Ulang
Tahun Perkawinan
R Valentina Sagala ; Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota
Dewan Redaksi Sinar Harapan
|
SINAR
HARAPAN, 08 Februari 2014
“Perkawinan sepertinya topik yang tak
pernah membosankan dibahas.”
Bagi yang telah memasuki
kehidupan perkawinan, mungkin sependapat bahwa hari perkawinan adalah hari
yang membahagiakan. Tanpa terasa hidup menghadiahi ulang tahun perkawinan
pertama, kedua, dan seterusnya.
Minggu, 9 Februari ini, saya
dan suami merayakan ulang tahun perkawinan kami. Hal utama yang kami lakukan
di hari bahagia ini adalah berdoa bersama, memanjatkan rasa syukur pada Tuhan
atas kasih dan berkat yang melimpah dalam perkawinan kami. Sebagai ungkapan syukur,
kami pun berbagi kasih pada sesama yang membutuhkan pertolongan.
Tahun ini menjadi unik karena
kami merayakan ulang tahun perkawinan di tengah persiapan perkawinan adik
laki-laki saya, beberapa bulan lagi. Sebagai kakak tertua, saya dan suami
terlibat beragam pertemuan dan kegiatan yang diikuti anggota keluarga besar.
Bukan hanya bagi pasangan yang
hendak kawin, bagi kami yang sudah berstatus kawin pun, perkawinan sepertinya
topik yang tak pernah membosankan dibahas.
Diam-diam, saya dan suami
mengamati pasangan suami istri yang hadir di sekeliling kami. Bohong kalau
dikatakan tak pernah ada masalah yang dihadapi pasangan dalam perkawinan.
Perbedaan pendapat atau kebiasaan antara suami dan istri adalah hal yang
wajar terjadi.
Akan tetapi lihatlah, ayah dan
ibu yang menua, namun tetap bisa menikmati hari dengan senyum dan tawa. Paman
dan bibi yang telah puluhan tahun menjalani perkawinan, terjaga kemesraannya,
meski tengah menghadapi kesulitan.
Kehangatan serupa juga saya
alami saat bersama keluarga besar suami tercinta. Meski mengenal mendiang
mertua lewat foto-foto dan cerita suami pada saya sebelum kami menikah,
nilai-nilai menjalani bahagianya perkawinan dapat saya rasakan dalam
keseharian keluarga ipar-ipar saya.
Dalam suasana seperti ini, saya
dan suami terkenang saat menerima peneguhan dan pemberkatan perkawinan di
gereja dulu. Sebelum masuk pada tahap kami berjanji satu kepada yang lain,
pendeta terlebih dulu menjelaskan makna dan tujuan perkawinan kristiani.
Barulah kemudian kami dipersilakan mengucapkan janji satu sama lain.
Orang sering mengatakan, janji
adalah utang. Sekarang saya sadar alasan sejak kecil saya dibiasakan tidak
main-main soal janji. Kata ayah saya, kehormatan dan harga diri seseorang
bukan dilihat dari harta atau prestasi yang melekat padanya, melainkan pada
cara ia memaknai janji.
Ayah mencontohkan dalam
perilakunya sehari-hari. Ia tak pernah main-main soal janji. Jika sudah
berjanji, ia merawat dan berupaya seoptimal mungkin menepatinya.
Perkara berjanji sangatlah
penting. Tidak hanya dalam perkawinan, tapi dalam semua aspek kehidupan. Kita
mungkin ingat sudah terlalu sering rakyat dikhianati janji-janji gombal
orang-orang yang tengah mengincar kursi kekuasaan.
Mereka mudah berjanji, mudah
pula mengingkari. Apa yang bisa dihormati dari seorang yang mengkhianati
janji yang terucap dari mulutnya? Kualitas pribadi macam apa yang bisa
diharapkan dari seseorang yang gemar mengumbar janji tanpa niat menepatinya?
Janji merupakan unsur esensial
dalam perkawinan. Tanpa janji, perkawinan yang sesungguhnya tidak mungkin
terjadi. Oleh karena itu, perjalanan perkawinan sebenarnya adalah perjalanan
merawat dan menepati janji.
Dalam perenungan saya dan
suami, kami bersyukur telah dididik dan dibiasakan tidak main-main soal
janji. Masing-masing dari kami mengingat kembali janji yang diucapkan di hari
bahagia perkawinan kami.
Begini bunyi janji saya pada
suami tercinta, “Tri Sukma Anreianno
Djandam, di hadapan Allah dan jemaat-Nya, aku mengaku dan menyatakan,
menerima dan mengambilmu sebagai suamiku. Sebagai istri yang beriman, aku
berjanji akan memelihara hidup kudus denganmu dan tetap mengasihimu pada
waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, dan tetap
merawatmu dengan setia sampai kematian memisahkan kita.”
Janji serupa juga diucapkan
suami kepada saya di hari itu. Tak ada janji tentang harta melimpah,
ketenaran, atau hari-hari tanpa masalah. Janji suami pada saya yang paling
utama adalah cinta kasih dan kesetiaannya pada saya. Demikian pula janji saya
padanya.
Bagi saya, janji perkawinan ini
adalah janji kemanusiaan untuk bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik.
Kata suami saya, merawat dan menepati janji tersebut adalah kemestian yang
membahagiakan. Saya jelas mengamini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar