|
KORAN
SINDO, 24 Juni 2013
Akrobat politik
dalam wacana harga bahan bakar minyak (BBM) makin menyadarkan kita pada satu
hal. Kita perlu lebih banyak politisi yang memikirkan kepentingan bangsa dan
negara.
Saya selalu percaya banyak di antara kita orang-orang yang punya komitmen mengangkat martabat dan kesejahteraan rakyat, namun selalu terjebak dalam sistem yang membatasi mereka memunculkan etos tersebut dan terpaksa berputar-putar dalam proses pencitraan diri, kelompok, dan kadang ilusipolitik.
Drama harga BBM pada akhirnya menunjukkan ada kekuatan arus pembatasan pemikiran pada terminologi pengurangan subsidi di satu sisi harus diimbangi dengan pemberian subsidi di sisi lain, dan itu berarti bantuan tunai langsung. Berhenti sampai di sini.
Keributan mengerucut pada bagaimana dan siapa yang selayaknya tampil membagikan bantuan itu. Konteksnya menjadi bukan lagi kesejahteraan masyarakat semata, melainkanmenyadarkanmasyarakat tentang siapa pemberi bantuan, apa partainya, apa warnanya, berapa nomor pilihnya.
Bantuan Langsung Belum Tentu
Mengurangi subsidi pada BBM tak terhindarkan bagi siapa pun yang memahami keuangan dan sumber daya kita. Terus menerus menalangi pemborosan pada akhirnya hanya akan mengarahkan negara pada kesulitan yang lebih parah. Apalagi pemborosan dalam konteks subsidi BBM sangat jelas tak dinikmati masyarakat bawah.
Sangat tidak adil pula bagi masyarakat secara keseluruhan. Penduduk di Indonesia timur dan pedalaman membayar lebih banyak dari penduduk di perkotaan, terutama Jawa, Sumatera, Bali, dan beberapa wilayah tengah. Masyarakat miskin di pedalaman membayar BBM jauh lebih mahal dibanding saudarasaudaranya yang lebih makmur di kota-kota besar. Timbangan keadilan menjadi sangat jomplang. Memanjakan sebagian masyarakat dan membiarkan sebagian lainnya sengsara tentu bukan tujuan politik dan kepentingan negeri ini. Karena itu, pengurangan subsidi BBM mestinya bukan isu.
Pemerataan pembangunan adalah isu. Pemerataan pembangunan pada sudut pemerataan pendapatan dan perimbangan pembiayaan, baik pada dimensi masyarakat maupun dimensi daerah sebagai entitas kewilayahan, jelas bukan otomatis berarti bantuan tunai langsung kepada masyarakat. Pada dasarnya mengurangi subsidi BBM adalah satu hal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah hal yang lain. Menghubungkan keduanya dalam satu paket sangat berisiko memasuki ilusi politik.
Ilusi inilah yang menggelincirkan prilaku pemerintah dan politisi. Bila sudah tersistemasi oleh kepentingan kelompok dan minimnya kebebasan berpendapat dalam kelompok, akibatnya perdebatan berputar hanya pada pemikiran yang telah mengalami pembatasan. Kesan akrobat menjadi tak terhindarkan.
Seolah BBM boleh naik asal dari sana bisa memberi bantuan tunai pada masyarakat. Akrobat adalah sebuah usaha menarik perhatian dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya normal, sering harus melawati batas-batas kemampuan orang kebanyakan, namun yang tidak normal itu menjadi normal dalam komunitas akrobat. Demikianlah akhirnya masyarakat menerjemahkan prilaku politisi.
Melahirkan apatisme dan meningkatkan ketidakpercayaan rakyat. Masyarakat sendiri tak terlihat sepenuhnya senang dengan bantuan tunai langsung. Tak terdengar sambutan yang meriah terhadap rencana itu. Masyarakat lebih mengkhawatirkan kenaikan harga BBM. Bila dapat memilih, tampaknya masyarakat memilih BBM tidak naik. Namun, tentu saja pilihan lebih banyak pada BBM tidak naik, bantuan langsung tetap jalan.
Kesejahteraan Rakyat
Logika pilihan terakhir itu tak sepenuhnya salah atau sekadar lelucon. Masyarakat berhak terus menerus mendapat bantuan pemerintah. Untuk itulah, negara diadakan agar rakyat makmur. Untuk itu pula, pemerintah dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana tercantum dalam Preambule UUD 1945.
Ada atau tidak ada pengurangan subsidi BBM, rakyat berhak mendapat bantuan terus menerus. Bantuan tunai langsung salah satu bentuk bantuan. Namun, bantuan yang ditetapkan konstitusi kita bukanlah bantuan sementara yang bersifat hiburan retorika politik. Tapi, bantuan pelayanan menyeluruh yang membangun negeri ini. Bantuan tunai sementara dalam konteks ini dapat menjadi kontraproduktif terhadap amanat konstitusi.
Memberi hiburan kepada jutaan orang dalam jumlah kecil untuk hitungan bulan yang sedikit, lalu kemudian membiarkan mereka kembali menghadapi kenyataan bahwa mereka lebih miskin dari sebelumnya. Harga kebutuhan telah lebih tinggi dibanding sebelum dapat bantuan. Ini dapat dipandang memberi ilusi lain pada masyarakat miskin. Mungkin menghibur elite politik dan mungkin pula dipandang dapat menjadi tindakan populer meredam kekecewaan masyarakat.
Bermanfaat dalam pemilu mendatang. Namun, sesungguhnya tidak sejalan dengan semangat amanat konstitusi. Bantuan terus menerus yang sesuai amanat konstitusi adalah usaha substantif berkesinambungan yang mampu membuat rakyat meningkat kehidupannya dari satu tahap ke tahap lain dan tidak kembali ke tahap semula.
Pengurangan subsidi pada satu komponen barang kebutuhan banyak orang yang dikelola pemerintah seharusnya berdampak peningkatan taraf hidup kepada lebih banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Tujuannya ialah menyeimbangkan anggaran yang berdampak langsung pada keseimbangan kesejahteraan masyarakat, kebutuhan publik, dan selanjutnya kemakmuran secara umum.
Berpegang pada konstitusi merupakan jalan paling efektif terhindar dari akrobat politik dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Politisi mendatang mesti lebih serius mengambil jalan ini. Belajar dari sikap negatif pemerintah dan sebagian politisi saat ini, sebagaimana yang tercermin pada akrobat harga BBM, yang bahkan telah melanggar prosedur amanat konstitusi untuk melibatkan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Pembahasan itu berjalan dan disahkan tanpa kehadiran DPD, mencerminkan kondisi politik yang tidak mengindahkan landasan utama hukum tata negara. Dapat dipahami bila hasilnya memang terasa bagai akrobat. ●
Saya selalu percaya banyak di antara kita orang-orang yang punya komitmen mengangkat martabat dan kesejahteraan rakyat, namun selalu terjebak dalam sistem yang membatasi mereka memunculkan etos tersebut dan terpaksa berputar-putar dalam proses pencitraan diri, kelompok, dan kadang ilusipolitik.
Drama harga BBM pada akhirnya menunjukkan ada kekuatan arus pembatasan pemikiran pada terminologi pengurangan subsidi di satu sisi harus diimbangi dengan pemberian subsidi di sisi lain, dan itu berarti bantuan tunai langsung. Berhenti sampai di sini.
Keributan mengerucut pada bagaimana dan siapa yang selayaknya tampil membagikan bantuan itu. Konteksnya menjadi bukan lagi kesejahteraan masyarakat semata, melainkanmenyadarkanmasyarakat tentang siapa pemberi bantuan, apa partainya, apa warnanya, berapa nomor pilihnya.
Bantuan Langsung Belum Tentu
Mengurangi subsidi pada BBM tak terhindarkan bagi siapa pun yang memahami keuangan dan sumber daya kita. Terus menerus menalangi pemborosan pada akhirnya hanya akan mengarahkan negara pada kesulitan yang lebih parah. Apalagi pemborosan dalam konteks subsidi BBM sangat jelas tak dinikmati masyarakat bawah.
Sangat tidak adil pula bagi masyarakat secara keseluruhan. Penduduk di Indonesia timur dan pedalaman membayar lebih banyak dari penduduk di perkotaan, terutama Jawa, Sumatera, Bali, dan beberapa wilayah tengah. Masyarakat miskin di pedalaman membayar BBM jauh lebih mahal dibanding saudarasaudaranya yang lebih makmur di kota-kota besar. Timbangan keadilan menjadi sangat jomplang. Memanjakan sebagian masyarakat dan membiarkan sebagian lainnya sengsara tentu bukan tujuan politik dan kepentingan negeri ini. Karena itu, pengurangan subsidi BBM mestinya bukan isu.
Pemerataan pembangunan adalah isu. Pemerataan pembangunan pada sudut pemerataan pendapatan dan perimbangan pembiayaan, baik pada dimensi masyarakat maupun dimensi daerah sebagai entitas kewilayahan, jelas bukan otomatis berarti bantuan tunai langsung kepada masyarakat. Pada dasarnya mengurangi subsidi BBM adalah satu hal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah hal yang lain. Menghubungkan keduanya dalam satu paket sangat berisiko memasuki ilusi politik.
Ilusi inilah yang menggelincirkan prilaku pemerintah dan politisi. Bila sudah tersistemasi oleh kepentingan kelompok dan minimnya kebebasan berpendapat dalam kelompok, akibatnya perdebatan berputar hanya pada pemikiran yang telah mengalami pembatasan. Kesan akrobat menjadi tak terhindarkan.
Seolah BBM boleh naik asal dari sana bisa memberi bantuan tunai pada masyarakat. Akrobat adalah sebuah usaha menarik perhatian dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya normal, sering harus melawati batas-batas kemampuan orang kebanyakan, namun yang tidak normal itu menjadi normal dalam komunitas akrobat. Demikianlah akhirnya masyarakat menerjemahkan prilaku politisi.
Melahirkan apatisme dan meningkatkan ketidakpercayaan rakyat. Masyarakat sendiri tak terlihat sepenuhnya senang dengan bantuan tunai langsung. Tak terdengar sambutan yang meriah terhadap rencana itu. Masyarakat lebih mengkhawatirkan kenaikan harga BBM. Bila dapat memilih, tampaknya masyarakat memilih BBM tidak naik. Namun, tentu saja pilihan lebih banyak pada BBM tidak naik, bantuan langsung tetap jalan.
Kesejahteraan Rakyat
Logika pilihan terakhir itu tak sepenuhnya salah atau sekadar lelucon. Masyarakat berhak terus menerus mendapat bantuan pemerintah. Untuk itulah, negara diadakan agar rakyat makmur. Untuk itu pula, pemerintah dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana tercantum dalam Preambule UUD 1945.
Ada atau tidak ada pengurangan subsidi BBM, rakyat berhak mendapat bantuan terus menerus. Bantuan tunai langsung salah satu bentuk bantuan. Namun, bantuan yang ditetapkan konstitusi kita bukanlah bantuan sementara yang bersifat hiburan retorika politik. Tapi, bantuan pelayanan menyeluruh yang membangun negeri ini. Bantuan tunai sementara dalam konteks ini dapat menjadi kontraproduktif terhadap amanat konstitusi.
Memberi hiburan kepada jutaan orang dalam jumlah kecil untuk hitungan bulan yang sedikit, lalu kemudian membiarkan mereka kembali menghadapi kenyataan bahwa mereka lebih miskin dari sebelumnya. Harga kebutuhan telah lebih tinggi dibanding sebelum dapat bantuan. Ini dapat dipandang memberi ilusi lain pada masyarakat miskin. Mungkin menghibur elite politik dan mungkin pula dipandang dapat menjadi tindakan populer meredam kekecewaan masyarakat.
Bermanfaat dalam pemilu mendatang. Namun, sesungguhnya tidak sejalan dengan semangat amanat konstitusi. Bantuan terus menerus yang sesuai amanat konstitusi adalah usaha substantif berkesinambungan yang mampu membuat rakyat meningkat kehidupannya dari satu tahap ke tahap lain dan tidak kembali ke tahap semula.
Pengurangan subsidi pada satu komponen barang kebutuhan banyak orang yang dikelola pemerintah seharusnya berdampak peningkatan taraf hidup kepada lebih banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Tujuannya ialah menyeimbangkan anggaran yang berdampak langsung pada keseimbangan kesejahteraan masyarakat, kebutuhan publik, dan selanjutnya kemakmuran secara umum.
Berpegang pada konstitusi merupakan jalan paling efektif terhindar dari akrobat politik dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Politisi mendatang mesti lebih serius mengambil jalan ini. Belajar dari sikap negatif pemerintah dan sebagian politisi saat ini, sebagaimana yang tercermin pada akrobat harga BBM, yang bahkan telah melanggar prosedur amanat konstitusi untuk melibatkan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Pembahasan itu berjalan dan disahkan tanpa kehadiran DPD, mencerminkan kondisi politik yang tidak mengindahkan landasan utama hukum tata negara. Dapat dipahami bila hasilnya memang terasa bagai akrobat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar