Minggu, 23 Juni 2013

Jakarta Baru, Jakarta Hijau

Jakarta Baru, Jakarta Hijau
Nirwono Joga ;   Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau
SINAR HARAPAN, 22 Juni 2013


Ada empat isu strategis permasalahan Kota Jakarta yakni pelayanan perkotaan, pengembangan ekonomi kota, keberlanjutan kota, dan penyelenggaraan pembangunan perkotaan. Tantangan yang mengadang berupa persaingan global, desentralisasi dan demokratisasi, serta perubahan iklim. 

Namun demikian, Jakarta memiliki peluang kerja sama regional, nasional, dan global dalam mengembangkan ketahanan kota yang berkelanjutan (kota hijau), karena kota mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia (intelektual, kreatif, inovatif).

Permasalahan pelayanan perkotaan Jakarta berupa ketidakoptimalan penyediaan perumahan dan infrastruktur, ketimpangan wilayah antara Jakarta dengan Bodetabek, serta daya saing kota yang rendah.
Pengembangan ekonomi kota terhambat oleh ketidakoptimalan peran kota sebagai pendorong dan pusat pertumbuhan ekonomi, kemiskinan perkotaan, ketidakoptimalan pengembangan ekonomi kota dan kapasitas fiskal, serta kekurangoptimalan modal sosial masyarakat perkotaan.

Ketidakberlanjutan kota dapat dipengaruhi ketidakoptimalan pengelolaan lingkungan dan tindakan antisipasi, adaptasi, dan mitigasi terhadap bencana dan perubahan iklim. Untuk penyelenggaraan pembangunan perkotaan dipengaruhi ketidakoptimalan tata kelola dan kelembagaan pemerintah kota, serta ketidakefisienan penataan ruang dan penatagunaan tanah.

Strategi Ketahanan Kota

Jakarta terus mengalami penurunan kualitas lingkungan kota. Konsentrasi NO2 dan CO lebih tinggi dari kota-kota di Bodetabek.

Kualitas air 13 sungai yang mengalir di tengah kota semakin menurun tercemar berat, penuh sampah, hitam dan bau menyengat. Timbunan sampah terus bertambah, di mana hanya 50 persen sampah terangkut ke tempat pembuangan akhir sampah (Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2010).

Dampak perubahan iklim di Jakarta mengakibatkan permukaan air laut di pesisir naik dan penurunan muka tanah sehingga frekuensi limpasan air laut (rob) semakin sering terjadi (JICA, 2011). Intensitas dan curah hujan telah melebihi ambang normal membuat saluran-saluran air sudah tidak mampu menampung lagi, meluap dan menggenangi jalanan yang memacetkan lalu lintas.

Di musim hujan, Jakarta terus dihantui bencana banjir, di musim kemarau justru terjadi kelangkaan air bersih, kekeringan, dan bencana kebakaran.

Pembenahan angkutan transportasi publik yang lamban dan ketidaksesuaian pembangunan kota terhadap penataan ruang membuat kemacetan lalu lintas semakin parah, menguras waktu, tenaga, dan bahan bakar. Peningkatan pencemaran udara menyesakkan dada, iritasi mata, infeksi saluran pernapasan, asma, hingga stres pengguna jalan, terutama para pejalan kaki dan pesepeda.

Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk Jakarta?

Untuk jangka pendek, Pemprov DKI Jakarta harus meningkatkan penanganan pencemaran lingkungan dan mitigasi bencana dalam pengelolaan perkotaan berupa fasilitasi penyusunan peraturan daerah tentang pengelolaan lingkungan, mitigasi bencana, dan pengelolaan sampah, fasilitasi pengembangan kota hijau, serta peningkatan sarana dan prasarana pengendali banjir di perkotaan.

Peningkatan implementasi rencana tata ruang perkotaan dan pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan dilakukan dengan fasilitasi penyusunan peraturan daerah terkait pemberian izin mendirikan bangunan, pengendalian pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030 dan draf Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta 2030 yang sedang disusun dalam pembangunan perkotaan, serta menyiapkan mekanisme bank lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) dan lahan terbangun permukiman masyarakat bawah.

Untuk jangka menengah, kota sebagai pembangkit pertumbuhan yang berkeadilan, layak huni dan berkelanjutan bagi makhluk hidup (manusia, flora, fauna).

Strategi perkotaan berupa kebijakan dan sinkronisasi peraturan, mengurangi kemiskinan, modal sosial dan budaya, kerawanan sosial dan kriminalitas, kelembagaan dan kerja sama antarkota di Jabodetabek, pengembangan ekonomi dan kapasitas fiskal, pelayanan publik, pengendalian pencemaran lingkungan dan mitigasi bencana, penerapan rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, serta peningkatan kapasitas pemerintah kota.

Untuk jangka panjang, kebijakan pembangunan perkotaan diarahkan pada penyeimbangan pertumbuhan antara Jakarta dan Bodetabek, pengendalian pertumbuhan kota-kota di Bodetabek, percepatan pembangunan kota-kota satelit, dan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah Jabodetabek.

Kota Hijau

Konsep dasar pembangunan perkotaan berdasarkan faktor geografis-demografis, ekonomi, fisik, dan sosial-antropologis, dengan prinsip dasar kemandirian, keberlanjutan, kesetaraan dan keadilan, partisipatif, kolaborasi dan sinergi, tata kelola yang baik, serta bertahap dan terukur.

Jakarta harus dibangun menjadi kota hijau yang layak huni (liveable), berdaya saing (smart), dan berkelanjutan (sustainable) dengan delapan indikator sarana dan prasarana, hunian nyaman berbasis tekonologi, sosial dan budaya, daya dukung dan daya tampung lingkungan, responsif dan adaptif bencana dan perubahan iklim, pemerataan pembangunan kota, ekonomi kota yang produktif, inovatif, dan mandiri, peran dan fungsi kota sesuai tipologinya, serta tata kelola pemerintah yang bersih.

Di samping itu, ada delapan atribut kota hijau yakni perencanaan dan perancangan kota berwawasan lingkungan, penyediaan RTH sebesar 30 persen, penerapan bangunan hijau, pembangunan transportasi berkelanjutan, pemanfaatan dan pengembangan energi terbarukan, pengolahan dan pengelolaan sampah ramah lingkungan, pengelolaan dan konservasi air, serta mendukung gerakan komunitas hijau.

Kota hijau adalah kota yang aman, nyaman, dan tenteram sebagai kawasan hunian berbasis lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi. Kebijakan kota hijau berupa meningkatkan kualitas lingkungan kota, menyediakan permukiman dan perumahan yang terjangkau sesuai karakteristik masyarakat lokal, dan memperkuat identitas kota sesuai budaya lokal.

Strategi kota hijau meliputi peningkatan RTH secara kuantitas dan kualitas, pengembangan kawasan terpadu berorientasi dan terintegrasi transportasi massal, peremajaan kawasan kumuh, peningkatan kerja sama dengan dunia usaha dalam penyediaan perumahan yang terjangkau, dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap seni dan budaya lokal.

Indikator keberhasilan kota hijau mencakup variabel sumber daya manusia (harapan hidup), sosial (kriminalitas, kesejahteraan masyarakat), budaya (kegiatan kebudayaan), dan lingkungan (tingkat pencemaran, emisi CO2, kesehatan lingkungan).

Pengembangan kota hijau harus memperhatikan tipologi kota dan kawasan perkotaan. Pemerintah perlu melakukan pemetaan dan sinkronisasi kota dan kawasan perkotaan yang ditangani, membuat peta jalan pelaksanaan kegiatan, serta konsep strategi khusus terhadap pengembangan kota hijau secara penuh dan utuh.

Kota hijau memberikan kesempatan pada semua warga untuk maju, sehat, sejahtera, dan bahagia. Membangun Jakarta menjadi kota hijau bukan suatu pilihan, tetapi sudah menjadi keharusan, sebagai kado terindah bagi kota dan kita. Dirgahayu Kota Jakarta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar