|
SUARA
KARYA, 12 Juni 2013
Rasanya pemerintah perlu melakukan
investigasi secara menyeluruh untuk mengusut akar masalah pemicu kerusuhan
ribuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Konsulat Jenderal Republik Indonesia
(KJRI) di Jeddah, Arab Saudi. Ini penting agar peristiwa yang mencoreng nama
Indonesia di dunia internasional itu tidak terjadi lagi.
Bentuk investigasi bukannya hendak
menyalahkan dan mengkriminalisasi buruh migran yang mengekspresikan
kemarahannya. Tetapi, yang terpenting, melalui investigasi akar masalah insiden
kerusuhan yang diikuti aksi pembakaran itu bisa terungkap. Apakah benar akibat
kelambanan dan ketidakseriusan perwakilan Indonesia dalam pemrosesan dokumen
amnesti.
Kalau dicermati, insiden kemarahan
buruh migran Indonesia di KJRI Jeddah merupakan puncak akumulasi kemarahan
terhadap bobroknya pelayanan selama masa amnesti (pengampunan). Satu hal yang
perlu diperhatikan, dalam menghadapi kebijakan amnesti dari Pemerintah Arab
Saudi, Pemerintah Indonesia terkesan lamban dan ragu untuk mengantisipasi
puluhan ribu TKI atau buruh migran yang tengah memproses pemutihan dokumen di
KJRI Jeddah.
Dalam hal ini, proses pemutihan
dokumen bagi seluruh buruh migran memerlukan pelayanan prima dan tanpa
diskriminasi. Selain menambah sumber daya manusia (SDM) yang memadai, juga
perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh
selama masa amnesti, terutama dalam pelayanan dokumen.
Bagaimanapun, keseriusan
pemerintah pusat untuk mendukung terselenggaranya pelayanan pengurusan dokumen
selama masa amnesti sangat penting. Pemerintah perlu segera melakukan
langkah-langkah proaktif kepada Kerajaan Arab Saudi agar memberikan
perpanjangan waktu amnesti dan tidak mempersulit pemutihan dokumen TKI.
Kasus TKI overstay terjadi sudah lama. Namun, strategi untuk mengatasi
masalah itu tidak pernah tuntas hingga setiap tahun selalu kembali diributkan.
Barangkali pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian izin kepada KBRI/KJRI
untuk dapat menerbitkan paspor kepada WNI yang masih ingin bekerja dengan
bersyarat (bukan SPLP).
Di lain pihak, loket-loket
pelayanan di wilayah lain perlu dibuka selain di KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah.
Kalau perlu, menyediakan jalur telepon khusus dan prosedur resmi yang
diterbitkan KBRI/KJRI berisi langkah-langkah proses amnesti, baik bagi TKI yang
ingin pulang maupun yang menetap di Arab Saudi. Pihak keamanan Indonesia
seperti intelijen pun perlu dilibatkan untuk mengantisipasi ulah para calo. Di
samping itu, penambahan personel (dengan melibatkan sukarelawan) untuk
pelayanan di loket-loket.
Yang tak boleh dilupakan,
tenda-tenda kesehatan lengkap dengan tim medis perlu dibuka bagi WNI yang
pingsan atau kelelahan saat mengurus pemutihan. Ini mengingat cuaca di Arab
Saudi saat ini, pada siang hari mencapai 45-50 derajat, malam 35 derajat. Ini
penting demi jaminan kesehatan WNI dan agar kerusuhan tidak terulang lagi.
Peristiwa Jeddah jelas sangat
memprihatinkan. Padahal, kemarahan para TKI sesungguhnya dapat dihindari
apabila pemerintah dapat mengantisipasi kemungkinan meningkatnya permohonan
surat perjalanan laksana paspor (SPLP) dari para TKI terkait program amnesti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar