Industri Perberasan di Era MEA
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA
INDONESIA, 12 November 2015
BEBERAPA hari lagi, persisnya 1 Januari 2016,
masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) berlaku. Saat itu ter jadi, semua negara ASEAN
harus meliberalisasi perdagangan, salah satunya barang, seperti disepakati
dalam perjanjian ASEAN Trade in Goods
Agreement. Salah satu yang diliberalisasi ialah beras.
Liberalisasi beras
agak lambat karena selama ini masuk kelompok barang highly sensitive list. Dengan kategori itu, Indonesia dapat
memproteksi beras dengan hambatan perdagangan, seperti tarif dan nontarif.
Lalu bagaimana industri perberasan Indonesia saat era MEA diberlakukan?
Dari sisi ekonomi, usaha tani padi masih
menjanjikan. Secara finansial, keuntungan usaha tani padi Rp18,16
juta/ha/tahun dengan rasio R/C (revenue/cost)
sebesar 2,43, dan secara ekonomi keuntungannya Rp 6,01 juta/ha/tahun dengan
rasio R/C 1,45. Secara nasional, usaha tani padi berdaya saing kuat yang
ditunjukkan oleh nilai koefisien domestic
resource cost ratio (keunggulan kom paratif) dan private cost ratio (ke unggulan kompetitif), yaitu 0,65 dan 0,38.
Jadi usaha tani padi cukup efisien menggunakan sumber daya ekonomi domestik
dan amat layak untuk diusahakan (Agustian, 2014).
Masalah ada setelah padi atau gabah berubah
menjadi beras. Pada 2008-2012, nilai Indeks Spesialisasi Pemasaran (ISP)
beras terus menurun. Itu menunjukkan daya saing beras Indonesia menurun dari
tahun ke tahun. Nilai ISP beras, baik segar maupun olahan, berkisar -1,0
hingga -0,71. Nilai revealed symmetric
comparative advantage (RSCA) beras negatif -0,96 sampai -0,99. Itu
menandakan beras Indonesia tidak punya daya saing di pasar dunia (Azahari dan Hadiutomo, 2013). Mengapa
itu terjadi?
Jawabannya sederhana, selama berpuluh-puluh
tahun pemerintah lebih fokus pada swasembada gabah, tapi melupakan beras.
Berbagai kebijakan on farm (subsidi
pupuk, benih, bantuan traktor, irigasi, dan lain-lain) dibuat untuk mengejar
swasembada gabah, termasuk surplus 10 juta ton beras 2017 oleh Kabinet Kerja.
Industri padi/gabah dan industri beras saling terkait dan saling memperkuat.
Jika salah satu di antaranya melemah, kurang atau tidak diurus, keduanya akan
melemah atau tidak terurus.
Harga beras, kualitas beras, dan pro
duktivitas beras tidak hanya di tentukan tingkat produktivitas (gabah kering
giling/ha) dan efisiensi pada tingkat usaha tani, tetapi juga ditentukan oleh
efisiensi pada tahap proses pengeringan gabah dan penggilingan padi. Dua
tahapan pas capanen itu sangat menentukan kualitas dan produktivitas beras,
serta efisiensi yang dicerminkan pada harga beras. Dua tahapan pas capanen
itu terkait erat dengan kinerja dan kondisi industri penggilingan padi.
Sialnya, di dua hal itu kita lemah.
Selama bertahun-tahun, negeri ini didominasi
oleh penggilingan padi kecil dan sederhana. Sensus penggilingan padi BPS pada
2012 menunjukkan 169.044 (92,8%) dari 182.000 unit merupakan penggilingan
kecil dengan pangsa kapasitas 80%. Sementara itu, jumlah penggilingan besar
hanya 2.075 buah (1,1%) dengan kapasitas 8%. Penggilingan padi kecil tidak
mampu menghasilkan beras kualitas baik dengan biaya rendah, kehilangan hasil
tinggi, banyak butir patah, rendemen endah, dan tidak mam pu menghasilkan
beras dengan higienitas tinggi (Sawit, 2014, Patiwiri, 2006). Bahkan, di
sentra-sentra produksi padi, penggilingan keliling--yang kualitasnya lebih buruk--berkembang
tanpa kendali.
Dominasi penggilingan padi kecil dan
penggilingan keliling menghambat upaya menekan kehilangan hasil pada tahap
pengeringan/penggilingan, rendemen giling rendah, dan mempersulit peningkatan
kualitas beras. Akibatnya, biaya produksi membengkak dan harga beras mahal. By product (sekam, katul, dan menir)
juga kurang bermutu. Itu mem buat industri hilir perberasan, seperti rice bran oil, semen, dan kertas tidak
berkembang seperti di negara-negara lain anggota ASEAN. Betapa tidak efisiennya
pascapanen padi di Indonesia tampak dari kehilangan saat panen dan pascapanen
sebesar 10,82%. Rendemen giling hanya 62,74%, lebih rendah daripada Thailand
(69,1%), dan Vietnam (66,6%).
Mengapa penggilingan padi kecil dan
penggilingan keliling dominan di negeri ini? Salah satunya karena selama 46
tahun negeri ini mempertahankan pengadaan beras oleh Bulog standar kualitas
medium: kadar air maksimum 14%, derajat sosoh minimum 95%, butir patah dan
butir menir maksimal 20% dan 2%. Itu beras kualitas rendah. Padahal, pengadaan
beras oleh Bulog terus di perbesar: dari rerata 6%-7% jadi 8%-10%. Untuk
memenuhi itu, tiap tahun Bulog bekerja sama dengan sekitar 5.000 penggilingan
padi kecil, bukan penggilingan penghasil beras premium dan super.
Kian besar pengadaan Bulog dari penggilingan
kecil kian tinggi permintaan terhadap beras medium, dan kian rendah insentif
penggilingan memperbaiki kualitas beras di luar kualitas medium.
Keberadaan beras satu kualitas tidak memiliki
alas pijak yang kukuh. Di lapangan ada lebih daripada satu kualitas beras. Di
Pasar Beras Induk Ci pinang, Jakarta, ada sekitar 17 jenis beras, di toko
kelontong ada 3-5 jenis beras.
Kebijakan harga tunggal mengingkari pergerakan
harga gabah/beras sesuai musim, adanya beras di luar kualitas medium, dan
segmentasi pasar sesuai preferensi konsumen: segmen menengah-atas yang
mengonsumsi beras premium, dan segmen bawah yang mengonsumsi beras medium.
Kebijakan harga tunggal juga menyulitkan pemerintah dalam intervensi harga
lewat operasi pasar. Dengan satu jenis beras (kualitas medium), apalagi stok
lama, mustahil operasi pasar bisa meredam gejolak harga semua jenis beras di
pasar. Operasi pasar menjadi tidak efektif.
Di masa depan, pemerintah perlu mengoreksi
harga kualitas tunggal jadi multikualitas. Penerapan harga sebaiknya mengacu
pada harga dunia agar ada benchmark.
Dalam jangka pendek, harga multikualitas yang bisa diterapkan: perbedaan butir
patah 5% dan 25%, kualitas medium (musim hujan) dan premium (kemarau), serta
varietas unggul dan romatik/lokal. Pengadaan beras Bulog mengikuti pengadaan
beras multikualitas. Beras kualitas medium tetap dipertahankan untuk memenuhi
pagu raskin, tapi volumenya dikurangi seiring berkurangnya penyaluran untuk
publik. Jumlah beras kualitas premium atau super ditingkatkan guna mengisi
cadangan beras pemerintah. Itu akan memberi insentif penggilingan untuk
memproduksi beras berkualitas dengan mengganti mesin.
Di era MEA, Indonesia masih bisa menerapkan
tarif maksimum 25%, lebih tinggi daripada applied
tariff sekarang (10%). Indonesia juga masih bisa menerapkan non tariff barrier, seperti pembatasan
impor. Namun, apa pun proteksinya, industri padi dan beras Indonesia tidak
mampu bersaing dengan negara-negara eksportir utama beras di ASEAN, terutama
Thailand dan Vietnam. Harga gabah/beras multikualitas, termasuk cadangan
beras pemerintah multikualitas, bukan solusi mujarab untuk menghadapi MEA.
Ini hanya insentif penting agar perilaku penggilingan padi berubah sesuai
yang dikehendaki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar