|
KOMPAS,
24 Juni 2013
Rasa haru selalu muncul ketika membicarakan
nasib wayang. Pengakuan UNESCO atas wayang sebagai world heritage adalah
penghiburan bagi kita, di tengah berbagai ironi yang mengepung kehidupan
wayang.
Selalu ada paradoks dalam eksistensi wayang.
Di satu sisi, wayang dilestarikan agar tetap eksis. Di sisi lain, terjadi
"pembekuan" berupa ’politik pembiaran’ atas keterdesakan wayang.
Bangsa kita meyakini wayang memiliki fungsi
(1) spiritual: terkait sistem keyakinan atas hubungan vertikal (2) budaya:
sumber inspirasi nilai dan (3) sosial: perekat masyarakat.
Namun, wayang dibiarkan bertarung sendirian
melawan budaya global. Dalam pertempuran yang sangat tidak seimbang itu, wayang
terdesak ke pinggiran. Sementara budaya massa dan budaya global yang dipompa
kekuatan modal, teknologi dan jaringan kuat, justru diberi ruang melucuti memori
dan keyakinan publik atas budaya lokal.
Meskipun secara retorik negara mengaku
menjunjung budaya, ternyata proteksi masih kurang untuk budaya lokal termasuk
wayang, baik dalam bentuk regulasi maupun politik anggaran. Berbagai keluhan
nyaring kita dengar, betapa negara sangat ’kikir’ memberi anggaran untuk
melestarikan dan mengembangkan wayang.
Oleh karena itu, sangat mengharukan melihat
keteguhan, kegigihan kerja keras para pelaku wayang mempertahankan dan
mengaktualisasi nilai-nilai tradisi dalam segala keterbatasan.
Negara abai
Para penyelenggara negara (legislatif,
eksekutif dan yudikatif) masih terjebak dalam pola pikir pragmatis, apa yang
berguna itulah yang dianggap benar. Maka, mereka cenderung memprioritaskan
langkah-langkah beraroma material (uang). Wayang yang tidak secara langsung
memberi manfaat, diabaikan.
Para penyelenggara negara lupa, budaya
(termasuk wayang) adalah investasi nilai-nilai suatu bangsa. Nilai-nilai
bekerja membentuk perilaku, berbasis etika-moral dan etos, dan melandasi perkembangan
peradaban.
Budaya lokal, termasuk wayang, dipuja-puja
dalam retorika, namun setelah itu dilupakan. Praktik-praktik kenegaraan,
cenderung menguntungkan budaya global yang sangat kapitalistik. Mereka bukan
bertindak sebagai negarawan, melainkan lebih sebagai mediator kekuatan asing.
Mereka baru mencak-mencak ketika kekayaan budaya lokal diklaim oleh bangsa
asing.
Kita membutuhkan para pemimpin yang memiliki
visi kebudayaan. Visi yang meletakkan ide-ide, nilai-nilai lokal dan berbagai
tradisi yang tumbuh dan berakar di bumi sendiri sebagai pijakan penting dalam
mengarungi kehidupan modern yang serba pragmatis. Kita tidak membutuhkan
pemimpin yang terobsesi pada pencitraan diri.
Generasi muda dan inovasi
Kreativitas dan inovasi dalam tradisi wayang
tidak pernah mandek. Para dalang, para kreator wayang sebenarnya gigih
menciptakan berbagai terobosan agar wayang hadir secara aktual dan relevan
dengan tantangan zaman. Ada wayang ukur, wayang wahyu, wayang kancil, wayang
digital, wayang layar lebar, wayang pakeliran padat, wayang suket, wayang padi,
wayang srawung dan lainnya.
Seluruh upaya kreatif itu merupakan kerja
keras kulural demi mendekatkan wayang kepada publik, terutama generasi muda.
Sebab wayang bisa bertahan hidup jika memiliki pemangku kepentingan yang besar
dan kuat.
Generasi muda umumnya hidup dalam masa
pertumbuhan dan pencarian identitas diri. Generasi ini secara sosial-dan
kultural dapat dibedakan menjadi tinggal di desa dan di kota.
Mereka yang tinggal di desa cenderung lebih
dekat dengan budaya tradisional/budaya lokal. Sebaliknya yang tinggal di kota
cenderung lebih dekat budaya massa/budaya populer.
Wayang, sebagai bagian dari budaya lokal,
relatif dekat dengan generasi muda yang tinggal di desa. Sejak kecil mereka
akrab dengan narasi, tokoh dan pesan sosial wayang. Mereka relatif masih berasa
di dalam kultur dan tradisi wayang.
Kondisinya berbeda dengan generasi muda yang
tinggal di kota. Mereka lebih menyukai narasi-narasi, ikon-ikon dan
sensasi-sensasi budaya massa yang digelontorkan oleh kekuatan modal, tekonologi
informasi dan jaringan ekonomi yang kuat. Bagi mereka wayang justru kultur
asing yang tidak dipahami. Budaya massa, pragmatisme dan hedonisme. Generasi
muda ini pada umumnya berjarak dengan wayang karena beberapa faktor.
Pertama, bahasa yang digunakan di dalam
wayang dianggap terlalu canggih, rumit, dan bertakik-takik sehingga sulit
dipahami. Bahasa wayang baik sebagai alat komunikasi sosial maupun sebagai cara
berpikir (berfilsafat) dianggap terlalu berat.
Kedua, cerita dan pesan sosial dalam
pergelaran wayang cenderung berat (penuh renungan atau bobot filosofis) untuk
diserap, dipahami dan dihayati. Bahkan muncul anggapan bahwa lakon dan pesan
wayang hanya untuk para orang tua.
Ketiga, pertunjukan wayang, terutama yang
konvensional, dianggap kurang menarik dan kurang sensasi audio-visualnya.
Keempat, durasi wayang yang terlalu lama,
lebih dari lima jam, kurang sesuai dinamika ketergesaan masyarakat modern.
Kelima, frekuensi pergelaran wayang yang
masih rendah menyebabkan wayang kurang berdaya dalam merebut ruang dan
perhatian anak muda. Bandingkan misalnya dengan pergelaran musik pop, lawak,
sinetron, film dan budaya massa lainnya yang begitu sering hadir baik secara
langsung maupun melalui media komunikasi seperti televisi, internet, radio dan
lain lain.
Alternatif jawaban
Mendekatkan wayang kepada generasi muda
membutuhkan strategi kebudayaan meliputi (1) kebijakan politik, (2) edukasi
yang membangun kultur/tradisi wayang di tengah publik, (3) inovasi wayang, dan
(4) menjadikan wayang sebagai bagian dari ekonomi kreatif bangsa.
Pemerintah bisa memproteksi wayang melalui
regulasi dan politik anggaran. Wayang membutuhkan dukungan kekuasaan agar tetap
kokoh dan menjadi bagian penting kultur bangsa.
Melalui pendidikan baik formal maupun
informal, generasi muda perlu didorong untuk mengapresiasi wayang dengan
mengenal dan mencintai wayang. Dengan edukasi, maka problem yang terkait dengan
bahasa, lakon, pesan sosial dan ajaran wayang mampu diatasi.
Lewat inovasi, bisa muncul karya-karya
pergelaran wayang yang memberi nafas baru, tanpa harus merusak nilai-nilai
dalam wayang. Idealnya, wayang kreatif dan inovatif, bisa bersanding dengan
wayang klasik. Dibutuhkan pelajaran dan pelatihan terkait dengan filosofi,
bahasa, teknik permainan, strategi komunikasi, pesan sosial maupun cara
pengemasan pertunjukan.
Pada era industrial, wayang perlu didorong
untuk memasuki langgam ekonomi kreatif, antara lain denganbersinergi dengan
kekuatan ekonomi, industri, teknologi, seni dan budaya. Kita mengharapkan
wayang mampu menjadi jagat kreatif yang mandiri secara ekonomi: memiliki basis
sosial (penonton), basis ekonomi (pasar) dan basis budaya (orientasi nilai). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar