Penyertaan Modal Negara di RAPBN
Nugroho SBM ; Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Undip Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 02 November 2015
PEMBAHASAN RAPBN 2016,
Jumat (30/10), berlangsung alot. Fraksi Gerindra sempat menolak meski
akhirnya menerima. Sebelumnya, banyak fraksi lain juga menolak. Salah satu
alasan penolakan adalah adanya Penyertaan Modal Negara (PMN) di Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dalam RAPBN 2016 yang besarnya sekitar Rp 39 triliun.
Ada beberapa alasan
penolakan PMN. Pertama, jumlah penyertaan modal itu dinilai terlalu besar,
mengalahkan alokasi dana untuk sektor-sektor penting termasuk dikhawatirkan
mengurangi dana desa.
Kedua, banyak BUMN
penerima PMN berkinerja buruk, sehingga dinilai hanya membuang uang negara.
Ketiga, PMN dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 43 triliun sampai
saat ini belum dipertanggungjawabkan dan belum kelihatan hasilnya.
Keempat, PMN dalam
jumlah besar rawan dikorupsi karena BUMN selama ini banyak yang dijadikan
‘’sapi perah’’ oleh partai politik dan pejabat negara. Sebenarnya, PMN secara
hukum legal atau diperbolehkan.
Dasar hukum PMN adalah
UU Nomor 17/2013 tentang Keuangan Negara. Dalam UU itu disebutkan, surplus
penerimaan negara atau daerah dapat digunakan untuk anggaran tahun berikutnya,
membentuk dana cadangan, atau untuk penyertaan modal BUMN/BUMD.
Kedua, Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Pasal 1 ayat (4)
menyatakan bahwa penyertaan modal negara diperbolehkan. Definisi dari
penyertaan modal negara adalah bentuk investasi pemerintah di Badan Usaha
dengan mendapat hak kepemilikan termasuk pendirian dan atau pengambilalihan
perseroan terbatas (PT).
Mengatasi Kontroversi
Secara hukum PMN
legal. Yang menjadi tugas pemerintah adalah meyakinkan para anggota DPR bahwa
PMN berguna dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan cara mengajukan
argumentasi dan melakukan kebijakan untuk menjawab keberatan-keberatan
anggota DPR.
Pertama, tentang
jumlah besar yang dipersoalkan sebenarnya sangat relatif. Angka Rp 39 triliun
tergolong kecil dibanding total jumlah RAPBN 2016 sekitar Rp 2.090 triliun
atau hanya 1,9% dari total RAPBN 2016.
Jadi jangan jumlah
absolutnya yang dilihat, tetapi jumlah relatifnya. Kedua, tentang PMN untuk
BUMN yang kinerjanya buruk memang ada rasionalitas. Tetapi secara logika,
justru BUMN berkinerja baik tidak memerlukan suntikan atau penyertaan modal
negara.
BUMN yang tidak sehat
yang membutuhkan suntikan dana supaya sehat dan bisa menghasilkan pendapatan
bagi negara. Analoginya, yang membutuhkan dokter bukanlah orang sehat, namun
orang yang sakit.
Tetapi detail rencana
bisnis dari BUMN yang disuntik dana, termasuk di dalamnya rencana penyehatan,
harus dimiliki. Ketiga, pemerintah bisa mengajukan pertanggungjawaban
sementara tentang penggunaan PMN di APBN-P 2015 sebesar Rp 43 triliun.
Sebenarnya pemerintah
tidak bersalah, karena pertanggungjawaban akan diajukan setelah berakhirnya
tahun anggaran. Para anggota DPR saya kira tahu hal itu.
Keempat, tuduhan bahwa
PMN di RAPBN 2016 tersebut akan dijadikan ‘’bancakan’’ memang sulit
terbantahkan. Selama ini BUMN dari berita-berita yang terbaca di berbagai
media selalu dijadikan semacam sapi perah oleh oknum pemerintah maupun partai
politik yang berkuasa. Posisi strategis di BUMN selalu menjadi rebutan
orang-orang partai politik yang berkuasa.
Kasus pembentukan
Pansus Pelindo II juga dimaknai masyarakat dan pengamat sebagai upaya merebut
Pelindo —salah satu BUMN yang besar dan mengutungkan— ke tangan partai
politik utuk persiapan Pemilu 2019.
Hal-hal yang dikemukan
di atas murni analisis ekonomi. Tetapi karena APBN juga produk politik
(artinya diperlukan pengesahan oleh DPR) maka analisis politik bisa dilakukan
atas alotnya pembahasan RAPBN 2016 di DPR.
Tampaknya ada agenda
politik tersembunyi yang menyertai analisis ekonomi. Terbaca dari situs
metronews.com bahwa DPR mengajukan alokasi dana untuk komisi di DPR sebesar
Rp 274 triliun untuk tiap komisi. Menurut Badan Anggaran DPR, usulan itu
ditolak pemerintah. Hal inilah yang ditengarai salah satu sebab yanag tak
terungkap dari tidak disetujuinya RAPBN 2016 oleh DPR.
Hal berikutnya, seperti
diketahui, DPR dikuasai oleh partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah
Putih (KMP) yang berseberangan dengan partai pemerintah yang berkuasa saat
ini, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Mungkin pembahasan RABN 2016 ini
merupakan kesempatan untuk menaikkan daya tawar politik bagi KMP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar