Senin, 16 November 2015

Penyertaan Modal Negara di RAPBN

Penyertaan Modal Negara di RAPBN

Nugroho SBM  ;  Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang
                                            SUARA MERDEKA, 02 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEMBAHASAN RAPBN 2016, Jumat (30/10), berlangsung alot. Fraksi Gerindra sempat menolak meski akhirnya menerima. Sebelumnya, banyak fraksi lain juga menolak. Salah satu alasan penolakan adalah adanya Penyertaan Modal Negara (PMN) di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam RAPBN 2016 yang besarnya sekitar Rp 39 triliun.

Ada beberapa alasan penolakan PMN. Pertama, jumlah penyertaan modal itu dinilai terlalu besar, mengalahkan alokasi dana untuk sektor-sektor penting termasuk dikhawatirkan mengurangi dana desa.

Kedua, banyak BUMN penerima PMN berkinerja buruk, sehingga dinilai hanya membuang uang negara. Ketiga, PMN dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 43 triliun sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan dan belum kelihatan hasilnya.

Keempat, PMN dalam jumlah besar rawan dikorupsi karena BUMN selama ini banyak yang dijadikan ‘’sapi perah’’ oleh partai politik dan pejabat negara. Sebenarnya, PMN secara hukum legal atau diperbolehkan.

Dasar hukum PMN adalah UU Nomor 17/2013 tentang Keuangan Negara. Dalam UU itu disebutkan, surplus penerimaan negara atau daerah dapat digunakan untuk anggaran tahun berikutnya, membentuk dana cadangan, atau untuk penyertaan modal BUMN/BUMD.

Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa penyertaan modal negara diperbolehkan. Definisi dari penyertaan modal negara adalah bentuk investasi pemerintah di Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan termasuk pendirian dan atau pengambilalihan perseroan terbatas (PT).

Mengatasi Kontroversi

Secara hukum PMN legal. Yang menjadi tugas pemerintah adalah meyakinkan para anggota DPR bahwa PMN berguna dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan cara mengajukan argumentasi dan melakukan kebijakan untuk menjawab keberatan-keberatan anggota DPR.

Pertama, tentang jumlah besar yang dipersoalkan sebenarnya sangat relatif. Angka Rp 39 triliun tergolong kecil dibanding total jumlah RAPBN 2016 sekitar Rp 2.090 triliun atau hanya 1,9% dari total RAPBN 2016.

Jadi jangan jumlah absolutnya yang dilihat, tetapi jumlah relatifnya. Kedua, tentang PMN untuk BUMN yang kinerjanya buruk memang ada rasionalitas. Tetapi secara logika, justru BUMN berkinerja baik tidak memerlukan suntikan atau penyertaan modal negara.

BUMN yang tidak sehat yang membutuhkan suntikan dana supaya sehat dan bisa menghasilkan pendapatan bagi negara. Analoginya, yang membutuhkan dokter bukanlah orang sehat, namun orang yang sakit.

Tetapi detail rencana bisnis dari BUMN yang disuntik dana, termasuk di dalamnya rencana penyehatan, harus dimiliki. Ketiga, pemerintah bisa mengajukan pertanggungjawaban sementara tentang penggunaan PMN di APBN-P 2015 sebesar Rp 43 triliun.

Sebenarnya pemerintah tidak bersalah, karena pertanggungjawaban akan diajukan setelah berakhirnya tahun anggaran. Para anggota DPR saya kira tahu hal itu.

Keempat, tuduhan bahwa PMN di RAPBN 2016 tersebut akan dijadikan ‘’bancakan’’ memang sulit terbantahkan. Selama ini BUMN dari berita-berita yang terbaca di berbagai media selalu dijadikan semacam sapi perah oleh oknum pemerintah maupun partai politik yang berkuasa. Posisi strategis di BUMN selalu menjadi rebutan orang-orang partai politik yang berkuasa.

Kasus pembentukan Pansus Pelindo II juga dimaknai masyarakat dan pengamat sebagai upaya merebut Pelindo —salah satu BUMN yang besar dan mengutungkan— ke tangan partai politik utuk persiapan Pemilu 2019.

Hal-hal yang dikemukan di atas murni analisis ekonomi. Tetapi karena APBN juga produk politik (artinya diperlukan pengesahan oleh DPR) maka analisis politik bisa dilakukan atas alotnya pembahasan RAPBN 2016 di DPR.

Tampaknya ada agenda politik tersembunyi yang menyertai analisis ekonomi. Terbaca dari situs metronews.com bahwa DPR mengajukan alokasi dana untuk komisi di DPR sebesar Rp 274 triliun untuk tiap komisi. Menurut Badan Anggaran DPR, usulan itu ditolak pemerintah. Hal inilah yang ditengarai salah satu sebab yanag tak terungkap dari tidak disetujuinya RAPBN 2016 oleh DPR.

Hal berikutnya, seperti diketahui, DPR dikuasai oleh partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang berseberangan dengan partai pemerintah yang berkuasa saat ini, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Mungkin pembahasan RABN 2016 ini merupakan kesempatan untuk menaikkan daya tawar politik bagi KMP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar