Tuhan, Rakyat, dan Neolib,
Jurus Ampuh untuk Tarik Simpati
Rhenald Kasali ;
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KOMPAS.COM,
16 November 2015
Dua orang teman
ditunjuk menjadi menteri. Begitu dilantik, teman saya yang pertama segera
memanggil teman-temannya yang biasa mengutak-atik sosial media dan
wartawan-wartawan muda.
Yang kedua memilih
untuk bekerja, dan memanggil teman-temannya, para profesional untuk bekerja.
Saya tak usah menyebut
nama-nama mereka. Sebut saja si A dan
si B. Saya kira Anda pun bisa menebaknya.
Yang jelas saya sedang
pusing. Maklum dua-duanya sahabat. Tetapi kini keduanya berseteru dan menjadi
bulan-bulanan media massa dan aktor-aktor sosial media.
Susah bagi saya
meyakinkan Anda bahwa si B bekerja lebih baik dari si A. Ini karena si A
lebih pandai berselancar di sosial media, aktingnya keren, cara mengolah
beritanya dengan memanfaatkan peradapan kamera, luar biasa.
Bahkan teman-teman dan
senior-senior saya kini berpihak pada si A yang dari muda memang jagoan
retorika.
Sementara itu si B
dilabel mereka sebagai neolib, walaupun saya lihat dia benar-benar bekerja
untuk rakyat.
Tetapi, baiklah kita
ambil pelajarannya untuk kita renungkan. Lalu kita kembalikan pada diri
masing-masing.
Sekali lagi keduanya
sama-sama teman baik saya. Dan ini membuat saya pusing untuk mendamaikannya.
Tapi apakah negeri ini mau terus dipermainkan oleh pemain-pemain sandiwara?
Menjual “Rakyat”
Si A mendapat nasihat
dari rekan-rekannya agar selalu mengangkat tema rakyat. Kata rakyat harus
selalu disebut. “Rakyat dirugikan”, “Rakyat sudah lama kesulitan”, “Rakyat
menagih”, atau "bukan itu yang dibutuhkan rakyat," demikian
seterusnya, harus selalu ia dengungkan.
“Jangan takut
bertengkar dengan teman sendiri, asal gunakan kata rakyat,” ujar teman-teman
A.
Si B lain lagi.
“Bekerjalah untuk rakyat”, “Rakyat tidak buta, mereka tahu siapa yang bekerja
dan siapa yang beretorika”, ujar sahabat-sahabat si B.
Maka, B yang dari dulu
tak pernah dekat dengan media pun langsung bekerja. Ia tidak jagoan
beretorika, apalagi menari di sosial media. Dan maaf, memilih teman saja amat
selektif.
Si A temannya banyak.
Semua orang yang mengadu, ia dengarkan. Maka berkumpullah para
"alumnus" pejabat, teman kuliah dan orang-orang yang sebagian sudah
dicopot kepada si A.
Kata mereka,
"kami rakyat yang teraniaya". Informasi-informasi yang masuk ia
olah. Ia jadikan naskah pidato. Bahkan, ia siap menyerang siapapun yang diadukan
telah mengganggu sahabat-sahabatnya itu.
Kata-kata dan
gesturnya amat menjual dan menjadi media darling.
Si B sebaliknya,
teman-teman sesama menteri yang membawa orang untuk dijadikan sesuatu, tidak
selalu dituruti. Padahal ia punya kuasa besar dan bisa memaksakan timnya
untuk memasukkan orang atau memberi proyek.
Tetapi sebagai
profesional, dia selalu menampik. Dia adalah seorang achiever, yang
mengutamakan prestasi, hasil kerja nyata. Karena itu, si B menjadi kurang
populer. Kalau pidato ia kalah menarik, kurang memprovokasi.
Anda tahu siapa yang
kini dipuja dan dianggap bekerja? Anda tentu juga tahu siapa yang tidak
dianggap bekerja, bukan?
Seorang konsultan
media mendatangi saya untuk menawarkan paket evaluasi kerja dengan
menganalisis kata-kata kunci di media massa dan media sosial. "Dengan
begitu kita akan tahu siapa yang menurut publik bekerja atau disukai."
Kabarnya paket ini
menjadi perhatian para tokoh penting. Entahlah kalau mereka juga membeli dan
mempercayai hasilnya untuk mengevaluasi kinerja. Kalau iya, tentu akan sangat
mengganggu masa depan kita.
Sambil terkekeh-kekeh,
teman-teman si A mengontak saya dan mengatakan, "Itulah smart work. Kata
orang, hard work kalah dengan smart work. Jangan-jangan gara-gara hard work,
si B malah bakal di reshuffle, sedangkan si A justru menjadi pahlawan."
Sementara itu teman
saya yang lain bilang begini, “Jangan lupa, masyarakat kita ini dari dulu
senang dihibur dengan kebohongan. Lihat saja saat kampanye. Bukankah mereka
semua tahu massa yang mereka kumpulkan itu datang karena duit."
Kendati mereka tahu
masa yang datang itu masa KW, bayaran, mereka tetap pidato berapi-api. Sudah
begitu, kecupan mesra datang dari anak dan istri yang senang melihat pujian
dan riuhnya tepuk tangan yang datang dari massa yang dibayar tadi. Padahal
itu semua semu, palsu.
Di surat kabar, saya
lihat si A menjadi media darling dengan tema kerakyatannya. Nasihat
teman-temannya ampuh. Dia kelihatannya bakal aman dari isu reshuffle kabinet.
Di kampus,
mahasiswa-mahasiswa saya yang akan meniti karier sebagai politisi berujar,
”Kalau mau berhasil, jangan lupa eksploitasi kata rakyat!”
Saya tertegun. Di
Gunung Botak, Pulau Buru, sudah lama saya meneriakkan agar penambangan emas
liar dihentikan. Tetapi di daerah pengabdian kami ini (Rumah Perubahan
membangun integrated farming di sana), masyarakat lebih suka masuk ke dalam
lubang-lubang tambang ketimbang menyuling minyak kayu putih dan beternak.
Sewaktu saya ceritakan
tentang kerusakan alam yang diakibatkan dan munculnya penyakit-penyakit
sosial, banyak pejabat yang enggan turun tangan. “Biarkan saja, itu kan
tambang rakyat”, ujar mereka.
Lagi-lagi kata
"rakyat" seperti menghentikan langkah mereka. Yang mereka tidak
paham, rakyat-rakyat itu tidak bergerak sendirian.
Di balik pertambangan
rakyat itu ada tauke-tauke besar yang memodali para penambang yang datang
dari berbagai daerah untuk memasuki lubang-lubang tambang dan menyebar
bubuk-bubuk kimia berbahaya ke aliran sungai yang mengairi sawah-sawah
penduduk.
Jangankan di Pulau
Buru, di daerah permukiman di Jakarta saja, orang-orang berduit bisa
menggerakkan tetangga-tetangga untuk menutup jalan dengan menggunakan kata
“warga”.
Apalagi kalau di
embel-embeli kata peduli, penjaga, pelindung, dan seterusnya. Mereka bisa menutup
akses jalan ke kampung, memasang puluhan undakan (polisi tidur), portal dan
seterusnya.
Mengatas namakan warga
mereka bisa memprovokasi tindakan dan menakut-nakuti walikota.
Menjual “Tuhan”
Anda yang pernah
nonton film satir “PK” yang dikemas secara jenaka mungkin masih ingat ucapan
Amir Khan, “Ada dua Tuhan, bukan satu. Pertama adalah Tuhan yang menciptakan
manusia. Dan kedua, Tuhan yang diciptakan manusia”.
Dan melalui film
jenaka itu kita bisa lihat bahwcselain kata rakyat atau warga, kini kata
"Tuhan" pun marak dipakai untuk berdagang.
Kali ini bukan si A
atau si B yang menjadi menteri, melainkan si C yang jadi gubernur dan si D
yang memimpin organisasi preman.
Dua-duanya juga
sahabat saya dan sama-sama beriman. Tetapi si D mengaku sudah lama bertobat
dan kini memimpin organisasi keagamaan.
Dua-duanya punya
banyak pengikut tetapi keduanya kerap bertengkar karena si D merasa daerah
operasi usahanya diganggu si C.
Waktu saya tanya, si C
bilang bahwa si D ternyata mengumpulkan uang setoran dari berbagai daerah
maksiat.
Terus terang saya
menjadi bingung karena semakin hari semakin banyak orang yang saya lihat
diterima luas karena "berjualan Tuhan”.
Mereka bukan
berpakaian sederhana seperti yang dicontohkan pemimpin-pemimpin besar, atau
tokoh-tokoh suci yang namanya kita kenal dalam sejarah.
Sebaliknya, mereka
mempertontonkan kemewahan. Rumah mewah, private jet, mobil keren, moge, istri
banyak, atau sebaliknya, massa yang ganas, pemerasan, ancaman, amarah dan
seterusnya.
Saya tak bisa meneruskan
bagian ini, biarlah Anda sendiri yang bercerita melanjutkannya.
Akhirnya : Neolib
Ini adalah kata yang
dianggap momok karena sering ditudingkan oleh mereka yang gemar memakai
jargon kata "rakyat" untuk menuding lawan-lawannya.
Sebenarnya, artinya
biasa saja. Tapi lama-lama berkonotasi amat buruk. Seakan-akan dia penindas
rakyat, penghisap darah dan menjadikan rakyat sebagai objek.
Jangankan kata neolib,
kata liberal saja sudah amat mengganggu telinga kita.
Kata-kata ini
lama-lama sudah menjadi biasa. Dan sering digunakan mereka yang--kata
anak-anak muda--pura-pura pro rakyat”.
Loh kok pura-pura?
“Ya pak, lihat saja
rumah-rumah mereka. Sudah tinggalnya di perumahan elit, hobinya belanja
barang mewah, sering naik jet pribadi, rekan-rekannya berebutan proyek, tas
bininya tak ada yang buatan lokal," kata seorang anak muda kepada saya.
Yang lainnya bilang,
"Lihat saja kebijakan yang dia ambil cuma berkelahi dan tak ada
ujungnya. Lawan-lawannya dikatai mengambil kebijakan yang neolib.”
Anak-anak muda itu
kemudian memberi tahu saya. “Kami tak peduli dengan jargon-jargon itu, yang
penting mereka bisa menghasilkan apa. Percuma juga menuding orang lain neolib
kalau kelakuannya neolib. Kami hidup dalam era borderless, butuh ruang yang
besar untuk berkreasi, bertarung melawan bangsa-bangsa lain yang secara fisik
tidak tampak, karena kita sudah tinggal di cyber place. Daya saing itu
perlu”, ujar mereka.
Mereka juga bingung
begitu melihat pejabat yang langsung loyo saat dituding neolib.
Memperkuat bangsa itu
penting, mengerem agar si kaya tidak membayar fasilitas publik dengan harga
murah itu juga penting.
Kalau semua dibuat
murah, rakyat kecil malah tidak kebagian. Ini karena si kaya menikmati
subsidi yang menjadi hak orang miskin. Tapi kalau subsidi dicabut, mereka
bilang itu kebijakan neolib.
Memang yang terakhir
ini menjadi amat dilematis terutama saat pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati
penduduk secara merata. Yang kaya dan miskin sama-sama berhak memakai
fasilitas publik, tetapi pada harga berapa?
Bagi orang bisnis
solusinya sederhana saja: Ciptakan produk berdasarkan segmen. Lalu cari uang
dari orang yang sudah kaya dan bagi-bagi keuntungannya untuk kepentingan
publik yang lebih luas.
Tetapi apakah logika
ini bisa kita terima kalau BUMN yang melakukannya? Sementara pemerintah punya
semua elemennya yang tinggal disinergikan.
Dan yang pasti akan
menguntungkan kalau orang kaya dijadikan pasar dan tidak dibiarkan menjadi
konsumen di negri asing.
Teman saya yang lain
tak mau pusing membaca penjelasannya. Mereka hanya ingin cepat-cepat jadi
pejabat tinggi. “Cukup, kita labelkan saja mereka neolib agar kita bisa duduk
gantian,” ujarnya.
Sesederhana itulah
provokasi dan perebutan kursi di Indonesia. Ini artinya, menjalankan
perubahan di negeri ini masih belum mudah.
Yang benar bisa
dikalahkan oleh mereka yang pandai beretorika dan mengambil hati kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar