Struktur Otak dan Watak Politik
Boni Hargens ;
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
KOMPAS,
18 November 2015
Di Amerika Serikat dan
Inggris, percobaan sering kali dilakukan untuk membuktikan apakah pandangan
politik seseorang ditentukan oleh struktur otaknya (Karen, 2013; Harkness, 2014).
Para ahli tentu
berbeda pandangan soal ini, tetapi ada kesimpulan, misalnya, bagian otak yang
berhubungan dengan ikatan sosial bekerja secara berbeda pada orang Republik
dan Demokrat. Ikatan sosial orang Demokrat cenderung luas, sedangkan orang
Republik cenderung terbatas pada keluarga dan negara.
Otak koruptor
Meski saya kurang tertarik dengan pandangan deterministik
seperti ini, boleh juga model ini diterapkan di Indonesia. Para koruptor perlu
dijadikan sampel penelitian, apakah
mereka mempunyai struktur otak tertentu yang tidak dimiliki orang kebanyakan
sehingga meskipun hukum makin tegas, keberanian menilap tak kunjung menciut. Para mafia tambang
juga layak dijadikan sampel. Penggalian merkuri di
Maluku sampai saat ini masih berlangsung, padahal pemerintah telah melarang
keras (Kompas, 14/11).
Anggota DPR juga
perlu dijadikan sampel. Kita belum lupa, bagaimana drama masker dimainkan Setya
Novanto dan rekan-rekan di parlemen untuk mengkritisi pemerintah terkait
asap. Mereka (pura-pura) lupa, mafia hutan yang dengan sengaja membakar hutan
banyak dapat perlindungan dari politisi. Kenapa DPR tidak serius mendesak
mafia hutan diproses hukum?
Mental banal seperti
ini sudah menjadi watak politik kita. Kalau saja benar bahwa letak masalahnya
pada struktur otak, kerja KPK, kepolisian, dan kejaksaan akan lebih ringan.
Karena yang kita butuhkan hanyalah mesin pencuci otak. Namun, faktanya, korupsi
dan jejaring mafia adalah kotak pandora yang bahkan lebih rumit dari kerja
otak manusia.
Demokrasi modern
menekankan pentingnya transparansi, partisipasi rakyat, dan deliberasi publik
untuk menjamin politik yang demokratis. Politisi kita sangat mahir dalam
tema-tema seperti ini. Akan tetapi, kenapa korupsi masih merajalela? Kenapa
mafia tambang berani membangkang terhadap otoritas negara? Kenapa oposisi
politik selalu dipahami sebagai gerakan ”mempermalukan pemerintah”?
Ada beberapa hambatan
kondisional yang penting kita diskusikan. Pertama, institusi politik kita
belum sepenuhnya bersih dari warisan Orde Baru. Suap dan sogok masih mungkin
terjadi di dalam birokrasi. Terobosan revolusi mental Joko Widodo masih
terbatas pada tataran atas, presiden, dan lingkarannya. Pada teras birokrasi,
terobosan ini belum membumi. Tentu karena pemerintahan baru berjalan setahun.
Namun, inilah salah satu akar iblisnya, the
root of evils.
Kedua, lemahnya
politik nilai. Uang masih menjadi determinan utama dalam proses politik. Kita
belum terbiasa dengan persaingan nilai dan gagasan. Alhasil, para politisi
pun sibuk memperkaya diri sebagai antisipasi untuk perjuangan politik di masa
depan. Nuansa ini sangat kental dalam persiapan pilkada 9 Desember 2015,
setidaknya berdasarkan hasil pantauan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) di
beberapa daerah pilkada.
Orang kuat di belakang mafia
Ketiga, kultur
”kekeluargaan” melemahkan kewibawaan hukum dan kekuasaan koersif negara.
Kalau anak pejabat menabrak orang di jalan, hukumannya akan lebih ringan
daripada orang biasa dalam kasus yang sama. Bukan karena institusi hukum
lemah terhadap si pejabat, tetapi karena ada komunikasi ”kekeluargaan” yang
bisa dibangun antara pejabat dan penegak hukum dalam situasi seperti
ini—apalagi kalau ikatan keluarga ada di dalamnya!
Hal ini juga berlaku
dalam banyak konteks. Misalnya, mafia tambang merasa ”kuat” karena dekat
dengan si A atau si B yang notabene orang kuat di negeri ini. Bisa juga,
mafia tambang tidak gentar dengan pemerintah karena merasa mampu membayar
siapa saja yang mengganggu kepentingannya. Praktik seperti inilah yang
mengekalkan kesemrawutan. Kita bangga KPK dan kepolisian makin aktif membantu
pemerintah dalam penegakan hukum. Namun, hambatan keempat, patronase politik,
adalah beban yang tidak mudah.
Sesungguhnya, selalu
ada segelintir ”orang kuat” dalam politik yang disebut ”para bos” dalam
istilah Sidel (1999). Mereka ini bekerja menembus batas. Mereka bisa
mengendalikan pranata hukum dan politik secara bersamaan. Orang-orang kuat
inilah yang menjamin para mafia dalam kerjanya. Kalau penegakan hukum bisa
menyentuh para bos ini, niscaya demokrasi akan makin sehat. Nawacita Jokowi
akan berjalan mulus. Revolusi mental akan benar-benar terealisasi di segala
lini. Karena kelambanan ini
bukan karena rakyat anti perubahan. Rakyat kita sangat antusias dan terbuka
terhadap perubahan. Masalahnya, saluran perubahan disumbat oleh kepentingan
orang-orang kuat tadi.
Kita masih ingat, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti ditawari Rp 5 triliun untuk melepaskan jabatannya. Orang-orang
kuat bekerja keras menggusur mereka yang melawan kepentingannya. Memahami orang-orang
kuat ini tidak cukup dengan memahami kerja struktur otaknya, tetapi dengan
memahami apa kepentingannya dan bagaimana mereka bekerja. Ini pekerjaan rumah
yang amat berat bagi penegak hukum. Budi
Waseso sebetulnya sudah
memulai terobosan besar terkait Pelindo
II sebelum ia
dipindahkan ke Badan Narkotika Nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar