Senin, 24 Juni 2013

Pascakenaikan Harga BBM

Pascakenaikan Harga BBM
Firmanzah ;   Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
KORAN SINDO, 24 Juni 2013


Krisis ganda, yakni energi dan pangan, menjadi concern dunia pascakrisis zona euro. Akhir 2010 dan awal 2011, dunia mencemaskan krisis ganda tersebut akan semakin menekan pertumbuhan global. 

Lembaga seperti Bank Dunia, ADB, FAO, dan OECD pada awal 2011 hampir bersamaan menyampaikan potensi krisis dan antisipasi masa depan atas kesinambungan energi dan pangan. Bagi Indonesia, energi dan pangan merupakan tantangan ganda dan saling terkait satu dengan yang lain. Pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebagai sumber utama energi, tantangan berikutnya adalah mengendalikan lonjakan harga pangan, terlebih jelang puasa dan Lebaran. 

Bank Dunia memaparkan sejumlah faktor yang berpotensi menjadi penyebab krisis pangan di samping perubahan iklim. Pertama, pertumbuhan permintaan pangan di berbagai wilayah untuk komoditas tertentu (misalnya beras di Asia). Kedua, adanya konflik politik yang berdampak pada terganggunya biaya produksi dan melemahnya kebijakan pangan. Ketiga, kenaikan harga input produksi (BBM, pupuk, transportasi) yang berkontribusi pada total harga pokok produksi. 

Khusus mengenai perubahan harga input produksi, sejumlah kajian ilmiah menunjukkan adanya hubungan dan ketergantungan (inter-connection) satu dengan lainnya. Lantaran sifatnya saling berkaitan, misalnya harga pangan dipengaruhi biaya transportasi, sementara biaya transportasi dipengaruhi oleh harga bahan bakar, maka kenaikan harga bahan bakar berpotensi mendorong kenaikan harga komoditas pangan dengan interpretasi yang beragam. 

Di satu sisi kenaikan harga bahan bakar yang mendorong kenaikan harga-harga komoditas pangan bisa merupakan refleksi dari pertumbuhan pendapatan dan daya beli rumah tangga. Di sisi lain, kenaikan ini bisa juga merupakan kebijakan makro yang diambil pembuat kebijakan untuk merespons dinamika lingkungan, termasuk menjaga kesinambungan fiskalnya (fiscal sustainability). 

Pascapengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi, beberapa kalangan mengkhawatirkan tidak terkendalinya harga-harga kebutuhan pokok di pasaran. Secara umum, kenaikan harga BBM bersubsidi untuk kasus Indonesia dapat dibedah dari dua perspektif yang membedakannya dengan kondisi kenaikan harga BBM pada kasus-kasus lain. Perspektif pertama, dari sisi akseptabilitas psikologis yang banyak dibahas dalam disiplin ilmu perilaku. 

Pengalaman historis Indonesia menunjukkan titik psikologis pasar berada dalam tingkat akseptabilitas yang memadai mengingat harga Rp6.000 per liter pernah diberlakukan sebelumnya dengan resistensi minimum. Perspektif kedua, kebijakan subsidi sebagai salah satu bentuk intervensi negara dalam merespons market failure hanya akan bermanfaat jika dialokasikan secara tepat (sasaran dan waktu). 

Untuk subsidi BBM di Indonesia, sebesar hampir 90% subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu (nontarget). Adapun masyarakat miskin hanya menikmati kurang lebih 12% subsidi BBM. Dengan dua perspektif ini, kebijakan subsidi untuk BBM perlu disesuaikan dan direalokasi pada kebutuhan masyarakat miskin lainnya. 

Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), lembaga di bawah naungan PBB untuk urusan kebijakan makro, penanganan kemiskinan, dan pembangunan inklusif, merekomendasikan sejumlah langkah antisipatif dalam merespons inflasi, khususnya ketika volatilitas harga komoditas terjadi. Pertama, mendorong produktivitas agrikultural melalui revolusi hijau berbasis knowledge-intensive. Kedua, quick global response; dinamika global dan guncangan-guncangan ekonomi global perlu direspons cepat khususnya terkait dengan penyiapan sistem peringatan dini (early warning system), termasuk ketika terjadi volatilitas harga pangan dunia. 

Yang ketiga, melakukan intervensi melalui kebijakan perlindungan sosial (social protection policies) sebagai bentuk perlindungan negara kepada kelompok masyarakat miskin yang rentan terhadap perubahan harga. Baru-baru ini, Bank Dunia merevisi turunnya pertumbuhan global sekaligus menyampaikan empat risiko ekonomi baru yang dihadapi negaranegara berkembang. 

Pertama, efek pelonggaran fiskal (fiscal relaxation) dan kebijakan moneter di Jepang. Terdepresiasinya yen sebesar 21% sejak September 2012 dan overheating di Asia Timur memberi tekanan daya saing produk negaranegara berkembang di pasar ekspor yang head-to-head dengan produk Jepang. Kedua, menurunnya harga komoditas industri dunia (seperti mineral, tambang, energi) yang jauh lebih cepat dari perkiraan semula. Penurunan ini berdampak pada risiko merosotnya nilai ekspor komoditas negaranegara berkembang dan berpotensi menekan ruang fiskal. 

Ketiga, dinamika ekonomi domestik seperti tekanan inflasi dan penggelembungan (bubbles) harga aset serta penurunan pertumbuhan ekonomi. Keempat, quantitative easing di Amerika Serikat berdampak pada meningkatnya biaya utang yang kemudian menekan ruang fiskal. Garcia & Dana (2012) dalam publikasinya menjelaskan skenario dan mekanisme harga komoditas berimplikasi pada ekonomi makro melalui dua jalur (two path mechanism). 

Pertama, harga yang mengikuti mekanisme pasar di mana tambahan biaya ditanggung konsumen akhir. Pada skenario ini, dampak terhadap ekonomi makro berupa inflasi (jangka pendek jika daya beli menguat, jangka panjang jika daya beli melemah), mendorong daya saing, dan perbaikan terms of trade. 

Kedua, harga yang mendapat intervensi negara adalah melalui subsidi dengan tambahan biaya ditanggung negara. Struktur ini berimbas pada kebijakan anggaran negara dan keseimbangan fiskal (fiscal balance). Hampir sebagian besar negara, khususnya negara berkembang, mengadopsi kedua jalur ini melalui kombinasi dengan porsi yang bervariasi tergantung, baik dari sisi kapasitas fiskal maupun dari sisi daya beli konsumen. 

Bagi Indonesia, menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan quick response atas dinamika global dan menghadapi risiko ekonomi global. Konsekuensi logis dari kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi ini tentunya berimbas pada kenaikan beberapa komoditas, baik langsung maupun tidak langsung. Terdapat korelasi positif yang kuat antara kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap harga komoditas lainnya dan hubungannya bersifat linear. 

Namun linearitas hubungan ini dapat dimitigasi melalui sejumlah kebijakan lain seperti yang dilakukan banyak negara, baik dari sisi fiskal maupun moneter. Untuk yang terakhir, BI telah menyesuaikan BI Rate menjadi 6% sebagai antisipasi meredam laju inflasi. Pascapengumuman kenaikan harga BBM subsidi, sejumlah langkah antisipatif dilakukan sebagai kebijakan turunan seperti menjaga stabilitas harga dengan menyiapkan stok pangan secara memadai. 

Hargaharga kebutuhan pokok terus dipantau untuk menghindari terjadinya aksi-aksi spekulan yang memanfaatkan momentum ini. Namun bila terjadi spekulasi harga, operasi pasar dilakukan sehingga tekanan spekulasi dapat diturunkan. Di sektor transportasi, koordinasi dengan pengusaha transportasi juga intensif dilakukan untuk tidak menaikkan ongkos transportasi melewati batas psikologi pasar (tidak lebih besar dari 10–15%). 

Keran impor untuk produk seperti daging sapi, kedelai, dan gandum dalam jangka pendek merupakan solusi. Sementara dalam jangka panjang penataan tata niaga, jalur distribusi bahan pangan, peningkatan produksi dan cadangan pangan nasional perlu terus kita tingkatkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar