|
KOMPAS,
24 Juni 2013
Nafsu politik menyongsong Pemilihan Umum
2009-lah yang membuat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan harga
Premium sampai tiga kali dalam rentang waktu yang sangat singkat, dua kali pada
Desember 2008 dan sekali pada Januari 2009. Tiga kali penurunan harga itu
membuat harga Premium yang sudah sempat bertengger pada Rp 6.000 per liter
kembali ke posisi harga pada Oktober 2005 sebesar Rp 4.500 per liter.
Padahal, subsidi bahan bakar minyak (BBM)
melonjak dari Rp 84 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp 139 triliun pada tahun
2008. Subsidi BBM memang turun tajam pada tahun 2009 karena tertolong
kemerosotan harga minyak dunia dari sekitar 140 dollar AS per barrel pada tahun
2008 menjadi di bawah 70 dollar AS per barrel pada awal tahun 2009.
Namun, setelah itu harga minyak dunia
berangsur naik kembali ke kisaran 90 dollar AS per barrel hingga 110 dollar AS
per barrel. Karena harga Premium bersubsidi dipertahankan pada harga Rp 4.500
per liter, tak ayal subsidi serta-merta kembali melonjak, dari Rp 45 triliun
tahun 2009 menjadi Rp 82 triliun pada tahun 2010. Setahun berikutnya, subsidi
BBM menggelembung dua kali lipat menjadi Rp 166 triliun dan pada tahun 2012
telah menembus Rp 200 triliun.
Tanpa kenaikan harga BBM bersubsidi, anggaran
untuk subsidi BBM bakal kian tak terkendali, mendekati Rp 300 triliun. Defisit
APBN bakal terkerek mendekati 4 persen dari PDB, padahal Undang-Undang Keuangan
Negara hanya membolehkan defisit maksimum 3 persen dari PDB.
Dari gambaran di atas, jelas perombakan total
asumsi-asumsi APBN dipicu pembengkakan subsidi BBM dan akibat-akibat yang
menyertainya. Pemerintah mengambil keputusan tatkala tidak lagi ada pilihan
setelah bertahun-tahun membiarkan pemburukan makroekonomi mencapai titik yang
sudah mengkhawatirkan.
Akibatnya sangat pahit. Postur APBN-P 2013
lebih buruk ketimbang APBN 2013. Meskipun harga BBM bersubsidi telah dinaikkan,
subsidi BBM masih lebih besar pada APBN-P 2013 dibandingkan dengan APBN 2013,
masing-masing Rp 200 triliun dan Rp 194 triliun. Defisit APBN pun
relatif jauh lebih besar dari 1,7 persen PDB di APBN 2013 menjadi 2,4 persen PDB di APBN-P 2013. Akibatnya, pemerintah harus berutang lebih banyak, yang notabene sebagian tambahan utang ini digunakan untuk menopang peningkatan konsumsi tak produktif. Generasi mendatanglah yang akan menanggung beban tambahan utang tersebut.
relatif jauh lebih besar dari 1,7 persen PDB di APBN 2013 menjadi 2,4 persen PDB di APBN-P 2013. Akibatnya, pemerintah harus berutang lebih banyak, yang notabene sebagian tambahan utang ini digunakan untuk menopang peningkatan konsumsi tak produktif. Generasi mendatanglah yang akan menanggung beban tambahan utang tersebut.
Kenaikan harga BBM subsidi dilakukan ketika
nilai tukar rupiah telah menembus Rp 10.000 di pasar spot dan indeks harga
saham terpuruk 11 persen dalam tiga minggu terakhir. Sementara itu, akun semasa
(current account) berbalik dari surplus sebesar 1,7 miliar dollar AS pada tahun
2011 menjadi defisit sebesar 24,2 miliar dollar AS pada tahun 2012. Defisit
akun semasa diperkirakan masih tetap menganga hingga akhir tahun 2013.
Akibat tersandera BBM, target rencana
pembangunan jangka menengah (RPJM) kian jauh dari kenyataan. Pertumbuhan
ekonomi tahun 2013 pada APBN-P 2013 dipatok hanya 6,3 persen, jauh lebih rendah
dari target RPJM sebesar 7,3 persen.
Kita pun tak melihat ada kesungguhan untuk
meningkatkan target penerimaan pajak. RPJM menargetkan nisbah pajak (tax ratio) tahun 2013 sebesar 16,1
persen. APBN 2013 hanya mencantumkan nisbah pajak sebesar 12,9 persen. Hampir
bisa dipastikan, realisasinya bakal lebih rendah.
Masyarakat juga pantas kecewa karena tak ada
upaya untuk mereformasi tata niaga impor BBM. Menteri BUMN pernah sesumbar akan
membubarkan Petral, anak perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura, yang
ditengarai memperpanjang mata rantai impor minyak sehingga harga pokoknya lebih
mahal.
Tak ada inisiatif dari pemerintah dan desakan
dari DPR untuk mengaudit keterlibatan para calo minyak yang membuat harga pokok
BBM lebih tinggi dari yang sepatutnya. Pemerintah dan DPR tak pula
mempertanyakan mengapa kita membeli minyak mentah yang lebih mahal sebagaimana
tercermin dari ICP yang selalu lebih tinggi ketimbang harga WTI crude oil.
Sampai kapan pemerintah dan DPR membiarkan
para calo minyak leluasa berburu rente sehingga menggerogoti keuangan negara
dan daya beli rakyat? Pantas sementara kalangan curiga ada oknum-oknum di dalam
kekuasaan turut menikmati rente minyak yang dilakoni para calo ini.
Rasa keadilan masyarakat kian terusik karena
APBN-P 2013 masih saja mengalokasikan dana untuk lumpur Lapindo yang sejatinya
ditanggung oleh siapa pun yang melakukan kejahatan korporasi. Sudah berapa
banyak dana rakyat yang tersedot untuk penanganan bencana lumpur Lapindo?
Sudahkah korporasi yang bertanggung jawab memenuhi kewajibannya? Jika
pengadilan telah memutuskan peristiwa lumpur Lapindo sebagai bencana nasional,
mengapa tak ada upaya banding?
Jika rasa keadilan masyarakat kian terusik,
sebaik apa pun langkah-langkah teknis pemerintah untuk menyelamatkan
perekonomian, niscaya penolakan bakal semakin keras.
Kesempatan kembali terlewati. Sudah puluhan
tahun pemerintah secara konsisten terus melakukan kesalahan, sebagaimana pernah
ditulis Anne Booth dalam bukunya yang terbit pada tahun 1998 berjudul The Indonesian Economy in the Nineteenth and
Twentieth Century: A History of Missed Opportunities.
Saatnya kini untuk memutus rantai sejarah
kelam pengelolaan ekonomi agar kita tak masuk ke middle-income trap. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar