|
KOMPAS,
24 Juni 2013
Sepanjang 13 tahun desentralisasi, laju
pertambahan daerah otonomi di negeri ini berlangsung kencang. Kelahiran
unit-unit baru pemerintahan di level lokal itu dihasilkan mesin pemekaran yang
nyaris tidak kenal jeda. Kalau pada akhir Orde Baru (1998) hanya ada 319
daerah, hari ini kita memiliki 539 (34 provinsi, 505 kabupaten/kota) daerah
otonom, termasuk 19 daerah otonom baru yang muncul di penghujung 2012 hingga
awal Juni 2013.
Sebagian pihak melihat pemekaran ini sebagai
patologi, bahkan faktor negatif, dalam gerak maju otonomi. Pemekaran kerap
berbiaya sosial tinggi dan rakus memakan anggaran. Pada tahun 2010 saja,
tercatat Rp 48 triliun dana alokasi umum digelontorkan ke daerah otonom baru
(DOB). Belum lagi, alokasi dana alokasi khusus (DAK), dana vertikal, dan
sebagainya.
Hasil dan dampaknya bagi kemajuan daerah dan
kualitas hidup rakyat malah jauh panggang dari api: 80 persen daerah itu gagal
menghadirkan kesejahteraan minimum (hasil evaluasi pusat). Ironisnya, elite
pemburu kuasa dan rente ekonomi bertambah makmur. Ibarat pesta pora, pemekaran
membuat semua orang bahagia, kecuali rakyat!
Bukan opsi tunggal dan final
Penulis sepakat dengan tipologi masalah di
atas dan berbagai eksplorasi lain yang sudah sering kita dengar selama ini.
Namun, tidak ada sikap hitam-putih, total menolak atau menerima.
Sikap yang mencadangkan ruang bagi pemekaran
ini terkait dengan pembacaan bahwa meski sebagian masalah yang ada terkait
esensi pemekaran, porsi besarnya lebih banyak sebagai ekses: entah karena
politik atau disebabkan oleh mismanajemen kebijakan. Sebagian DOB menunjukkan
sinyal maju, yang meskipun memang bukan khas pemekaran, kebijakan itu membuka
momentum bagi kapitalisasi pengaruh faktor struktural dan kepemimpinan bagi
akselerasi kemajuan daerah.
Dengan meyakini pemekaran masih patut
dipertimbangkan (selektif) sebagai rute alternatif kemajuan, tulisan ini hendak
mengajukan tiga poin inti untuk menata ulang kerangka kebijakan. Tanpa
perubahan mendasar, pemekaran senantiasa rentan dibajak para elite—suatu
deviasi kebijakan yang selama ini membuat sebagian DOB sudah gagal sejak
lahir karena memang proses pemekarannya sendiri cacat (sindrom gagal-bawaan).
Pertama, rasionalitas kebijakan mesti ditarik
dalam siklus mundur. Selama ini, kita menjadikan pemekaran sebagai titik
pangkal: bertolak dari sana, kemudian diproyeksikan capaian hasil (output),
dampak (outcome) dan manfaat (benefit). Siklus konvensional demikian telah
menjebak kita menjadikan pemekaran sebagai prasyarat menuju fase-fase
berikutnya, dan seolah tanpa pemekaran semua itu sulit terwujud (pemekaran
harga mati!). Di tangan para pemburu kuasa dan rente, siklus ini dimanipulasi
dalam jargon/klaim ideal-normatif, membungkus motif picik mereka yang
menjadikan pemekaran tak lebih sekadar ”pemekaran” itu sendiri (mekar jabatan dan
eselon birokrasi, mekar proyek perkantoran baru, dan alat barter politik antara
pemerintah dan DPR).
Karena itu, selain bertujuan meredam motif
ekonomi-politik, siklus mundur itu patut dibuat untuk membangun rasionalitas
kebijakan. Simulasinya, kalau sejahtera (benefit) itu dianggap ultimate jangka
panjang dan sulit diukur secara cepat, kita bisa menjadikan kriteria yang lebih
instrumentalis, yakni perbaikan pelayanan publik (outcome) sebagai titik ujung
untuk ditarik maju ke output hingga proses, input, dan prasyarat. Haruskah
perbaikan layanan itu mensyaratkan kehadiran suatu daerah baru agar problem
distribusi teratasi, kapasitas negara memproduksi barang publik meningkat,
rentang kontrol lebih pendek? Pertanyaan ini menjurus ke suatu kritik fundamental
karena pendekatan teritorial-reform berupa pemekaran tidak selalu menjadi titik
tolak (pilihan).
Suatu pendekatan yang lebih masuk akal dalam
melihat problem layanan publik akan memberi eksplanasi: hadirnya negara (berupa
kapasitas produksi dan distribusi barang publik) tidak selalu mensyaratkan
eksistensi unit teritorial baru. Pelayanan publik itu bertujuan untuk melayani
masyarakat (publik), bukan tunduk kepada keberadaan pemerintahan. Suatu rumah
sakit berkelas hebat wajib didirikan karena tingkat permintaan masyarakat
memang tinggi (kondisi kesehatan parah), entah letaknya dekat atau jauh dari
ibu kota. Mengapa klasifikasi kelas rumah sakit, instalasi infrastruktur, mesti
selalu mengikuti logika level pemerintahan, dan bukan derajat kebutuhan masyarakat
yang dilayaninya? Sesat logika demikian yang membuat orang berjibaku
memperjuangkan DOB atau merebut lokasi ibu kota karena hanya dengan cara itu
negara hadir ke dekat mereka.
Kedua, kerangka pemekaran yang selektif
dibuat tidak terutama karena faktor potensi, tetapi sisi urgensi. UU No 32
Tahun 2004 dan PP No 78 Tahun 2007 jelas hanya memfasilitasi potensi:
keterpenuhan syarat administrasi, teknis dan fisik; terlepas dari inkonsistensi
selama ini karena dominannya kepentingan DPR sebagai pintu usulan ataupun saat
proses legislasi lewat manipulasi kriteria. Dengan mengedepankan sisi urgensi,
sejumlah wilayah perbatasan dengan negara lain, misalnya, patut dipikirkan
pemekarannya lantaran pertimbangan strategis: garda depan pertahanan. Mungkin
tidak cukup potensial, tetapi tanpa pemekaran akan sulit sosok negara hadir
berupa pendirian kantor polda/polres, korem, atau pranata sipil lainnya
sehingga basis pertahanan lemah. Pertimbangan strategis-nasional ini nyaris
tidak menyifatkan politik kewilayahan kita yang lebih didominasi kebutuhan
lokal.
Ketiga, dalam konteks penataan teritorial,
pemekaran bukan pilihan tunggal dan final. Selama ini, pemerintah memainkan
politik pembiaran. DPR serupa pula: royal membuat UU pemekaran (fungsi
legislasi), tetapi tidak melakukan pengawasan (fungsi kontrol) atas kinerja DOB
sebagai produk kebijakannya. Kalau memang 80 persen gagal, mengapa keran
pemekaran tetap dibuka, menghapus moratorium? Apa saja program teknis untuk
memfasilitasi penguatan kapasitas DOB agar naik kelas? Mengapa pula tidak ada
keputusan politik melikuidasi dan menggabungkan daerah yang memang sulit naik
kelas atau masuk kotak gagal? Mendagri yang abai sisi teknis dan Presiden yang
lemah sikap politiknya hanya memberikan pesan buruk bahwa mekar itu harga mati,
DOB itu final, pusat toh tidak memberikan sanksi kalau gagal!
Catatan akhir
Pemekaran memang belum menunjukkan bukti
luas/kuat bisa memberi faedah nyata, tetapi mismanajemen kebijakan saat ini
telah membuat retasan jalan ke arah sana nyaris tertutup, bahkan hanya
menghadirkan masalah. Anehnya, biang masalah itu dibiarkan berulang terjadi:
tak kuasa menghentikannya (lewat moratorium), tetapi juga enggan menata ulang
agar sekalian berkapitalisasi secara produktif. Inilah politik pemekaran, suatu
cara para elite membajak instrumen kebijakan dan memanipulasi sumber daya untuk
kepentingan mereka semata. Jenis politik pemekaran seperti ini, yang amat
dominan sepanjang era otonomi, harus ditolak. Rakyat hanya jadi tumbal selama
proses pemekaran dan setelah DOB terbentuk.
Semangat menjadikan pemekaran sebagai rute
alternatif bagi kemajuan daerah dan kualitas hidup rakyat mendorong sejumlah
elemen masyarakat sipil (Pokja Otda) giat mengadvokasi perubahan UU Pemda saat
ini. Suatu ikhtiar yang tak gampang mengingat pemegang otoritas legislasi—DPR
dan pemerintah—justru menjadi pihak yang cenderung memelihara permainan lama
dan zona nyaman yang mereka diami selama ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar