Hukuman
Kebiri, Aspek Moral dan Etika Kedokteran
Daldiyono ; Ketua Komite Etik dan Hukum RS Cipto
Mangunkusumo;
Dosen Etika, Logika, dan Filsafat Kedokteran
Pascasarjana FKUI
|
KOMPAS,
11 November 2015
Saat ini terdapat
wacana yang ramai diulas, yaitu hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual
pada anak. Ada kerancuan terminologi pada Wikipedia, juga Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI): paedofil, pedofil, disamakan dengan pelaku kejahatan
seksual pada anak.
Pedofil berasal dari
bahasa Yunani: paidos, artinya ’anak’ dan phil dari kata philo, artinya
’cinta atau sayang pada anak’ atau ’penyayang anak’. Jadi, sebaiknya kita
menghindari istilah kejahatan seksual pada anak dengan istilah pedofil.
Sebaiknya istilah ini dipakai pada para pengasuh panti asuhan yang merawat
bayi yang baru lahir, termasuk bayi cacat. Para dokter spesialis kesehatan
anak dan para perawat anak-anak di rumah sakit adalah juga pantas menyandang
predikat pedofil. Mereka memiliki naluri dan panggilan untuk menyayangi anak-anak.
Berita terakhir,
Menteri Hukum dan HAM akan membuat peraturan tentang hukuman kebiri bagi
pelaku kejahatan seksual pada anak. Ada baiknya jika masalah ini dikaji
dengan saksama dari berbagai sudut pandang akademik dan aspek ilmu hukum
agama, dari sudut pandang (ilmu) psikologi, dan lain-lain. Dari sudut ilmu
kedokteran, dari sudut pandang medis teknis sudah dibahas, yaitu melalui tiga
cara: pengebirian hormonal, pengebirian saraf, dan pengebirian pengambilan
buah pelir (testis) yang dalam
istilah asing disebut castration.
Pada kesempatan ini
saya bermaksud menyumbang pemikiran membahas hukuman kebiri dari aspek moral
dan etika kedokteran. Moral bermakna suatu nilai yang wajib diikuti agar
suatu perbuatan itu disebut benar. Moralitas lalu dituliskan, yang kalau
sudah disebut sanksinya menjadi hukum dan UU. Adapun etika adalah nilai-nilai
yang perlu dipakai sebagai pedoman agar perbuatan disebut baik. Etika dalam
pelaksanaan menjadi sopan santun, etiket yang jika dituliskan jadi pedoman
perilaku agar tingkah laku dan perbuatan terlihat dan terasa baik, bagi orang
lain.
Moralitas kedokteran
di Indonesia tertumpu pada dua perkara. Pertama, ilmu kedokteran adalah ilmu
dari Allah karena itu pelaksanaan profesi kedokteran merupakan bagian dari
ibadah. Fondasi kedua, dokter menolong dan memberikan yang terbaik, yang
merupakan kewajiban dokter karena mendapat keterampilan pengobatan berasal
dari para pasien yang dari awal dipakai sebagai subyek pembelajaran.
Dalam pelaksanaan
moralitas dikaji menjadi ilmu etika yang dalam etika kedokteran disepakati
ada empat nilai dasar (prima facie)
etika kedokteran: asas manfaat bagi pasien; asas tidak mencederai atau tidak
merugikan; asas hak mengambil keputusan apa yang akan dikerjakan; dan asas
keadilan.
Nilai dasar etika
Etika kedokteran
dirumuskan dalam kode etik kedokteran. Di Indonesia disebut Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki). Tiap perhimpunan dokter di suatu negara punya
kode etik sendiri-sendiri.
Kode etik kedokteran
Amerika berbeda dengan kode etik kedokteran Indonesia, misalnya soal aborsi.
Demikian juga kode etik kedokteran Korea Selatan berbeda dengan kode etik
kedokteran Indonesia, misalnya soal kebiri. Meski berbeda, semuanya bertumpu
pada teori etika yang disepakati, yaitu empat nilai dasar utama di atas.
Asas manfaat, sebagai
pelaksanaan dari ibadah dan menolong memberikan yang terbaik. Dalam kode etik
kedokteran Indonesia dirumuskan dalam dua pasal, yaitu pasal kepentingan
pasien menjadi ukuran utama dan dokter bekerja dengan ukuran yang tertinggi
di samping pada sumpah kedokteran.
Berdasarkan asas
manfaat tersebut, melakukan kebiri tentu tak ada manfaatnya sama sekali.
Dengan demikian, apabila kebiri dilakukan oleh seorang dokter, ia akan
melanggar etik. Dari aspek medis teknis pelaksanaan tidak sederhana: perlu
melibatkan dokter ahli bedah, ahli anestesi, ahli kedokteran jiwa. Bahwa
dalam sejarah sudah ada pengebirian pada manusia, tidak berarti itu benar
jika dilakukan.
Asas jangan mencederai
atau jangan merugikan. Inilah prinsip sebagai penegasan dari asas manfaat.
Asas ini berlaku dari segala aspek kehidupan, jangan mencederai dari segi
spiritual (hak beribadah), jangan mencederai dari aspek psikologis, yaitu
kewajiban menyimpan rahasia kedokteran, aspek finansial jangan sampai pasien
mengeluarkan biaya yang bukan diperlukan.
Berdasarkan asas ini,
kebiri akan mencederai pasien dan sangat merugikan karena kehilangan hak
berketurunan. Perlu dicatat, dalam sejarah terdapat panglima perang orang
kasim yang memberontak pada raja. Jadi orang kasim tetap berpotensi
melaksanakan agresivitasnya.
Asas hak otonomi,
mensyaratkan segala pikiran pertimbangan dan keputusan dokter yang akan
dikerjakan wajib diketahui, disadari, dan disetujui oleh pasien. Bahkan,
untuk tindakan yang berpotensi merusak jaringan, diperlukan surat persetujuan
tertulis. Dengan demikian, terhukum kebiri berhak minta dokter menaati UU
Praktik Kedokteran (2013), jadi ia berhak menolak. Pertanyaannya: apakah
pemerintah dapat memaksa dokter dan perawat melanggar etika dan sekaligus melanggar
UU?
Bagaimana asas
keadilan? Dari berbagai berita di surat kabar dan televisi, diidentifikasi
bahwa pelaku kejahatan seksual pada anak sangat bervariasi: dari remaja,
bahkan anak-anak, sampai kakek-kakek. Selain itu, asas keadilan harus berlaku
bagi mereka yang berkompeten harus melaksanakan tugas. Pertanyaannya, ukuran
apa yang dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu tindakan itu berkeadilan?
Apakah pada penjahat seksual anak, seorang kakek disamakan dengan seorang
remaja?
Berbagai aspek harus
dikaji dengan saksama sebelum kita merumuskan hukuman kebiri bagi penjahat
seksual. Harapan saya sebagai dosen yang sudah sangat tua: jangan sampai ada
dokter dan perawat di Indonesia yang bersedia melakukan kebiri bagi penjahat
seksual pada anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar