Senin, 24 Juni 2013

Akhirnya BBM Naik Juga

Akhirnya BBM Naik Juga
Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 23 Juni 2013


Tetapi, sudah berapa korbannya? Di Medan outlet KFC, yang sama sekali enggak ada urusannya dengan BBM (bahan bakar minyak), dirusak massa, pengunjung ketakutan, pemilik dan pegawai dirugikan. 

Padahal mereka semua itu rakyat belaka. Di Jambi seorang jurnalis yang sedang meliput demo terkena selongsong peluru gas air mata, pas di mukanya. Di Makasar pendemo bentrok dengan warga, padahal jurnalis dan warga itu yarakyat juga yang katanya sedang dibela mahasiswa. Belum lagi kerugian yang ditimbulkan oleh kemacetan yang berjam-jam sebagai akibat jalan diblokade massa. 

Kerusuhan- kerusuhan ini bukan terjadi sekali-dua-kali, melainkan berkali-kali, berulang-ulang, selama hampir setahun ini. Senior saya, yang guru besar psikologi juga, pernah terkena gas air mata seluruh wajahnya gara-gara beliau membuka pintu mobilnya mau pulang setelah demo reda. Padahal mobil itu sudah penuh gas air mata dari sebuah peluru gas yang kebetulan menembus kaca belakang mobilnya. Korban yang sangat sia-sia yang ditimbulkan oleh orangorang yang bernafsu demo (tidak ada isu BBM pun mereka berdemo). 

Yang lebih dirugikan lagi adalah para nelayan, para sopir truk, dan operator-operator pabrik yang pekerjaannya sangat bergantung pada premium dan solar. Tidak ada solar, nelayan tidak bisa melaut, sopir truk harus antre berjam-jam menghabiskan uang makannya, dan pabrik-pabrik berhenti beroperasi, yang menyebabkan para pekerja pabrik tidak bisa bekerja, dan tidak ada penghasilan untuk anak-istrinya. 

Sementara itu, bensin dan solar ditimbun para penimbun yang ingin cari untung buat diri sendiri. Sekarang ditimbun dulu, nanti kalau sudah naik, baru dijual dengan untung yang berlipat ganda. Karena harga BBM tidak kunjung naik, BBM terus ditimbun. Kalaupun sempat dilepas karena sepertinya harga BBM tidak jadi naik, begitu ada isu naik lagi ditimbun lagi. 

Lain halnya dengan rakyat, yang katanya dibela pendemo, yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari jalur distribusi BBM seperti pulau-pulau terluar atau desa-desa di Papua yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat-pesawat terbang misionari, buat mereka harga BBM naik atau tidak, mereka harus membeli BBM dengan harga yang berkali-kali lipat. Itu pun kalau barangnya ada. 

Padahal ketika zaman Pak Harto, kenaikan harga BBM diumumkan di TV jam 21.00, jam 24.00, atau jam 00.00 langsung harga sudah naik. Tidak ada demo, apalagi korban gas air mata atau perusakan fasilitas umum. Paling-paling orang-orang mengantre menjelang tengah malam untuk membeli bensin atau solar dengan harga lama pada beberapa jam terakhir sebelum harga naik. Saya tidak pernah melakukanitukarenasaya hitung-hitung keuntungan beberapa rupiah dari membeli bensin dengan harga lama itu tidak sebanding dengan waktu saya untuk mengantre di pompa bensin. 

Tetapi, hal seperti inilah yang menyebabkan ada sementara orang yang mengedarkan lewat Twitter, bahkan ada yang sudah membuatnya sebagai motif kaos, gambar Pak Harto sedang tersenyum, dengan tulisan ”Piyekabare, rakenakzamankuto?” (Apa kabar, enakan zaman saya, kan?) *** 

Sebagai seorang militer Pak Harto paham benar dengan yang disebut strategi pendadakan. Serangan dilakukan sebelum lawan siaga, tidak boleh ada kebocoran, dan lawan betulbetul dibuat tidak berkutik karena memang tidak menduga ada serangan. Strategi ini digunakan juga oleh Pak Harto dalam mengumumkan kenaikan harga BBM. Masyarakat tidak berkutik, tinggal nurut saja. 

Strategi ini juga sesuai teori psikologi massa. Massa itu ratarata malas berpikir. Apa yang ada yadiikuti saja. Persis seperti rombongan bebek yang mengikuti saja bebek yang paling depan, yang disebut Sontoloyo, dan si Sontoloyo ini hanya mengikuti umbul-umbul pada tongkat panjang yang diacungkan oleh si penggembala itik dari belakang barisan bebek. Karena itu, bebek-bebek itu bisa berbaris rapi. Tetapi begitu sampai ke tujuan penggembalaan (biasanya sawah yang baru selesai dipanen) si penggembala membiarkan itik-itiknya mencari makan sendiri-sendiri. 

Berpencaranlah bebek itu sambil bertelur. Si penggembala dengan senang memanen telur-telur itu. Begitu juga halnya dengan massa rakyat Indonesia. Kalau didadak saja kenaikan harga BBM, hampir seluruh rakyat akan ikut saja. Paling-paling beberapa orang yang tidak senang saja akan ngomel di TV, tetapi sebentar saja akan berlalu. Pasti omelannya tertutup dengan isu-isu lain yang lebih seru seperti ”dagang daging sapi” atau kasus ”Cebongan”. 

Tetapi, pendekatan pemerintah SBY lain sekali. Walaupun sudah berkali-kali ditegaskan oleh pemerintahsendiri, bahkanoleh anggota DPR, bahwa kenaikan harga BBM adalah wewenang pemerintah, tidak perlu konsultasi dulu dengan DPR, dengan alasan sosialisasi atau demokrasi rakyat diajak diskusi dulu. Di sinilah kesalahan fatalnya. 

Alasan-alasan pemerintah memang sangat masuk akal: pemanfaat subsidi adalah pemilikpemilik mobil pribadi yang sebetulnya tidak memerlukan subsidi itu, APBN bisa jebol karena harus membayar subsidi BBM, lebih baik dana subsidi itu untuk membangun infrastruktur dan lainnya. Tetapi, alasan-alasan itu untuk massa tidak penting. Alihalih ditanggapi dengan baik, dengan adu argumentasi yang benar-benar rasional, reaksi yang timbul hanya ”Tolak kenaikan harga BBM!” Titik! 

Dikipasi oleh media massa, nafsu amarah massa makin berkobar, dan kalau massa sudah marah, sulitsekalidikendalikan. Apalagi polisi pun di lapangan tidak berani tegas. Alih-alih mencegah demo, malah membiarkan sehingga berakhir anarkistis. Sosialisasi dan demokrasi sebetulnya bagus-bagus saja, tidak ada salahnya. 

Tetapi, dalam teori kepemimpinan ada dalil yang menyatakan bahwa pemimpin berbeda dengan manajer. Seorang manajer sejauh mungkin harus mengikuti peraturan dan prosedur yang baku agar semua berjalan baik, tertata rapi sesuai aturan. Sementara seorang pemimpin justru kadang-kadang harus berani membuat keputusan yang cepat dan tegas yang mungkin melanggar aturan. 

Pokoknya tujuan tercapai. Masalah kita saat ini adalah presiden yang seharusnya berperan sebagai pemimpin lebih memilih untuk berperan sebagai manajer. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar