Media dan Iklan Politik
Fajar Kurnianto ;
Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas
Paramadina Jakarta
|
KOMPAS,
01 Februari 2014
JADWAL kampanye pemilu belum
masuk, tetapi iklan-iklan partai-partai politik sudah bermunculan di pelbagai
media, terutama di televisi. Para pengiklan politik itu berdalih tidak ada
ketentuan yang dilanggar karena tidak ada unsur-unsur kampanye di dalamnya.
Media memang memiliki kemampuan
untuk memengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat (Klapper, 1960). Media dianggap memiliki peran yang sangat penting
dalam mentransmisi (relaying) dan
menstimulasi permasalahan politik (Negrine,
1996).
Hal ini menjadi sangat penting
dalam kampanye politik (Deacon &
Monk, 2002). Cakupan yang luas dalam masyarakat membuat media massa
dianggap sebagai salah satu cara yang sangat efektif dalam upaya
mengomunikasikan program kerja.
Televisi dan internet
Dalam konteks ini, pemilik
media yang berafiliasi ke politik tentu saja menjadi pihak yang paling
diuntungkan. Ia bisa saja mengiklankan partai politiknya lebih intensif
daripada partai-partai lainnya dengan biaya yang sangat kecil, malah mungkin
tidak berbiaya sama sekali. Berbeda dengan partai-partai lain yang harus
merogoh kocek cukup besar untuk beriklan.
Hal lainnya, ini menyangkut
independensi media itu sendiri. Media semestinya independen dari unsur atau
pengaruh politik atau tekanan pihak mana pun sehingga publik benar-benar
mendapatkan manfaat dari keberadaan media.
Namun, memang, media dan politik
saat ini ibarat ”sepasang pengantin”. Politik perlu media sebagai salah satu
bagian penting pemasaran politiknya. Di sisi lain, media juga dapat mengambil
banyak sekali keuntungan secara bisnis dari politik, terutama di masa-masa
perhelatan akbar demokrasi tahun ini.
Melalui media, partai-partai
politik mencoba memengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat. Publik
disuguhi gambaran partai-partai politik yang peduli bangsa dan nasib mereka
dengan narasi iklan yang memikat dan mencuri perhatian.
Media, terutama televisi,
menjadi sarana paling efektif dibandingkan—misalnya—dengan media cetak
seperti koran atau majalah karena cakupannya yang lebih luas. Dibandingkan
dengan para pengakses koran atau majalah, para pengakses televisi jauh lebih
banyak.
Dari pusat perkotaan hingga
pelosok pedesaan hampir dapat ditemukan pesawat televisi. Lain halnya dengan
koran atau majalah. Masih rendahnya budaya literasi masyarakat kita juga ikut
menciptakan kondisi seperti ini. Masyarakat cenderung lebih pragmatis dan
menyukai gambaran audio visual dibandingkan dengan bacaan teks.
Bahkan, masyarakat perkotaan
sendiri, seperti Jakarta, meski sudah dijejali media-media cetak yang dengan
sangat mudah diakses, durasi menonton televisi jauh lebih lama daripada
membaca koran atau majalah. Tidak mengherankan jika muncul banyak
kekhawatiran soal masa depan media cetak.
Apalagi, di samping televisi, ada
media internet yang—terutama—bagi masyarakat perkotaan sudah begitu mudah
diakses di genggaman tangannya, di gadget atau telepon seluler
mereka. Portal-portal berita juga menyuguhkan berita lebih cepat daripada
media cetak yang harus menunggu esok hari untuk meng-update berita.
Namun, jika dibandingkan dengan
televisi, jangkauan internet masih belum sejauh televisi meski sebetulnya
pengaruh internet jauh lebih besar daripada pengaruh televisi.
Schudson (2004), misalnya,
menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan internet. Internet sebagai media
komunikasi dan pertukaran informasi berpeluang merevolusi sistem, struktur,
dan proses demokrasi yang selama ini kita kenal. Winston (2004) menyatakan,
munculnya istilah digital
democracy atau virtual
democracy akhir-akhir ini menggambarkan bagaimana kehidupan demokrasi
berlangsung di dunia internet. Isu tentang emansipasi, keterbukaan, dan
kebebasan dapat dengan mudah ditransfer melalui internet.
Etika politik
Di Indonesia, jangkauan
internet masih kalah dibandingkan dengan jangkauan televisi. Maka, mudah dimengerti
jika kemudian televisi menjadi pilihan utama strategi pemasaran partai-partai
politik. Biaya iklan politik di televisi selalu lebih banyak daripada di
media-media lain.
Belanja iklan di televisi selalu
menjadi yang terbesar. Apalagi jika mengingat saat ini sudah tidak lagi
efektif kampanye melalui pengerahan massa. Kampanye pengerahan massa hanya
efektif ketika belum banyak media seperti saat ini. Dengan iklan di televisi,
dalam durasi pendek, pesan partai politik tersampaikan dengan baik secara audio
visual dalam sekejap dan, bersamaan, diketahui publik.
Pada akhirnya, politik berupaya
sedekat dan seerat mungkin menjalin hubungan dengan media televisi. Wiranto
dari Partai Hanura, misalnya, menggandeng Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC
Grup yang membawahi televisi MNCTV, RCTI, dan Global TV, serta media-media
cetak dan portal di dalamnya. Demikian pula Partai Nasdem. Bahkan,
pendirinya, Surya Paloh, adalah pemilik MetroTV serta sejumlah media cetak
dan portal di bawahnya. Partai Golkar juga begitu mengingat Aburizal Bakrie
adalah pemilik Viva Grup yang di dalamnya ada ANTV dan TVOne serta
portal-portal beritanya.
Para kandidat yang diusung
partai dan kebetulan adalah pemilik media akan lebih intens beriklan, tidak
hanya tokoh, tetapi juga partai politiknya. Iklan politik hakikatnya adalah
kampanye karena isinya mendorong dan membujuk khalayak ramai agar tertarik
pada barang dan jasa yang ditawarkan.
Dalam konteks ini, materi iklannya
adalah tokoh dan partai politik beserta program-programnya. Meski tidak
secara tersurat mengajak, secara tersirat iklan politik seperti ini adalah
kampanye. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar