Rabu, 18 November 2015

Struktur Otak dan Watak Politik

Struktur Otak dan Watak Politik

Boni Hargens ;  Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
                                                     KOMPAS, 18 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di Amerika Serikat dan Inggris, percobaan sering kali dilakukan untuk membuktikan apakah pandangan politik seseorang ditentukan oleh struktur otaknya (Karen, 2013; Harkness, 2014).

Para ahli tentu berbeda pandangan soal ini, tetapi ada kesimpulan, misalnya, bagian otak yang berhubungan dengan ikatan sosial bekerja secara berbeda pada orang Republik dan Demokrat. Ikatan sosial orang Demokrat cenderung luas, sedangkan orang Republik cenderung terbatas pada keluarga dan negara.

Otak koruptor

Meski saya kurang tertarik dengan pandangan deterministik seperti ini, boleh juga model ini diterapkan di Indonesia. Para koruptor perlu dijadikan sampel penelitian, apakah mereka mempunyai struktur otak tertentu yang tidak dimiliki orang kebanyakan sehingga meskipun hukum makin tegas, keberanian menilap tak kunjung menciut. Para mafia tambang juga layak dijadikan sampel. Penggalian merkuri di Maluku sampai saat ini masih berlangsung, padahal pemerintah telah melarang keras (Kompas, 14/11).

Anggota DPR juga perlu dijadikan sampel. Kita belum lupa, bagaimana drama masker dimainkan Setya Novanto dan rekan-rekan di parlemen untuk mengkritisi pemerintah terkait asap. Mereka (pura-pura) lupa, mafia hutan yang dengan sengaja membakar hutan banyak dapat perlindungan dari politisi. Kenapa DPR tidak serius mendesak mafia hutan diproses hukum?

Mental banal seperti ini sudah menjadi watak politik kita. Kalau saja benar bahwa letak masalahnya pada struktur otak, kerja KPK, kepolisian, dan kejaksaan akan lebih ringan. Karena yang kita butuhkan hanyalah mesin pencuci otak. Namun, faktanya, korupsi dan jejaring mafia adalah kotak pandora yang bahkan lebih rumit dari kerja otak manusia.

Demokrasi modern menekankan pentingnya transparansi, partisipasi rakyat, dan deliberasi publik untuk menjamin politik yang demokratis. Politisi kita sangat mahir dalam tema-tema seperti ini. Akan tetapi, kenapa korupsi masih merajalela? Kenapa mafia tambang berani membangkang terhadap otoritas negara? Kenapa oposisi politik selalu dipahami sebagai gerakan ”mempermalukan pemerintah”?

Ada beberapa hambatan kondisional yang penting kita diskusikan. Pertama, institusi politik kita belum sepenuhnya bersih dari warisan Orde Baru. Suap dan sogok masih mungkin terjadi di dalam birokrasi. Terobosan revolusi mental Joko Widodo masih terbatas pada tataran atas, presiden, dan lingkarannya. Pada teras birokrasi, terobosan ini belum membumi. Tentu karena pemerintahan baru berjalan setahun. Namun, inilah salah satu akar iblisnya, the root of evils.

Kedua, lemahnya politik nilai. Uang masih menjadi determinan utama dalam proses politik. Kita belum terbiasa dengan persaingan nilai dan gagasan. Alhasil, para politisi pun sibuk memperkaya diri sebagai antisipasi untuk perjuangan politik di masa depan. Nuansa ini sangat kental dalam persiapan pilkada 9 Desember 2015, setidaknya berdasarkan hasil pantauan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) di beberapa daerah pilkada.

Orang kuat di belakang mafia

Ketiga, kultur ”kekeluargaan” melemahkan kewibawaan hukum dan kekuasaan koersif negara. Kalau anak pejabat menabrak orang di jalan, hukumannya akan lebih ringan daripada orang biasa dalam kasus yang sama. Bukan karena institusi hukum lemah terhadap si pejabat, tetapi karena ada komunikasi ”kekeluargaan” yang bisa dibangun antara pejabat dan penegak hukum dalam situasi seperti ini—apalagi kalau ikatan keluarga ada di dalamnya!

Hal ini juga berlaku dalam banyak konteks. Misalnya, mafia tambang merasa ”kuat” karena dekat dengan si A atau si B yang notabene orang kuat di negeri ini. Bisa juga, mafia tambang tidak gentar dengan pemerintah karena merasa mampu membayar siapa saja yang mengganggu kepentingannya. Praktik seperti inilah yang mengekalkan kesemrawutan. Kita bangga KPK dan kepolisian makin aktif membantu pemerintah dalam penegakan hukum. Namun, hambatan keempat, patronase politik, adalah beban yang tidak mudah.

Sesungguhnya, selalu ada segelintir ”orang kuat” dalam politik yang disebut ”para bos” dalam istilah Sidel (1999). Mereka ini bekerja menembus batas. Mereka bisa mengendalikan pranata hukum dan politik secara bersamaan. Orang-orang kuat inilah yang menjamin para mafia dalam kerjanya. Kalau penegakan hukum bisa menyentuh para bos ini, niscaya demokrasi akan makin sehat. Nawacita Jokowi akan berjalan mulus. Revolusi mental akan benar-benar terealisasi di segala lini. Karena kelambanan ini bukan karena rakyat anti perubahan. Rakyat kita sangat antusias dan terbuka terhadap perubahan. Masalahnya, saluran perubahan disumbat oleh kepentingan orang-orang kuat tadi.

Kita masih ingat, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ditawari Rp 5 triliun untuk melepaskan jabatannya. Orang-orang kuat bekerja keras menggusur mereka yang melawan kepentingannya. Memahami orang-orang kuat ini tidak cukup dengan memahami kerja struktur otaknya, tetapi dengan memahami apa kepentingannya dan bagaimana mereka bekerja. Ini pekerjaan rumah yang amat berat bagi penegak hukum. Budi Waseso sebetulnya sudah memulai terobosan besar terkait Pelindo II sebelum ia dipindahkan ke Badan Narkotika Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar