Involusi Pertanian dan Punahnya Petani
Khudori ;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
12 November 2015
Hasil pembangunan
ekonomi dapat diibaratkan sebuah kue. Jumlah total kue 100 persen dengan
jumlah nilai nominal bisa berubah dari waktu ke waktu. Kue itu dikerjakan 100
persen tenaga kerja yang jumlah nominalnya juga berubah dari waktu ke waktu.
Secara makro, kue
terdiri atas dua lapis: lapis pertama adalah pertanian, dan lapis kedua
adalah industri. Lapis kue pertanian hasil kerja para petani, dan lapis kue
industri adalah hasil kerja sektor industri.
Perubahan proporsi
kue, yaitu proporsi lapis pertanian yang mengecil di satu pihak dan lapis
industri yang membesar di pihak lain, yang jumlahnya 100 persen, dalam ilmu
ekonomi dinamai perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural.
Sesuai perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur
ketenagakerjaan: transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian
relatif atas pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri.
Apakah di Indonesia
terjadi tranformasi struktural ekonomi? Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013)
menunjukkan, jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) 26,14 juta, turun lima juta
(1,75 persen) dari ST2003. Petani berkurang 500 ribu per tahun. Penurunan RTP
terbanyak di Jawa Tengah (1,5 juta), Jawa Timur (1,3 juta), dan Jawa Barat
(1,3 juta).
Petani di Jawa banyak
berkurang karena jumlah petani bejibun di pulau ini. Jika penurunan RTP diikuti
kenaikan pangsa PDB dan pangsa tenaga kerja sektor industri dan jasa berarti
transformasi terjadi. Itu berarti ada pembangunan, dan arahnya benar. Jika
sebaliknya, itu pertanda terjadi involusi.
Selama satu dekade
pangsa PDB pertanian hanya turun kecil: dari 15,19 persen pada 2003 menjadi
14,43 persen pada 2013. Penyerapan tenaga kerja pertanian turun dari 43,33
persen (2003) menjadi 34,78 persen (2013). Pada periode yang sama, PDB
industri dan jasa berubah dari 28,25 persen dan 9,87 persen menjadi 23,70
persen dan 11,02 persen.
Sedangkan, penyerapan
tenaga kerja industri dan jasa berubah dari 11,2 persen dan 11,05 persen
menjadi 13,26 persen dan 16,36 persen. Data-data ini menunjukkan,
transformasi struktural ekonomi belum sepenuhnya terjadi. Industri dan jasa
yang diharapkan bisa menjadi gantungan hidup warga, terutama tenaga kerja
yang keluar dari sektor pertanian, jauh panggang dari api. Ironisnya, pangsa
PDB industri bahkan menurun.
Selama satu dekade,
tren penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian amat lambat. Kalkulasi
Pakpahan (2004) menunjukkan hal serupa: pada periode 1960-2000-an setiap
penurunan satu persen PDB pertanian dalam PDB nasional hanya diikuti
penurunan pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5 persen. Bandingkan
dengan proses yang terjadi di Korea Selatan: tiap penurunan pangsa PDB
pertanian satu persen di dalam PDB nasional pangsa tenaga kerja pertanian
yang berkurang hampir mencapai dua kali. Hal serupa juga dicapai Malaysia dan
Thailand. Idealnya, jika pangsa PDB pertanian 14,43 persen, serapan tenaga
kerja tak lebih 20 persen.
Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa industrialisasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan
pemiskinan sektor pertanian. Industrialisasi di Indonesia adalah
industrialisasi yang memeras petani. Industrialisasi semacam ini adalah
industrialisasi yang bebannya ditaruh di pundak petani. Mereka harus memikul
beban industrialisasi.
Kondisi itu terjadi
bila yang berlangsung adalah industrialisasi semu atau industrialisasi
prematur. Industrialisasi semacam ini dicirikan oleh, antara lain, penurunan
pangsa nilai PDB pertanian tidak diikuti penurunan pangsa tenaga kerja yang
bekerja di bidang pertanian secara proporsional.
Ketika kue ekonomi
(PDB) yang semakin kecil jadi rebutan banyak orang, logis bila kemiskinan
menumpuk di sektor pertanian. Per Maret 2014, sebanyak 17,77 juta dari 28,28
juta warga miskin atau 62,84 persen berada di perdesaan. Sebagian besar
mereka bergantung pada sektor pertanian.
Celakanya, sektor ini
tidak bisa menjadi gantungan hidup agar keluar jauh dari garis kemiskinan.
Menurut Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian tahun 2013 (SPP 2013)
BPS, rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian
hanya Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan, jauh dari upah layak
buruh pabrik.
Pendapatan ini hanya
mampu menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar
pertanian, seperti ngojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Fakta ini
menunjukkan tak ada lagi "masyarakat petani", yakni mereka yang
bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi
dari kegiatan itu.
Karena tak menjanjikan
kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik.
Menurut ST2013, sepertiga pekerja sektor pertanian berusia lebih 54 tahun.
Pertanian terancam gerontrokrasi.
Kondisi involutif ini
tentu membahayakan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan
memperlemah kapasitas pertanian. Ini ditandai oleh kian meningkatnya jumlah
petani gurem dan rusaknya sumber daya pertanian, baik lahan, DAS, maupun
hutan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tak diimbangi
kemampuan sektor ini memberikan penghidupan layak bagi petani dan tenaga
kerja tidak hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta
meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga bisa
melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan.
Kondisi ini
mempengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan
(food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), dan bahan bakar (fuel) secara
berkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) warga
dan generasi mendatang.
Perlu langkah radikal
agar Indonesia tidak terjebak dalam ketidakdaulatan pangan. Dari sisi petani,
agar bisa keluar dari kemiskinan, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi,
serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Pertanian harus dijadikan agenda
pembangunan bangsa. Agar terjadi transformasi struktural ekonomi, harus ada
kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor nontradable (sektor keuangan, jasa, realestate, transportasi dan
komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal,
teknologi, dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan
manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Prioritas pembangunan
ekonomi harus ditumpukan pada proses industrialisasi yang mampu mengubah pola
transformasi ekonomi ke arah perubahan struktural yang memperkuat ekonomi
Indonesia pada masa datang. Industrialisasi tanpa transformasi struktural tak
hanya memiskinkan petani, tapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar