Kantor
Mereka Tutup
Indra Tranggono ;
Pemerhati
Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
01 Februaru 2014
SUDAH lama kantor iblis, di
tingkat pusat dan daerah, tutup. Termasuk cabangnya di Indonesia. Para
stafnya, setan-setan, menganggur dan hanya main Facebook.
Di singgasananya, sang iblis
tampak murung, ditikam frustrasi. ”Apa artinya jadi iblis jika tidak mampu
lagi menggoda manusia?” desisnya.
Yang paling membuat iblis sedih
dan marah: manusia tidak mempan digoda lagi; bukan karena peningkatan
kualitas moral dan spiritualnya, melainkan karena mereka telah mencuri dan
mengembangkan ”ilmu periblis-an”. Misalnya dalam melakukan korupsi
konstitusi dan korupsi materi. Tindakan pencurian itu berlangsung
secara smooth, sistemik, softly, tetapi tetap menimbulkan efek
kerugian yang signifikan bagi negara dan rakyat.
Sebelum korupsi merebak dahsyat di
negeri ini, iblis masih punya pekerjaan menggoda manusia untuk membobol uang
negara. Memang lebih banyak kelompok elite kekuasaan yang bisa dipengaruhi
sehingga korupsi masih elitis dan belum masif dan populistik seperti saat
ini.
Setelah keran kebebasan terbuka,
orang tidak hanya berani beropini, tetapi juga mencuri. Pencurian pun berjalan
masif. Celakanya, kata iblis, mereka gemar korupsi tanpa harus digoda. ”Di
balik kesantunannya, mereka liar dan ganas bagai serigala. Anggaran untuk
perbaikan nasib rakyat pun mereka terkam. Aku sampai jijik melihatnya. Aku
menangis. Kasihan melihat ratusan juta rakyat Indonesia yang hak-haknya
dijarah. Mencuri ya mencuri, tapi mbok ya pakai tepa salira,” ujar
iblis, galau.
Iblis pun memperkirakan masa
penganggurannya di Indonesia akan semakin panjang. Penyebabnya, telah
terjadi regenerasi koruptor secara berkelanjutan. Koruptor bukan hanya
orang-orang berusia di atas 50 tahun, melainkan juga anak-anak muda yang kini
memenuhi dan membanjiri lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, parpol, dan
dunia usaha yang dekat dengan kekuasaan. Sama seperti para seniornya, para
koruptor muda ini pun imun atas godaan iblis.
Mereka umumnya kaum terdidik yang
melek hukum, berbudaya, dan semula diharapkan jadi pemimpin bangsa.
Namun, mereka akhirnya menemukan takdirnya sendiri: jadi maling karena
terserimpung korupsi.
Mereka pun mendapat dukungan
moral, politik, dan hukum dari politisi, parpol, birokrat, legislator,
penegak hukum, dan pebisnis hitam yang menafsirkan korupsi berdasarkan
kepentingannya sendiri, bukan kepentingan warga negara. Bahkan, ada seorang pengacara
senior—yang menjadi penasihat hukum seorang tersangka korupsi—bilang: korupsi
bukan kejahatan luar biasa. Mendadak ia lupa: korupsi telah membunuh rakyat,
merusak peradaban bangsa, dan merusak negara.
Dalam terminologi Daoed Joesoef
(2014), mereka yang melakukan korupsi dan pendukung koruptor bukanlah warga
negara, melainkan penduduk (penghuni) suatu negara. Mereka menganggap negara
ini tak lebih dari ”hotel”, tempat mencari kekayaan.
Perlu dibedakan antara penduduk
dan warga negara. Penduduk tak ideologis, sedangkan warga negara sangat
ideologis. Celakanya, entitas berkarakter penduduk itulah yang selama ini
menguasai negara.
Degradasi peradaban
Hilangnya kesadaran sebagai warga
negara menjadikan mereka kalap dan kemaruk menggaruk uang. Penjarahan pun
terjadi secara fantastis, misalnya di sektor perbankan, pajak, migas, serta
APBN dan APBD.
Para penjarah uang negara itu
tidak lagi memiliki perasaan satu nasib sepenanggungan terhadap sesama warga
negara. Emosi yang mengemuka: nasibku beda dengan nasibmu. Salahmu sendiri
kok punya nasib buruk!
Korupsi yang sangat parah jadi
indikator atas degradasi peradaban bangsa. Penyelenggaraan negara tidak lagi
berbasis etika dan etos—hasil serapan dari ideologi, konstitusi, sistem
keyakinan, dan budaya—tetapi lebih didikte materialisme-pragmatisme picik, di
mana kapital menjadi panglima kehidupan. Di sini tak pernah terjadi produksi
nilai yang mencerahkan, tetapi reproduksi material-kapital yang
mendangkalkan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, kebenaran,
kepastian hukum, dan keadilan dipahami sebagai narasi-narasi dongeng masa
silam, yang hanya diwacanakan dalam berbagai upacara sosial-politik (sidang
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pertunjukan debat kaum intelektual).
Para pelaku upacara merasa, problem negeri ini otomatis teratasi ketika
berbagai wacana diperdebatkan.
Iblis tersenyum pahit melihat
berbagai dekadensi di negeri ini. Munculah setan yang mencoba menghibur
iblis. Dikatakan, masih ada divisi periblisan yang buka, yaitu divisi
perselingkuhan, divisi pembunuhan, divisi pelacuran baik pelacuran
intelektual maupun badaniah, divisi perkosaan, divisi narkoba, dan divisi
minuman keras terutama versi oplosan.
Mendengar ucapan itu, iblis
justru bertambah marah. Tanduknya tumbuh memanjang. Matanya menatap tajam.
”Kamu ini setan staf baru, ya? Kamu mesti tahu, semua divisi yang kamu
sebut tadi sudah lama tutup!” bentak iblis. Ia pun semakin meradang
ketika mendengar gema tawa para koruptor berasal dari Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar