Menuju Ekonomi Beras yang Lebih Beradab
Bustanul Arifin ;
Guru Besar Universitas Lampung;
Ekonom Senior Indef Professorial
fellow di Inter-CADE dan MB-IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 16 November 2015
EKONOMI beras hampir selalu mendapat perhatian
memadai dan memancing de bat publik. Kadang berlangsung dengan sehat, tapi
lebih sering berlangsung agak emosional. Sejak awal November, sekian macam
kejadian yang berhubungan dengan ekonomi beras seakan datang bertubi-tubi,
seakan tanpa respons kebijakan atau solusi penanggulangan yang berarti.
Reaksi dari petani, konsumen, pedagang dan para analis tentu beragam,
tergantung pada tingkat pemahaman dan kepedulian, serta dampak langsung dan
tidak langsung yang dirasakannya.
Beberapa kejadian berikut akan dianalisis
secara mendalam untuk dicarikan jalan keluarnya menuju ekonomi beras yang
lebih beradab.Pertama, berita gembira estimasi Badan Pusat Statistik (BPS)
tentang kenaikan produksi beras sampai 74,99 juta ton gabah kering giling
(GKG) atau naik 5,85% yang disambut masyarakat secara dingin. Masyarakat
telah cukup cerdas bahwa estimasi produksi terkesan agak jauh dari kenyataan
karena secara implisit menandakan surplus beras yang sangat tinggi, sampai 12
juta ton sepanjang 2015 ini.
Perhitungan itu menggunakan basis angkat
konsumsi 114,12 kilogram (kg) per kapita, sebagaimana hasil estimasi BPS
sendiri dan Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, karena fakta
konsumsi beras semakin lama semakin menurun, seiring dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat, walau dengan laju yang melambat.
Kedua, fenomena surplus beras itu agak
bertolak belakang dengan kenaikan harga eceran beras sampai-sampai Rp10.500
per kg pada Jumat (13/11). Para ekonom pertanian telah cukup lama menengarai
terdapat persoalan metodologi dalam estimasi produksi beras di Indonesia,
terutama estimasi luas panen yang dilakukan Dinas Pertanian Tanaman Pangan,
dan estimasi produktivitas padi yang dilakukan BPS bekerja sama dengan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan di segenap daerah di Indonesia. BPS terpaksa harus
menerima tanggung jawab sepenuhnya karena estimasi produksi padi tersebut
dipublikasikan BPS walaupun sumber datanya tidak sepenuhnya berasal dari
jajaran BPS di daerah. Agak sulit bagi BPS untuk melemparkan tanggung jawab
akurasi estimasi produksi ini kepada jajaran Dinas Pertanian Tanaman Pagan di
daerah karena otoritas data tertinggi di negeri ini ialah BPS.
Ketiga, harga eceran beras rata-rata di dalam
negeri itu hampir dua kali lipat dari harga eceran beras internasional untuk
kualitas sejenis (Thailand 25% broken) yang mendekati US$390/ton atau sekitar
Rp5.304 per kg, atau bahkan kualitas lebih baik (Vietnam 5% broken) sekitar
US$380 atau sekitar Rp5.168 per kg. Harga jual gabah petani masih `murah'
sekitar Rp4.100 per kg, walau lebih mahal jika dibandingkan dengan harga
referensi pembelian pemerintah (HPP) Rp3.700 per kg gabah kering panen (GKP)
dengan kadar air 25% dan kadar hampa/kotoran 25% maksimum. Perbedaan harga
beras pada pasar domestik dan pasar internasional yang begitu besar ialah
salah satu gambaran struktur pasar beras dan ekonomi beras secara umum di
dalam negeri tidak efisien, atau yang jauh dari prinsip-prinsip persaingan
usaha yang sehat. Sistem produksi beras, sejak di hulu usaha tani,
pengumpulan gabah, dan penggilingan padi, memang tidak efisien sehingga harus
beroperasi dengan ekonomi biaya tinggi. Demikian pula, sistem rantai nilai
ekonomi beras, terutama yang melibatkan perdagangan besar dan perdagangan
eceran, termasuk beras asal impor, juga tidak efisien, karena sistem
informasi dan pembentukan harga sangat mungkin menderita asimetri.
Ada penyusutan
Keempat, cadangan pangan di Bulog dikabarkan
menyusut karena Bulog harus melaksanakan penyaluran beras untuk keluarga
prasejahtera (rastra atau yang dahulu dikenal dengan raskin) bulan ke-13,
sebagaimana dicanangkan dalam Paket Kebijakan Ekonomi yang diumumkan
September lalu. Pada Oktober, cadangan beras di Bulog dilaporkan hanya 1,8
juta ton, terdiri dari 1,1 juta ton beras berasal dari skema penugasan
pemerintah (PSO/public service
obligation) dan 700 ribu ton beras yang diperoleh dari skema komersial.
Maksudnya, kekhawatiran terjadinya krisis cadangan beras tersebut semakin
terlihat setelah Bulog semakin sulit mendapatkan gabah dan beras dari dalam
negeri, apalagi jika harus menggunakan referensi harga pembelian pemerintah
(HPP) sesuai dengan Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras
dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Cadangan beras di Bulog menyusut karena
keharusan untuk menyalurkan rastra 460 ribu ton atau dua kali lipat dari
biasanya 230 ribu, ditambah dengan penyaluran rutin dan operasi pasar.
Apabila stok beras Bulog pada November ini terkuras habis sampai di bawah 700
ribu ton, tentu ekonomi beras di dalam negeri akan semakin kritis.
Kelima, impor beras akhirnya benar-benar
terjadi walaupun harus menjadi pukulan telak bagi pemerintah yang belum
langsung berhasil dalam upaya peningkatan produksinya. Pada November ini
ratusan ribu ton beras dari Vietnam telah masuk ke Indonesia secara bertahap,
dari rencana 1,5 juta yang direncanakan pemerintah untuk 2015. Hukum ekonomi
yang paling dasar mengatakan bahwa komoditas akan bergerak dari daerah atau
negara yang memiliki keunggulan komparatif tinggi ke daerah atau negara yang
memiliki keunggulan komparatif rendah. Kecuali terdapat hambatan perdagangan
yang sangat ketat, perbedaan keunggulan komparatif yang amat mencolok
tersebut akan menjadi insentif positif terjadinya impor beras masuk ke
Indonesia, bagaimanapun caranya. Ternyata, impor beras kali ini cukup mulus
masuk ke Indonesia karena kekhawatiran lonjakan harga yang lebih liar pada
musim paceklik Desember dan Januari, bahkan sampai Februari 2016.
Perburuan rente
Jika determinan yang melatarbelakangi lima
kejadian atau fenomena tersebut merupakan proses ekonomi biasa, tentu solusi
kebijakan yang diambil relatif lebih mudah. Akan tetapi, jika determinan
kejadian tersebut merupakan tingkah laku persaingan usaha yang tidak sehat,
solusi yang harus diambil perlu lebih komprehensif dan memerlukan kehadiran
negara yang lebih integral. Determinan kenaikan harga beras, disparitas harga
domestik dan harga internasional dan ketidaberadaban ekonomi beras secara
umum tidak hanya ditentukan keseimbangan pasokan dan permintaan (supply and demand), tapi juga oleh struktur
pasar, tingkah laku pasar, dan praktik persaingan usaha sepanjang rantai
nilai beras. Kualitas sistem logistik, mulai saranaprasarana, infrastruktur,
transportasi, pangkalan, pelabuhan, pergudangan, sistem informasi, dan
lain-lain juga ikut menentukan kualitas persaingan usaha.
Indikasi yang disampaikan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) menarik untuk dijadikan basis penataan ekonomi beras
ke depan. Saat ini terdapat kecenderungan pelaku usaha beras skala besar yang
telah mulai masuk ke industri beras, bahkan dengan menguasai pembelian dari
petani, mengolahnya dan mendistribusikan ke konsumen dengan brand tertentu sehingga mengarah
kepada struktur pasar yang oligopoli alias kartel pangan (Media Indonesia,
13/11). Karakter perburuan rente dari para pelaku karena peluang ke sana
memang terbuka lebar karena ketidaksempurnaan informasi yang ada di pasar,
mulai sistem informasi harga, produk, teknologi, akses pembiayaan, hingga
pelayanan.
Di dalam istilah ekonomi, kartel pangan
biasanya memiliki dua struktur ekstrem, yaitu struktur pasar yang
monopsoni/oligopsoni dan struktur monopoli/oligopoli. Struktur monopsoni
adalah apabila pembeli komoditas pangan itu hanya satu, atau beberapa pembeli
(oligopsoni) bersekongkol mengatur harga beli komoditas pangan. Struktur
monopoli adalah apabila penjual komoditas pangan itu hanya satu, atau
beberapa penjual (oligopoli) bersekongkol mengatur harga jual komoditas
pangan. Hasil investigasi KPPU (2015) sebenarnya cukup konsisten dengan
literatur ekonomi pangan, bahwa ekonomi beras di Indonesia memiliki struktur
pasar sebagai berikut; secara umum, struktur industri beras relatif
kompetitif, bahwa interaksi para pelaku di dalam pasar cukup dinamis.
Kekosongan pasokan beras pada wilayah tertentu, terutama yang mengalami defisit
beras akan segera diisi beras dari wilayah lain. Hambatan logistik berupa
biaya transportasi yang mahal umumnya terefleksi dari pembentukan harga yang
lebih tinggi.
Akan tetapi, tingkah laku pasar sepanjang
rantai nilai beras cukup bervariasi dan mengarah pada persaingan usaha yang
tidak sehat. Di tingkat petani padi, tingkat laku pasar cukup kompetitif,
para petani relatif memperoleh informasi harga dan informasi teknologi yang
relatif sama. Di tingkat pedagang pengumpul, drama persaingan sehat itu mulai
terjadi. Petani nyaris tidak memiliki pilihan pemasaran yang terbuka karena
para pedagang pengumpul dan tengkulak lebih aktif masuk jauh ke pelosok
pedesaan, bahkan secara door-to-door.
Sebagian pedagang pengumpul bahkan sampai menunggui atau menongkrongi petani
di sawahnya, bahkan lengkap dengan truk atau sarana transportasi lainnya.
Persaingan tidak sempurna juga terjadi pada mata rantai penggilingan padi dan
pedagang kecamatan dan kabupaten karena para pelaku ini biasanya masih
merupakan kepanjangan tangan dari pedagang besar. Hal yang menarik ialah
bahwa tingkah laku pedagang pengecer beras cenderung ke arah persaingan
monopolistik walaupun terdapat upaya khusus, misalnya dengan promosi merek
dan brand tertentu.
Penegakan hukum
Pembahasan dan analisis yang lebih mendalam
tentu amat diperlukan, terutama karena karakter atau kekhasan dae rah sentra
produksi padi (surplus beras) berbeda dengan karakter daerah sentra konsumsi
beras (defisit beras). Hal yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa solusi
atau pendekatan legal formal yang ditempuh KPPU dan pengadilan niaga di
Indonesia tentu tidak akan cukup untuk menanggulangi persoalan struktural dan
menggurita pada kartel pangan, khususnya beras. Penanggulangannya perlu
memadukan atau mengombinasikan solusi legal dan solusi kebijakan atau
governansi ekonomi.
Kinilah saat yang tepat bagi pemerintah dan
KPPU untuk menyelesaikan persoalan kartel dan ketidakberadaban ekonomi beras
di Tanah Air. Pemerintah senantiasa perlu memberikan dukungan moral dan governansi
kebijakan ekonomi yang lebih baik. Penegakan hukum tentu amat diperlukan,
termasuk penyertaan bukti-bukti tidak langsung (indirect evidence) yang mengarah pada persaingan usaha tidak
sehat. Pemerintah perlu mendukung upaya KPPU dalam merevisi UU No 5/1999
tentang Larang an Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Sehat karena
tantangan persaingan usaha sekarang tentu berbeda dengan periode awal
Reformasi Ekonomi pada akhir 1990-an. Ekonomi beras akan lebih beradab di
masa mendatang apabila landasan hukum mampu lebih mengikat, dan wibawa
kebijakan lebih adil dan kredibel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar