|
KOMPAS,
24 Juni 2013
Pembahasan RUU Pilkada antara pemerintah dan
DPR belum menemukan titik temu, di antaranya mengenai mekanisme pemilihan
kepala daerah.
Semula pemerintah mengusulkan gubernur
dipilih oleh DPRD, sedangkan bupati dan wali kota dipilih melalui pemilu. Kini
pemerintah berubah pikiran: gubernur dipilih melalui pemilu, tetapi bupati dan
wali kota dipilih oleh DPRD.
Tujuh fraksi berpandangan semua kepala daerah
dan wakil kepala daerah dipilih melalui pemilu, sedangkan tiga fraksi mendukung
usul pemerintah. Mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah daerah otonom
provinsi, dan kepala daerah dan wakil kepala daerah daerah otonom
kabupaten/kota harus dipilih melalui pemilu?
Pasal 18 Ayat (4), yang mengamanatkan kepala
daerah provinsi dan kepala daerah kabupaten/kota dipilih secara demokratis,
haruslah dipahami dalam kerangka desain kelembagaan negara berdasarkan UUD
1945. Khususnya tentang bentuk negara, susunan negara, bentuk pemerintahan,
sistem pemerintahan daerah, dan proses pemilihan penyelenggara negara lembaga
legislatif dan eksekutif, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pemahaman
itu perlu dilakukan untuk membangun suatu negara yang menempatkan kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD.
Bentuk negara Indonesia adalah republik
sehingga kepala negaranya disebut presiden. Selain bentuk negara yang republik,
RI juga mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial sehingga presiden sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
Menurut UUD 1945, tidak hanya presiden dan
wakil presiden yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, tetapi juga anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota. Susunan negara RI adalah negara kesatuan, tetapi
menjamin otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom provinsi dan daerah otonom
kabupaten/kota. Karena presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan
dipilih melalui pemilu, dan karena anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD
kabupaten/kota juga dipilih melalui pemilu, maka kepala daerah otonom provinsi
dan kepala daerah otonom kabupaten/kota juga harus dipilih melalui pemilu.
Jelas merupakan tindakan yang tak konsisten
dengan bentuk pemerintahan presidensial kalau kepala daerah dipilih oleh
anggota DPRD. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih tepat diterapkan dalam
bentuk pemerintahan parlementer. Sebab, kepala pemerintahan nasional dalam negara
seperti ini juga tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh parlemen.
Jika UUD telah menggariskan keanggotaan DPRD
dipilih oleh rakyat melalui pemilu, maka kepala daerah sebagai mitra DPRD dalam
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang jadi kewenangan daerah otonom
haruslah juga dipilih rakyat secara langsung melalui pemilu. Lebih tidak
konsisten lagi kalau kepala daerah suatu jenis daerah otonom dipilih langsung
oleh rakyat melalui pemilu, sedangkan kepala daerah jenis daerah otonom lainnya
dipilih oleh DPRD.
Berdasarkan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945,
penyelenggaraan pemilihan umum merupakan urusan pusat (dalam hal ini KPU), dan
karena itu anggaran pemilu bersumber dari APBN. Karena pemilihan kepala daerah
juga termasuk pemilu, maka biaya penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil
kepala daerah haruslah bersumber dari APBN.
Salah satu tugas Mahkamah Konstitusi (MK),
menurut Pasal 24C Ayat (1), adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Karena perselisihan hasil pemilu kepala daerah juga merupakan
perselisihan hasil pemilu, maka tidak bisa lain MK-lah yang harus memutus
perselisihan hasil pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kalau pembuat
undang-undang konsisten dengan desain kelembagaan negara menurut UUD 1945, maka
segala improvisasi dan coba-coba hendaknya dihindarkan.
Penuh masalah?
Dua alasan dikemukakan pemerintah untuk
mendukung usulnya agar kepala daerah provinsi dipilih oleh DPRD. Pertama,
jumlah urusan otonomi lebih banyak di kabupaten/kota daripada di provinsi. Kedua,
selain sebagai kepala daerah provinsi, gubernur juga akan diberi kewenangan
sebagai wakil pusat di daerah. Karena itu, pemilihan gubernur oleh DPRD tidak
hanya lebih tepat, tetapi juga lebih efisien.
Kedua argumentasi ini mengandung sesat
berpikir. Kalau jumlah urusan provinsi sedikit, maka solusi atas permasalahan
ini bukan di UU Pilkada, melainkan di UU Pemerintahan Daerah, yaitu menambah
urusan daerah otonom provinsi. Alasan yang menyangkut wakil pusat juga tidak
tepat karena dua hal. Pertama, yang memberikan kewenangan kepada gubernur untuk
juga berperan sebagai wakil pusat di daerah bukan UUD, melainkan UU
Pemerintahan Daerah. Kedua, pemberian tugas tambahan kepada kepala daerah
provinsi tidak dapat menjadi alasan untuk mengubah mekanisme pemilihan dari
pemilu menjadi pemilihan oleh DPRD.
Pemerintah juga berpandangan, pemilihan
bupati dan wali kota tidak melalui pemilu, tetapi oleh DPRD karena terlalu
banyak permasalahan dalam pemilihan bupati dan wali kota melalui pemilu.
Dicontohkan: terlalu mahal, sering terjadi kekerasan, dan terlalu banyak
gugatan hasil pilkada ke MK.
Pilkada mahal? Efisiensi dalam pembiayaan
penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diwujudkan
melalui pemilu lokal serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama dengan
pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepala daerah dan
wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak saja terjadi dalam
honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor pengeluaran
lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal.
Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi
biaya kampanye karena kampanye akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga
partai politik untuk pemilu anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil
kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pengeluaran kampanye yang paling
besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah
berdasarkan UU, melainkan untuk ”sewa perahu” agar dicalonkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih secara langsung
ataupun melalui perantara.
Petahana cenderung menggunakan jabatan untuk
kampanye pribadi? Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua
modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana
bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak
sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan
perundang-undangan lainnya.
Asumsi yang hendaknya dipegang bukan ”manusia
pada dasarnya baik” sehingga tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar
belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk”.
Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong kecenderungan baik dan
mencegah kecenderungan buruk.
Pelaksanaan demokrasi harus berpedoman pada
hukum. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi
anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu
mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.
Timbulkan kekerasan?
Kekerasan di beberapa daerah tidaklah
seluruhnya berkaitan dengan pilkada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan
mengenai fenomena kekerasan di beberapa daerah.
Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya
kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat
saluran yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai
politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal
(mereka terpilih melalui pemilu untuk mewakili warga masyarakat) itulah yang
seharusnya menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang
merisaukan adalah partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi
kekerasan politik di daerah.
Kedua, pemilu merupakan konflik yang
dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang
berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan
kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.
Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah
yang disebut pelembagaan konflik. Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan
tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu
berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang
mungkin belum efektif mencegah kekerasan.
Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada
kepada MK hendaklah dilihat sebagai kesediaan masyarakat menyelesaikan
perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh
karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai
kelemahan, tetapi suatu fenomena positif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar