Sabtu, 08 Februari 2014

Saatnya Evaluasi Kurikulum 2013

Saatnya Evaluasi Kurikulum 2013

Sudaryanto   ;   Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta;
Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities, Nanning, Guangxi, China
SINAR HARAPAN,  08 Februari 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“Tak sedikit guru yang belum siap (atau dipaksa siap?) untuk melaksanakan Kurikulum 2013.”

Pelaksanaan Kurikulum 2013 telah berjalan tujuh bulan, terhitung sejak 15 Juli 2013. Tujuh bulan atau satu semester lebih merupakan waktu yang tepat guna mengevaluasi pelaksanaan “kurikulum penyempurna” Kurikulum 2006 itu.

Apa sajakah yang sepatutnya dievaluasi dalam implementasi Kurikulum 2013? Yang tak kalah penting apakah Kemendikbud bersedia menerima seluruh hasil evaluasi tersebut secara terbuka?

Banyak pihak yang mengatakan pelaksanaan Kurikulum 2013 terlalu dipaksakan dan minus persiapan. Hal itu tercermin dari berubah-ubahnya jumlah target sekolah dan siswa yang menerapkan kurikulum baru tersebut.

Awalnya Kemendikbud menargetkan 148.000 sekolah tingkat SD/MI, kemudian berubah menjadi 7.458 sekolah tingkat SD/MI. Tak lama berselang, “tiba-tiba” berubah lagi menjadi 2.598 sekolah tingkat SD/MI. Ada apa gerangan?

Akhirnya, mendikbud pun angkat suara. Menurutnya, pengurangan jumlah sekolah sasaran itu dilakukan semata-mata menyesuaikan kondisi riil di lapangan. “Ini sudah jumlah final. Tidak akan berubah lagi,” katanya.

Fakta yang terjadi di lapangan sebetulnya menunjukkan tak sedikit guru yang belum siap (atau dipaksa siap?) untuk melaksanakan Kurikulum 2013. Sayang, fakta ini tertutupi oleh gencarnya sosialisasi kurikulum baru di berbagai tempat/kampus.

Sosialisasi Tak Objektif

Sosialisasi Kurikulum 2013 di sejumlah PTN merupakan hal pertama yang perlu dievaluasi. Apa pasal? Ini disebabkan pelaksanaan sosialisasi itu dibungkus dengan embel-embel “seminar nasional”. Anehnya, meskipun diembel-embeli “seminar nasional”, banyak peserta yang tertarik untuk mengikutinya. Mulai dari dosen, guru, hingga pengambil kebijakan pendidikan rela mendaftar dan membayar uang yang tak sedikit untuk mengikuti “seminar nasional” tersebut.

Selain itu, “seminar nasional” yang sebetulnya sosialisasi Kurikulum 2013 itu tak bersifat objektif. Hal itu dapat dimaklumi, mengingat para pembicara yang diundang umumnya pihak Kemendikbud dan tim inti pengembangan Kurikulum 2013.

Agar sosialisasi objektif, pihak PTN semestinya dapat menghadirkan pembicara yang mampu mengkritisi isi/konsep Kurikulum 2013. Misalnya, dosen, pengamat pendidikan, atau anggota DPR Komisi X.

Ketidakobjektifan pemerintah dalam hal ini Kemendikbud juga terjadi pada teka-teki kenapa Kurikulum 2013 mesti dilaksanakan pada Juli 2013.

Teka-teki ini terjawab dengan satu jawaban. Pola pelaksanaan Kurikulum 2013 dirancang secara berjenjang hingga 2016. Tahun pertama (2013-2014) kurikulum dilaksanakan pada kelas I, IV, VII, dan X. Lalu tahun kedua (2014-2015) dijadwalkan di kelas II, V, VIII, dan XI.

Tahun ketiga (2015-2016) dijadwalkan di kelas III, VI, IX, dan XII. Bisa Anda tebak, jika Kurikulum 2013 baru dilaksanakan pada Juli 2014, Kemendikbud harus mengubah pola pelaksanaan tersebut.

Berubahnya pola pelaksanaan Kurikulum 2013 tentu berdampak serius terhadap jumlah dan tahun anggaran yang akan ditetapkan. Terlepas dari siap tidaknya dan paham tidaknya para guru, kurikulum baru tersebut tetap diterapkan di sekolah.

Kegalauan Guru

Hal kedua yang sepatutnya dievaluasi ialah kegalauan para guru dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013.

Dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, misalnya, tak sedikit guru bahasa Indonesia yang galau akan konsep pembelajaran berbasis teks atau genre. Bagi mereka, konsep “kurikulum berbasis teks atau genre” masih terdengar sangat asing. Kata asing di sini perlu Anda pahami dalam dua makna sekaligus, yaitu denotatif dan konotatif.

Makna denotatif, maksudnya para guru bahasa Indonesia kurang memahami wujud teks atau genre sehingga betul-betul terasa asing bagi mereka.

Sementara itu, makna konotatif, maksudnya pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks atau genre sesungguhnya berkiblat pada pembelajaran bahasa di negara-negara maju, seperti Australia dan Singapura. Apa betul pembelajaran bahasa Indonesia selama ini tidak berbasis teks atau genre?

Dalam karyanya, Teaching New Literacies in Grade K-3 (2010), Moss dan Lapp menyebutkan, ada berbagai jenis atau genre yang dapat diajarkan dalam pembelajaran bahasa, di antaranya teks cerita rakyat, puisi, prosedural, biografi, hingga tabel.

Kemudian, coba kita buka kembali buku-buku teks pelajaran bahasa Indonesia SD untuk Kurikulum 2004 dan 2006, ternyata semua teks atau genre yang disebutkan Moss dan Lapp itu tersaji di dalamnya.

Akhirnya, saya ingin tekankan satu hal bahwa mengevaluasi pelaksanaan Kurikulum 2013 tidak harus menunggu satu tahun. Apabila dalam jangka waktu tujuh bulan ini terdapat beberapa hal yang dianggap “kurang”, semestinya Kemendikbud dapat segera memperbaikinya.

Dua hal kekurangan yang bisa disebut di sini ialah kurang objektifnya sosialisasi kurikulum dan belum penuhnya pemahaman guru terhadap isi/konsep Kurikulum 2013. Semoga ada harapan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar