Minggu, 01 November 2015

Mencegah Korupsi di Parlemen

Mencegah Korupsi di Parlemen

Emerson Yuntho  ;  Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
                                                      JAWA POS, 26 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BARU setahun bekerja, citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014–2019 sudah buruk di mata publik. Salah satu penyebabnya adalah penetapan tiga anggota DPR sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Adriansyah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Patrice Rio Capella dari Partai Nasional Demokrat, dan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura.

Ironisnya, penetapan Patrice Rio Capella dan Dewi Yasin Limpo sebagai tersangka korupsi terjadi tidak lama setelah Wakil Ketua DPR Fadli Zon terpilih sebagai presiden Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) dalam konferensi GOPAC VI di Jogjakarta pada 6–8 Oktober 2015 lalu.

GOPAC merupakan organisasi internasional parlemen melawan korupsi yang beranggota sejumlah parlemen dari perwakilan Benua Afrika, Arab, Amerika Latin, Asia Selatan dan Kepulauan Karibia, serta Amerika Utara. Meski banyak dipertanyakan, banyak pihak termasuk KPK memberikan apresiasi atas terpilihnya Fadli Zon sebagai presiden GOPAC.

Sekitar setahun lalu atau tepatnya Agustus 2014, Pramono Anung selaku ketua GOPAC Indonesia bahkan menegaskan akan membangun gerakan tidak ada korupsi (zero corruption) di parlemen. Gerakan ini ditujukan untuk membersihkan perilaku korupsi di tubuh parlemen oleh setiap anggota dewan yang menjalankan aktivitasnya.

Namun, mewujudkan zero corruption di parlemen bukanlah suatu yang mudah. Wajah parlemen Indonesia sudah melekat dengan fenomena korupsi. Praktik korupsi yang melibatkan anggota parlemen di Indonesia masih saja muncul, tidak hanya di tingkat nasional, tapi sudah menjalar secara merata hingga parlemen daerah.

Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, ada 82 politikus dari berbagai partai politik yang dijerat KPK. Data Kementerian Dalam Negeri pada 2014 menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD se-Indonesia yang tersangkut perkara korupsi selama kurun waktu 2004–2014.

Dalam pantauan ICW, mayoritas anggota dewan tersangkut dalam perkara korupsi dengan modus suap-menyuap, namun tidak sedikit yang dijerat dengan penyalahgunaan wewenang. Fenomena korupsi yang melibatkan anggota parlemen di tingkat nasional umumnya muncul saat pembahasan rancangan undang-undang, penanganan kasus, pemekaran wilayah, dan kunjungan kerja ke suatu tempat atau daerah.

Praktik suap-menyuap kerap terjadi dalam sejumlah pembahasan anggaran, pengambilan suatu kebijakan oleh DPR, studi banding ke luar negeri, rapat kerja dengan BUMN, atau proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pejabat publik.

Pada 2013, KPK juga pernah melakukan kajian tentang korupsi di parlemen. Komisi antikorupsi menelusuri titik rawan korupsi dalam pelaksanaan tiga fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam fungsi legislasi, banyak ditemukan celah transaksional saat pembahasan rancangan undang- undang (RUU). Dalam fungsi anggaran DPR, kerawanan muncul saat penyusunan alokasi dana dan proses anggaran di DPR yang terlalu detail. 

Sementara itu, dalam fungsi pengawasan DPR, potensi korupsi muncul karena ketidakjelasan kriteria yang spesifik dalam menentukan objek pengawasan.
Penangkapan tiga anggota DPR dan terpilihnya Fadli Zon sebagai presiden GOPAC harusnya menjadi momentum bagi parlemen untuk mencegah korupsi yang dilakukan anggotanya kembali terjadi. Jika sulit terwujud, gerakan zero corruption di parlemen perlu diubah menjadi gerakan mengurangi atau mencegah korupsi di parlemen.

Mengurangi korupsi di parlemen setidaknya dapat dilakukan dengan menindaklanjuti rekomendasi kajian yang dibuat KPK pada 2013 lalu. Rekomendasi KPK tidak saja berupaya mencegah terjadinya praktik korupsi, namun juga mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan fungsi DPT pada masa mendatang.

Fokus pencegahan korupsi harus dilakukan di setiap fungsi DPR. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, perlu dibuka ruang akses informasi publik terkait dengan draf RUU dan proses pembahasannya, dan penyederhanaan prosedur dalam pembahasan RUU.

Dalam fungsi anggaran, perlu ada peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam menetapkan mekanisme, kriteria, peruntukan, dan pembiayaan dana. Sementara itu, dalam fungsi pengawasan, perlu disusun kriteria dalam pemilihan objek pengawasan yang harus ditetapkan secara jelas sehingga kriterianya menjadi lebih jelas dan tidak dapat disalahgunakan.

Keberadaan fungsi pengawasan majelis kehormatan dewan di parlemen perlu juga dimaksimalkan. Untuk mendukung berkurangnya korupsi di parlemen, pimpinan DPR juga tidak perlu malu untuk melibatkan pihak eksternal dalam melakukan pengawasan. Semua kerja DPR pada fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan harus dilakukan secara transparan sehingga bisa diakses dan dikritisi publik.

Keberadaan KPK penting dipertahankan dan dilibatkan dalam menindak anggota parlemen yang terbukti korupsi dan sekaligus mencegah munculnya terulangnya korupsi yang memalukan parlemen Indonesia.

Parlemen Indonesia harus menjadi contoh baik bagi para anggota GOPAC dalam memerangi korupsi. Bukan justru sebaliknya, menjadi contoh buruk dengan maraknya korupsi yang melibatkan anggota parlemen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar