Jurnalisme Investigasi, Obat Awet Muda Media Lama
P Hasudungan Sirait ; Anggota
Biro Pendidikan dan Latihan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
|
KOMPAS,
18 November 2015
Sejak kehadiran
internet, arus informasi menderas menembus batas ruang dan waktu. Sumbernya ada
di mana saja, milik lembaga atau individu. Teknologi ini memungkinkan setiap
orang menjadi konsumen sekaligus produsen informasi. Yang berlangsung di
media sosial, selain selfie, orang saling mewartakan kejadian di sekitarnya:
interaktif, tak kenal waktu dan jarak, serta gratis (kecuali di lokasi yang
tidak ber-Wi-Fi). Peranti mengaksesnya cukup telepon genggam pintar
sederhana.
Serba mudah dan murah.
Wajarlah apabila populasi terbesar dunia, yakni kaum muda (terutama generasi
Y dan Z yang sejak lahir akrab dengan gawai), mengandalkan internet sebagai
sumber informasi. Kalangan ini asing dengan media lama yang satu arah dan
tidak multiplatform. Media mereka interaktif serta bermuatan teks, rekaman
suara, foto, video, danilustrasi sekaligus. Sebutannya: media baru.
Perubahan dramatis
pola komunikasi manusia sekarang sebagai imbas dari kehadiran internet dengan
sendirinya berdampak besar terhadap pers. Kalah lentur dan ligat, pers
sebagai sumber informasi publik kian merosot. Jika tetap dengan langgam lama,
media massa sedang menggali kubur sendiri. Koran yang masih mengandalkan
berita langsung, suguhan yang cuma ujaran narasumber, sesungguhnya sudah basi
saat akan dicerna pembaca karena aliran berita di masa sekarang 24 jam dalam
sehari. Karena harus dicetak dan didistribusikan, surat kabar selalu
ketinggalan isu.
Pemainbaru yang serba
lincah dan bisa beroperasi dengan biaya murah pasti akan menggilas media
bergaya lama. Saingan berat media massa bukanlah sesama, melainkan media sosial.
Belakangan, para pegiat media sosial juga semakin menghiraukan jurnalisme
standar, terutama karena persentuhannya dengan jurnalisme warga.
Senja kala media massa
sedang berlangsung. Mereka yang enggan berubah bakal punah laksana dinosaurus
yang gagal mematuhi hukum alam. Agar selamat meniti buih, pilihannya adalah
mengubah pola pikir dan gaya sajian seturut tuntutan zaman.
Sebenarnya masih
banyak jurus jurnalisme klasik yang bisa dimainkan wartawan. Mengupayakan
keeksklusifan, menukik ke ranah kedalaman dan kelengkapan berita dengan
memanfaatkan data, serta mengeksplorasi jurus perkisahan. Jurnalisme
investigasi merupakan senjata ampuh untuk melakukan itu semua. Sebab itu,
wartawan—juga yang di Indonesia—perlu lekas mendalaminya. Jurus pamungkas
kaum jurnalis ini kini canggih betul.
Jurnalisme data
Jurnalisme
investigasi—prinsipnya: follow the
money—berkembang pesat, baik dari segi metodologi maupun teknologi.
Gambaran pencapaiannya tampak jelas di ajang Konferensi Jurnalisme
Investigasi Global ke-9 di Lillehammer, Norwegia, 8-11 Oktober 2015. Melihat
apa yang terpapar di sana, Indonesia tertinggal jauh di bidang yang satu ini.
Konferensi
Lillehammer, yang diikuti 900 wartawan dari 121 negara, merupakan perhelatan
jurnalisme investigasi terakbar sejagat. Tak hanya kemeriahannya yang
istimewa, tetapi juga sajian acara berikut pematerinya. Tak kurang dari 160
mata acara dengan penekanan pada lokakarya. Ada juga festival film
investigasi karya kaum jurnalis untuk menggenapi lokakarya. Di kota kecil tuan
rumah Olimpiade musim dingin 1994 ini, saat suhu 4-6 derajat celsius,
penularan ilmu mutakhir jurnalisme berlangsung liat.
Lokakarya dari pagi
hingga jelang makan malam. Setiap sesi berjalan paralel dengan pilihan 5-11
materi. Peserta tinggal memilih materi yang ia suka; sesuatu yang sulit sebab
semua serba memikat. Yang pasti, di tiap sesi ada materi tentang pelatihan
investigasi, investigasi lintas batas, penanganan data,presentasi data,
keselamatan dan keamanan, jejaring, serta korupsi dan kejahatan terorganisasi.
Jika bukan seri lanjutan, telaahnya baru.
Jurnalisme data
menjadi pokok bahasan khusus di Lillehammer. Penekanannya pada pemanfaatan
teknologi komputer dalam reportase. Investigasi adalah penguakan; urusannya data
tampilan berupa dokumen, rekaman (audio dan audio-visual), foto, citra
satelit, dan lain-lain. Tanpa data sebagai bukti sahih, investigasi tak
bermakna. Hasilnya sangat mungkin dicap sebagai isapan jempol atau fitnah
belaka.
Para jurnalis kawakan
serta ahli program komputer berbagi pengetahuan dan pengalaman soal data.
Cakupannya termasuk bagaimana mencari dan mendapatkan data dengan pelbagai
alat, menyimpannya, membersihkannya, mengolahnya (dengan statistik dasar),
menganalisisnya, serta memvisualkannya dengan menarik. Dengan tips gamblang,
mereka mencelikkan mata para peserta bahwa sumber data terbuka pun—macam
situs lembaga dan pribadi, Google, Wikipedia, Yahoo, surel, blog, Facebook,
atau Twitter—bisa sangat bernilai untuk dimanfaatkan. Apalagi sumber data
tertutup!
Alat pencari data itu
mulai dari yang canggih sampai yang pasaran. Mengombinasikan perkakas,
termasuk program komputer,merupakan sebuah kemungkinan. Para pemateri
mencontohkannya. Lewat film dokumenter, Eliot Higgins, misalnya,
memperlihatkan bagaimana memanfaatkan citra satelit, Facebook, foto,dan video
sekaligus saat mengungkap siapa bertang- gung jawab atas jatuhnya pesawat
Malaysia, MH17. Kreativitas dan ketelitian jurnalis investigasi peraih
penghargaan ini dalam menghimpun dan menelisik informasi amat mengagumkan.
Bagaimana membangun
dan melindungi pangkalan datapribadi juga menjadi pokok bahasan. Pun kiat
berjejaring lintas negara dan strategi menghimpun dana untuk proyek
investigasi.
Tiap sesi menarik
karena pemateri membahas proyek yang dikerjakannya dan memvisualkannya.
Alhasil peserta bisa mengikuti pengungkapan jaringan terorisme, mafia dan
kartel narkoba, pembalakan, penjarahan kekayaan laut negara miskin Afrika,
korupsi anggaran, pencucian uang dengan memanfaatkan pengelakan pajak oleh
perusahaan multinasional, atau HCBCcabang Swissberbisnis dengan para
pengemplang pajak dan kaum kriminal kelas dunia.
Konferensi Lillehammer
bernas dan menginspirasi. Ajang ini menggarisbawahi bahwa jurnalisme
investigasi merupakan senjata ampuh media massa menghadapi senja kala
dirinya. Ini pula resepnya agar awet muda. Di tengah banjir bandang informasi
pun pers tak akan hanyut dan mengambang asal awaknya sudi bekerja keras,
bersinergi menghasilkan karya pengungkapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar