Rabu, 18 November 2015

Cegah Proletarisasi Dokter Umum BPJS

Cegah Proletarisasi Dokter Umum BPJS

Djoko Santoso ;  Guru Besar FK-RSU dr Soetomo;
Wakil Rektor I Universitas Airlangga, Surabaya
                                                    JAWA POS, 16 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DUNIA kedokteran terguncang. Dua dokter muda usia gugur ketika menjalankan tugas di pedalaman. Dokter Dionisius Giri Samudra alias Andra, 24, meninggal karena campak di Maluku. Dhanny Elya Tangke, 27, berpulang karena malaria di Pegunungan Bintang, Papua. Jawa Pos juga memberikan perhatian besar atas keprihatinan ini.

Mereka menjalankan tugas demi pemerataan layanan kesehatan yang kini sedang digencarkan. Ketika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan semakin populer, tuntutan masyarakat kian tinggi.

Dan, tuntutan pemerataan berkejaran dengan peningkatan kualitas. UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UUPK) mengamanatkan adanya spesialisasi baru berupa ’’dokter spesialis layanan primer’’ (DLP) di lingkungan medis.

Seperti tersambar, ternyata itu akan diterapkan oleh BPJS Kesehatan. Galaulah kalangan dokter umum BPJS. Mereka melihat ada semacam proletarisasi atau peminggiran dokter umum. Sebab, banyak yang melihat sebenarnya profesi ’’spesialis DLP’’ tidak berbeda jauh dengan kompetensi dokter umum. Banyak fakultas kedokteran (FK) di perguruan tinggi pembina yang kerap mencetak dokter umum dan spesialis/subspesialis masih bersikap menunggu sebelum membuka program pendidikan DLP. Para dokter klinisi juga keberatan. Sebab, layanan primer di sistem BPJS sudah cukup ditangani dokter umum.

Pematangan Dokter Umum

Apa yang diamanatkan dalam UUPK sebenarnya berbeda dari kurikulum pendidikan dokter umum. Para dokter umum, saat coas atau dokter muda, telah menjalani 15 titik putaran pendidikan profesi. Masing-masing 1–3 bulan.
Output kompetensinya tentu saja bersifat umum, taraf dasar. Selanjutnya dimatangkan dalam praktik internship selama setahun di daerah. Cukup? Belum. Perlu pendidikan lanjutan yang bukan spesialis organ. Misalnya, spesialis ginjal. Itu semacam ’’magang’’ lintas disiplin yang komprehensif dengan outcomenya spesifik.

Contohnya, keterampilan prosedur keselamatan jiwa di bidang medik, obstetri, paediatri, bedah, dan trauma. Diperdalam pula penanganan awal terhadap semua gejala penyakit serta penanganan rujuk balik. Pendekatan humanistik juga ditekankan.

Pada sisi lain, disiplin spesialisasi baru untuk para DLP ini sebetulnya sudah lama dikembangkan di Amerika Serikat, Inggris, Nepal, Sri Lanka, dan Thailand. Kompetensinya bisa melintasi sekat spesialisasi demi mempromosikan layanan primer di sistem kesehatan daerah.

Mereka ini dicetak melalui kurikulum tiga tingkat praktik. Yaitu, pendidikan kedokteran dasar, magang spesialisasi pascasarjana tingkat menengah, dan magang tingkat spesialis layanan primer. Waktunya 2–3 tahun, namun pelatihannya fleksibel.

Peserta harus punya gelar kedokteran dasar dan lisensi praktik sebagai dokter. Adapun kurikulumnya mengenai keterampilan komunikasi, ilmu pengetahuan perilaku dan sosial, serta hukum dan etik terkait dengan kedokteran keluarga. Juga program pelatihan dan keterampilan khas ambulatoar (rawat jalan) lengkap dengan metode belajar-mengajar disertai penilaian. Pada akhir pendidikan, diharuskan menyelesaikan penelitian.

Sebenarnya, target pendidikan spesialisasi DLP adalah keterampilan komunikasi, keterampilan klinis kontekstual, keterampilan penanganan prosedur, dan keterampilan manajerial. Dasar itulah yang membuat kelulusannya setara dengan spesialisasi medis yang lain.

Spesialisasi Dokter Keluarga

Untuk merealisasikan amanat UUPK pula, FK pembina harus mendukung penguatan kapasitas tenaga kedokteran keluarga sebagai spesialisasi baru. Yakni, membangun kapasitas pengajarnya dari prodi (program studi); memfasilitasi pengembangan jaringan regional dan akreditasi program pelatihan; serta mendukung penguatan layanan kesehatan BPJS, termasuk layanan kesehatan primer.

Di luar itu, diberi penguatan kemampuan layanan primer untuk personal yang komprehensif dan berkelanjutan meski dengan keterbatasan sumber daya, penguatan dalam hubungan aspek keluarga dan masyarakat; membangun hubungan dokter-pasien yang baik dan penuh empati, yakni berkomunikasi secara efektif, mendidik, menasihati, dan membimbing dengan tepat.

Selain itu, dapat mendiagnosis dan mengelola penyakit umum serta masalah medis, bedah, dan psikososial umum pada pasien dari segala usia. Juga dapat mengusulkan pemeriksaan penunjang yang tepat, memberikan perawatan darurat awal (termasuk langkah pertolongan pertama), resusitasi pernapasan dan jantung (CPR), dan tindakan merujuk sekaligus mengupayakan sarana transportasi yang tepat.

Tidak ketinggalan pula melakukan praktik manajemen hemat biaya dengan resep obat yang rasional. Semacam penasihat medis keluarga pasien. Selain menangani penyakit keluarga, seorang DLP harus menguasai struktur keluarga, fungsi keluarga, siklus hidup keluarga, dan pengaruh keluarga pada penyakit dan penyakit pada keluarga, kemampuan sumber daya keluarga, dan terapi keluarga. Karena kedudukannya bersifat lintas spesialis itu, perlu dirotasi untuk mencapai kompetensi optimal DLP. Di antaranya, rotasi patologi, radiologi, anaesthesiologi, bedah, penyakit dalam, obstetri dan ginekologi, ortopedi, dan THT.

Terlepas pro-kontra, amanah UUPK perlu dilaksanakan. Namun, pemerintah harus arif dalam memperhatikan kesejahteraan para dokter secara proporsional sehingga jangan ada kesan ’’proletarisasi dokter umum’’. Jangan sampai dokter sibuk mengurus pasien hingga ke gunung terpencil, tetapi penghargaan sewajarnya kepada para dokter dilupakan negara. Inilah cara kita mengawal UU Pendidikan Kedokteran melalui kehadiran dokter dalam spesialisasi layanan primer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar