|
SUARA
MERDEKA, 12 Juni 2013
ATMOSFER politik di Republik Turki kembali memanas menyusul
demonstrasi berskala besar secara terus-menerus sejak 31 Mei 2013,
setelah sebelumnya berlangsung dalam skala kecil. Mereka memprotes rencana
pemerintah membangun apartemen dan pusat perbelanjaan di Gezi Park, satu-satunya
lahan terbuka hijau yang masih tersisa di Istanbul.
Protes itu kelanjutan sebelumnya, menyangkut
ketidaksetujuan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, seperti pembatasan (pengetatan)
promo dan penjualan minuman beralkohol, pembangunan bandara ketiga di Istanbul,
jembatan ketiga Bosphorus di atas Selat Istanbul, serta pembangunan kanal yang
menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmara yang dinilai makin memperparah
kerusakan lingkungan di utara kota terbesar di Turki itu.
Namun kekerasan dari aparat kepolisian hingga menewaskan 4
demonstran dan melukai ribuan lainnya itu, menyulut kemarahan warga sehingga
mereka ikut bergabung memprotes pemerintah pimpinan Perdana Menteri (PM) Recep
Tayyip Erdogan.
Kemelut politik Turki berkembang menjadi lebih serius
setelah pengunjuk rasa menolak permintaan maaf Wakil PM Bulent Arinc, dan
demonstrasi merambah ke kota lain, semisal Ankara, Izmir, Mugla, dan Antaly.
Pengunjuk rasa mencakup berbagai kalangan dan profesi: dari dokter, guru,
pekerja seni, buruh pabrik dan tambang, hingga pekerja galangan kapal.
Perkembangan terbaru, pada 9 Juni 2013 ribuan suporter
sepak bola ikut bergabung berunjuk rasa di Taksim Square, episentrum aksi demo
menentang pemerintahan Erdogan yang dianggap antikritik. Tuntutannya pun meluas
sampai pada pembubaran pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve
Kalkinma Partisi/ AKP) berhaluan Islam di bawah PM Erdogan.
Akankah demonstrasi skala besar yang digalang kalangan
sekularis-liberalis tersebut memaksa Erdogan membubarkan pemerintahan dan
menyelenggarakan pemilu dini? Atau, aksi demo itu mengundang militer ''turun
gelanggang'' mengudeta pemerintahan AKP?
Apabila situasi terus memburuk: satu sisi pemerintahan
Erdogan ngotot bertahan, tidak menggubris kritik ataupun tuntutan demonstran,
dan di sisi lain pengunjuk rasa terus melanjutkan demo, tak menutup
kemungkinan militer ''turun gunung'' mengudeta pemerintahan Erdogan. Dengan
dalih menyelamatkan ideologi sekuler negara, militer Turki diperkirakan tak
sungkan terang-terangan memihak demonstran dan bertindak kontrademokrasi dengan
mengudeta pemerintahan sah yang berdasarkan hasil pemilu Juni 2011. Dalam
pemilu dua tahun lalu itu, AKP meraup 326 kursi parlemen (49,9%).
Pemilu
Dini
Sepanjang sejarah Turki modern (sejak 1923), militer di
republik seluas 780.576 km2 itu sudah kali keempat mengudeta pemerintahan
sipil, yaitu tahun 1960, 1971, 1980, dan 1997. Semua dilakukan demi menjaga
amanat konstitusi 1923, khususnya terkait kelangsungan sekularisme negara
warisan pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk.
Erdogan tentu tak menghendaki kemungkinan buruk itu
terjadi. Karenanya, meski berat hati Erdogan diperkirakan membubarkan
pemerintahan sekaligus mengumumkan segera menggelar pemilu dini, terutama jika
demonstran terus menggelar unjuk rasa dalam skala besar.
Kurang lebih sama seperti keputusan yang pernah dilakukan
pada pertengahan 2007, saat menghadapi keputusan kontroversial pengadilan
konstitusi yang membatalkan kemenangan jago AKP Abdullah Gull dalam pemilihan
presiden (pilpres) putaran pertama di parlemen. Keputusan pengadilan konstitusi
kala itu didukung oposisi melalui rangkaian aksi demo yang dimotori partai
sekuler Cumhuriyet Halk Partisi (CHP)
pimpinan Kemal Kilicdaroglu. Dalam pemilu dini yang digelar 22 Juli 2007, AKP
menang cukup telak, meraih 341 kursi legislatif, hampir dua per tiga dari 550
kursi parlemen.
Menggelar pemilu dini bisa mencegah militer bertindak
kontrademokrasi, mengudeta pemerintahan Erdogan. Itulah opsi politik yang
kemungkinan diambil PM Recep Tayyip Erdogan. Terutama bila sampai beberapa hari
ke depan ribuan demonstran terus berunjuk rasa, guna mengakhiri kemelut
politik Turki yang sejatinya merefleksikan kelanjutan pertarungan lama antara
kalangan sekularis versus blok Islamis di negeri yang kini berpopulasi kurang
lebih 76 juta jiwa itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar