Rabu, 18 November 2015

Menuju Ekonomi Beras yang Lebih Beradab

Menuju Ekonomi Beras yang Lebih Beradab

Bustanul Arifin ;  Guru Besar Universitas Lampung;
Ekonom Senior Indef Professorial fellow di Inter-CADE dan MB-IPB
                                           MEDIA INDONESIA, 16 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

EKONOMI beras hampir selalu mendapat perhatian memadai dan memancing de bat publik. Kadang berlangsung dengan sehat, tapi lebih sering berlangsung agak emosional. Sejak awal November, sekian macam kejadian yang berhubungan dengan ekonomi beras seakan datang bertubi-tubi, seakan tanpa respons kebijakan atau solusi penanggulangan yang berarti. Reaksi dari petani, konsumen, pedagang dan para analis tentu beragam, tergantung pada tingkat pemahaman dan kepedulian, serta dampak langsung dan tidak langsung yang dirasakannya.

Beberapa kejadian berikut akan dianalisis secara mendalam untuk dicarikan jalan keluarnya menuju ekonomi beras yang lebih beradab.Pertama, berita gembira estimasi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang kenaikan produksi beras sampai 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 5,85% yang disambut masyarakat secara dingin. Masyarakat telah cukup cerdas bahwa estimasi produksi terkesan agak jauh dari kenyataan karena secara implisit menandakan surplus beras yang sangat tinggi, sampai 12 juta ton sepanjang 2015 ini. 

Perhitungan itu menggunakan basis angkat konsumsi 114,12 kilogram (kg) per kapita, sebagaimana hasil estimasi BPS sendiri dan Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, karena fakta konsumsi beras semakin lama semakin menurun, seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, walau dengan laju yang melambat.

Kedua, fenomena surplus beras itu agak bertolak belakang dengan kenaikan harga eceran beras sampai-sampai Rp10.500 per kg pada Jumat (13/11). Para ekonom pertanian telah cukup lama menengarai terdapat persoalan metodologi dalam estimasi produksi beras di Indonesia, terutama estimasi luas panen yang dilakukan Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan estimasi produktivitas padi yang dilakukan BPS bekerja sama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan di segenap daerah di Indonesia. BPS terpaksa harus menerima tanggung jawab sepenuhnya karena estimasi produksi padi tersebut dipublikasikan BPS walaupun sumber datanya tidak sepenuhnya berasal dari jajaran BPS di daerah. Agak sulit bagi BPS untuk melemparkan tanggung jawab akurasi estimasi produksi ini kepada jajaran Dinas Pertanian Tanaman Pagan di daerah karena otoritas data tertinggi di negeri ini ialah BPS.

Ketiga, harga eceran beras rata-rata di dalam negeri itu hampir dua kali lipat dari harga eceran beras internasional untuk kualitas sejenis (Thailand 25% broken) yang mendekati US$390/ton atau sekitar Rp5.304 per kg, atau bahkan kualitas lebih baik (Vietnam 5% broken) sekitar US$380 atau sekitar Rp5.168 per kg. Harga jual gabah petani masih `murah' sekitar Rp4.100 per kg, walau lebih mahal jika dibandingkan dengan harga referensi pembelian pemerintah (HPP) Rp3.700 per kg gabah kering panen (GKP) dengan kadar air 25% dan kadar hampa/kotoran 25% maksimum. Perbedaan harga beras pada pasar domestik dan pasar internasional yang begitu besar ialah salah satu gambaran struktur pasar beras dan ekonomi beras secara umum di dalam negeri tidak efisien, atau yang jauh dari prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Sistem produksi beras, sejak di hulu usaha tani, pengumpulan gabah, dan penggilingan padi, memang tidak efisien sehingga harus beroperasi dengan ekonomi biaya tinggi. Demikian pula, sistem rantai nilai ekonomi beras, terutama yang melibatkan perdagangan besar dan perdagangan eceran, termasuk beras asal impor, juga tidak efisien, karena sistem informasi dan pembentukan harga sangat mungkin menderita asimetri.

Ada penyusutan

Keempat, cadangan pangan di Bulog dikabarkan menyusut karena Bulog harus melaksanakan penyaluran beras untuk keluarga prasejahtera (rastra atau yang dahulu dikenal dengan raskin) bulan ke-13, sebagaimana dicanangkan dalam Paket Kebijakan Ekonomi yang diumumkan September lalu. Pada Oktober, cadangan beras di Bulog dilaporkan hanya 1,8 juta ton, terdiri dari 1,1 juta ton beras berasal dari skema penugasan pemerintah (PSO/public service obligation) dan 700 ribu ton beras yang diperoleh dari skema komersial. Maksudnya, kekhawatiran terjadinya krisis cadangan beras tersebut semakin terlihat setelah Bulog semakin sulit mendapatkan gabah dan beras dari dalam negeri, apalagi jika harus menggunakan referensi harga pembelian pemerintah (HPP) sesuai dengan Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.

Cadangan beras di Bulog menyusut karena keharusan untuk menyalurkan rastra 460 ribu ton atau dua kali lipat dari biasanya 230 ribu, ditambah dengan penyaluran rutin dan operasi pasar. Apabila stok beras Bulog pada November ini terkuras habis sampai di bawah 700 ribu ton, tentu ekonomi beras di dalam negeri akan semakin kritis.

Kelima, impor beras akhirnya benar-benar terjadi walaupun harus menjadi pukulan telak bagi pemerintah yang belum langsung berhasil dalam upaya peningkatan produksinya. Pada November ini ratusan ribu ton beras dari Vietnam telah masuk ke Indonesia secara bertahap, dari rencana 1,5 juta yang direncanakan pemerintah untuk 2015. Hukum ekonomi yang paling dasar mengatakan bahwa komoditas akan bergerak dari daerah atau negara yang memiliki keunggulan komparatif tinggi ke daerah atau negara yang memiliki keunggulan komparatif rendah. Kecuali terdapat hambatan perdagangan yang sangat ketat, perbedaan keunggulan komparatif yang amat mencolok tersebut akan menjadi insentif positif terjadinya impor beras masuk ke Indonesia, bagaimanapun caranya. Ternyata, impor beras kali ini cukup mulus masuk ke Indonesia karena kekhawatiran lonjakan harga yang lebih liar pada musim paceklik Desember dan Januari, bahkan sampai Februari 2016.

Perburuan rente

Jika determinan yang melatarbelakangi lima kejadian atau fenomena tersebut merupakan proses ekonomi biasa, tentu solusi kebijakan yang diambil relatif lebih mudah. Akan tetapi, jika determinan kejadian tersebut merupakan tingkah laku persaingan usaha yang tidak sehat, solusi yang harus diambil perlu lebih komprehensif dan memerlukan kehadiran negara yang lebih integral. Determinan kenaikan harga beras, disparitas harga domestik dan harga internasional dan ketidaberadaban ekonomi beras secara umum tidak hanya ditentukan keseimbangan pasokan dan permintaan (supply and demand), tapi juga oleh struktur pasar, tingkah laku pasar, dan praktik persaingan usaha sepanjang rantai nilai beras. Kualitas sistem logistik, mulai saranaprasarana, infrastruktur, transportasi, pangkalan, pelabuhan, pergudangan, sistem informasi, dan lain-lain juga ikut menentukan kualitas persaingan usaha.

Indikasi yang disampaikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menarik untuk dijadikan basis penataan ekonomi beras ke depan. Saat ini terdapat kecenderungan pelaku usaha beras skala besar yang telah mulai masuk ke industri beras, bahkan dengan menguasai pembelian dari petani, mengolahnya dan mendistribusikan ke konsumen dengan brand tertentu sehingga mengarah kepada struktur pasar yang oligopoli alias kartel pangan (Media Indonesia, 13/11). Karakter perburuan rente dari para pelaku karena peluang ke sana memang terbuka lebar karena ketidaksempurnaan informasi yang ada di pasar, mulai sistem informasi harga, produk, teknologi, akses pembiayaan, hingga pelayanan.

Di dalam istilah ekonomi, kartel pangan biasanya memiliki dua struktur ekstrem, yaitu struktur pasar yang monopsoni/oligopsoni dan struktur monopoli/oligopoli. Struktur monopsoni adalah apabila pembeli komoditas pangan itu hanya satu, atau beberapa pembeli (oligopsoni) bersekongkol mengatur harga beli komoditas pangan. Struktur monopoli adalah apabila penjual komoditas pangan itu hanya satu, atau beberapa penjual (oligopoli) bersekongkol mengatur harga jual komoditas pangan. Hasil investigasi KPPU (2015) sebenarnya cukup konsisten dengan literatur ekonomi pangan, bahwa ekonomi beras di Indonesia memiliki struktur pasar sebagai berikut; secara umum, struktur industri beras relatif kompetitif, bahwa interaksi para pelaku di dalam pasar cukup dinamis. 

Kekosongan pasokan beras pada wilayah tertentu, terutama yang mengalami defisit beras akan segera diisi beras dari wilayah lain. Hambatan logistik berupa biaya transportasi yang mahal umumnya terefleksi dari pembentukan harga yang lebih tinggi.

Akan tetapi, tingkah laku pasar sepanjang rantai nilai beras cukup bervariasi dan mengarah pada persaingan usaha yang tidak sehat. Di tingkat petani padi, tingkat laku pasar cukup kompetitif, para petani relatif memperoleh informasi harga dan informasi teknologi yang relatif sama. Di tingkat pedagang pengumpul, drama persaingan sehat itu mulai terjadi. Petani nyaris tidak memiliki pilihan pemasaran yang terbuka karena para pedagang pengumpul dan tengkulak lebih aktif masuk jauh ke pelosok pedesaan, bahkan secara door-to-door. Sebagian pedagang pengumpul bahkan sampai menunggui atau menongkrongi petani di sawahnya, bahkan lengkap dengan truk atau sarana transportasi lainnya. 

Persaingan tidak sempurna juga terjadi pada mata rantai penggilingan padi dan pedagang kecamatan dan kabupaten karena para pelaku ini biasanya masih merupakan kepanjangan tangan dari pedagang besar. Hal yang menarik ialah bahwa tingkah laku pedagang pengecer beras cenderung ke arah persaingan monopolistik walaupun terdapat upaya khusus, misalnya dengan promosi merek dan brand tertentu.

Penegakan hukum

Pembahasan dan analisis yang lebih mendalam tentu amat diperlukan, terutama karena karakter atau kekhasan dae rah sentra produksi padi (surplus beras) berbeda dengan karakter daerah sentra konsumsi beras (defisit beras). Hal yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa solusi atau pendekatan legal formal yang ditempuh KPPU dan pengadilan niaga di Indonesia tentu tidak akan cukup untuk menanggulangi persoalan struktural dan menggurita pada kartel pangan, khususnya beras. Penanggulangannya perlu memadukan atau mengombinasikan solusi legal dan solusi kebijakan atau governansi ekonomi.

Kinilah saat yang tepat bagi pemerintah dan KPPU untuk menyelesaikan persoalan kartel dan ketidakberadaban ekonomi beras di Tanah Air. Pemerintah senantiasa perlu memberikan dukungan moral dan governansi kebijakan ekonomi yang lebih baik. Penegakan hukum tentu amat diperlukan, termasuk penyertaan bukti-bukti tidak langsung (indirect evidence) yang mengarah pada persaingan usaha tidak sehat. Pemerintah perlu mendukung upaya KPPU dalam merevisi UU No 5/1999 tentang Larang an Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Sehat karena tantangan persaingan usaha sekarang tentu berbeda dengan periode awal Reformasi Ekonomi pada akhir 1990-an. Ekonomi beras akan lebih beradab di masa mendatang apabila landasan hukum mampu lebih mengikat, dan wibawa kebijakan lebih adil dan kredibel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar