|
SUARA
MERDEKA, 12 Juni 2013
“Pembudayaan
manajemen modern mestinya secara inheren harus memacu mutu pelaku menjadi lebih
profesional”
PEMUKULAN pramugari Sriwijaya Air oleh Kepala Dinas Badan
Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung (Babel) kini memasuki
tahap penuntutan hukum. Pejabat itu memukul gara-gara ditegur awak pesawat itu
supaya mematikan ponsel ketika pesawat akan tinggal landas. Dalam dunia
penerbangan ada larangan mengaktifkan ponsel dan alat elektronik lain karena
mengganggu komunikasi penerbangan. Artinya, pengabaian atas ketentuan itu
membahayakan keselamatan penerbangan.
Kasus pejabat gagap teknologi (gaptek) dalam arti luas itu,
termasuk di dalamnya ada unsur arogan, hanyalah puncak dari gunung es lain.
Sering kita mangkel di angkutan umum misalnya, ada penumpang menggunakan ponsel
dengan suara keras dan omongannya ''tidak bermutu''. Demikian pula dalam
suasana yang butuh ketenangan, seperti seminar atau di tempat ibadah, tiba-tiba
ada ponsel berdering, dan bunyinya pun ingar-bingar. Kita boleh menduga pemilik
ponsel itu gaptek karena mestinya bunyi dering bisa disetel menjadi nada getar.
Deretan peristiwa itu menunjukkan kesenjangan budaya bangsa
kita terhadap kehadiran teknologi modern. Berbeda dari Barat yang mengalami
proses evolutif untuk menuju budaya teknologi tinggi, sebaliknya kita mengalami
proses revolusioner dengan kehadiran teknologi tinggi.
Etos Kerja
Tahun 1990-an ponsel masih jarang, apalagi laptop atau
internet. Namun kini siapa pun hampir memiliki ponsel. Karenanya, mengherankan
jika seseorang yang kelihatan perlente, termasuk pejabat, tak dapat
memaksimalkan manfaat fitur dari peranti teknologi yang ia beli. Dengan bangga
ia tunjukkan laptop paling canggih, namun ketika ditanya apa yang ia
manfaatkan, ternyata hanya untuk mengetik dan browsing lagu atau gambar.
Demikian pula kecanggihan ponsel dan alat elektronik lainnya hanya sebatas
untuk chatting perkara remeh-temeh.
Ada beberapa peristiwa yang melatarbelakangi mengapa bicara
soal etos (kerja) bangsa menjadi penting. Pertama; kita masih ingat etos kerja
seorang anggota DPR yang kedapatan menonton video porno di ruang sidang
paripurna. Alasannya, sebagaimana dilansir televisi swasta: sidang menjemukan.
Alasan itu seperti menohok diri sekaligus mutu sidang DPR. Kedua; etos
birokrasi Pemprov Jateng yang meng-copy paste laporan pertanggungjawaban yang
membuat malu Gubernur Bibit Waluyo.
Dua kasus ini cukup menunjukkan betapa mereka yang digaji
tinggi dan disumpah untuk bekerja baik demi negara dan bangsa, memiliki etos
kerja sangat rendah. Tudingan ini dapat diperpanjang dengan kasus meledaknya
kilang minyak di Cilacap atau kualitas pelayanan birokrasi terhadap rakyat,
seperti jalan yang baik, angkutan umum yang nyaman, sampai soal kesejahteraan.
Fenomena gaptek terjadi karena budaya kerja industrial
modern yang mestinya profesional, dihayati dalam etos kerja budaya feodal
agraris. Penerapan teknologi modern butuh budaya kerja profesional, disiplin,
kecermatan, perhitungan matematis, efisiensi dan efektivitas kerja,
rasionalitas,dan kinerja individual yang cerdas.
Etos kerja (menurut Weber), etos kerja yang tinggi (need achievement menurut David
McClelland), etos Bushido, etos zaman Renaisans, dan Restorasi Meiji, merupakan
pendorong utama kelahiran asketisme intelektual yang menekankan kerja sama yang
tinggi, etos kerja kuat, disiplin, tanggung jawab, loyalitas, rasionalitas,
peningkatan kinerja individual, hemat, cermat, orientasi kepada kepuasan
dan perasaan self-fulfillment.
Menurut Prof Dr Sartono Kartodirdjo (1988) etos bangsa
adalah totalitas kebiasaan yang terwujud dalam segala sikap dan kelakuan
manusia. Etos ini perlu diarahkan ke realisasi eksistensi bangsa agar tak hanya
meningkat taraf hidup, namun juga mempertinggi kualitas hidup dan martabat.
Etos bangsa tampaknya juga terusik dengan makin sukanya
masyarakat kita bertindak instan. Dalam bahasa ilmiah harus ada ìetos kerjaî
yang mengacu kepada inner-worldly
orientation (orientasi kepada dunia batin) dan this-worldly orientation (duniawi-material). Jika dua hal itu
diseimbangkan maka akan muncul self-fulfillment
dan self-realization, yakni kepuasan
batin.
Dalam istilah Gordon Allport dan David Riesman, motivasi
kuat untuk meraih cita-cita (inner-directed),
membawanya kepada perasaan penuh optimisme. Manusia adalah the center of human action, pinjam
istilah Megawangi (1995), yang mencurahkan segala energinya untuk mewujudkan
mimpinya itu.
Berbagai kasus unjuk kerja bangsa ini apakah merupakan
representasi etos kerja bangsa yang kini kian memudar? Penting untuk menjawab
pertanyaan itu karena dalam segala bidang kehidupan, unjuk kerja bangsa kita
terlihat kalah. Pada pemerintahan misalnya, sudah tidak ada unjuk kerja yang
melayani rakyat sebagaimana tercermin dari tingginya angka korupsi dan
kengototan wakil rakyat meraih keuntungan materi.
Pada bidang olahraga juga tak tampak prestasi membanggakan.
Demikian pula dalam dunia pendidikan, amat sunyi karya tulis intelektual yang
indikatornya ditunjukkan oleh keminiman buku yang diterbitkan.
Dengan kata lain, pembudayaan manajemen modern mestinya
secara inheren juga harus memacu mutu pelaku lebih profesional. Demikian pula
jika berbicara soal manajemen dalam mengelola teknologi tinggi. Manajemen ini
juga menyangkut mutu dan profesionalitas pelaku, sekaligus watak budayanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar