanggung jawab untuk membantu negaranegara berkembang lain.

Indonesia sebagai negara yang berhasil keluar dari krisis, negara demokratis dengan mayoritas penduduk Muslim, dan negara dengan upaya pemberantasan korupsi dilihat sebagai potensi luar biasa oleh negara lain. Best practice Indonesia diharapkan menular ke negara-negara terdekat.

Untuk itu, penting bagi pimpinan Indonesia untuk menyadari apa saja modalitas yang telah dimiliki dan bisa dikembangkan lebih jauh lagi untuk mendukung kontribusi Indonesia di G-20 bagi khalayak yang lebih luas. Salah satu modalitas yang telah dimiliki adalah infrastruktur diplomasi dan politik luar negeri di Kementerian Luar Negeri.

Informasi seputar pemetaan kepentingan dan geopolitik telah dibahas berkali-kali di Kementerian Luar Negeri. Ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk persiapan negosiasi dengan negara-negara lain. Usul-usul dari Presiden perlu dikemas dengan elegan oleh mereka yang paham tahapantahapan perjuangan Indonesia di ranah internasional.

Hal-hal yang strategis dan mendesaklah yang perlu disampaikan Presiden kepada kepala-kepala negara lain karena itu menjadi pintu masuk bagi tindak lanjut dari para diplomat. Tindakan seperti ini akan lebih produktif daripada membiarkan Presiden kita mengemukakan hal-hal di tataran teknis.

Pengalaman di G-20 menunjukkan bahwa pencapaian halhal strategis bermula dari tatap muka antarkepala negara dan siaran pers yang persuasif. Pembicaraan seperti ini tidak bisa digantikan oleh level kementerian atau yang lebih rendah. Harus kepala negara yang turun tangan.

Sementara merekamereka yang telah lama terlibat dalam kegiatan diplomasi patut dikerahkan untuk mendampingi kepala negara termasuk dalam mengendus peluang dan membungkus pesan dengan lebih persuasif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar