|
MEDIA
INDONESIA, 12 Juni 2013
MULAI pekan ini, pemerintah membagikan
Kartu Perlindungan Sosial (KPS). KPS merupakan kartu `sakti'. Warga miskin bisa
mencairkan pelbagai bantuan sosial hanya dengan KPS. Tanpa KPS, warga miskin
tidak bisa mengakses bantuan beras (raskin), beasiswa untuk siswa, program
keluarga harapan, dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Tiga
bantuan sosial yang pertama sudah berlangsung lama. Untuk anggaran 2013, warga
miskin sudah menikmatinya sejak awal tahun. Seiring rencana penaikan harga BBM
bersubsidi, ketiga bantuan sosial diperluas. Bersamaan dengan itu, BLSM
dikucurkan. BLSM merupakan skema bantuan yang baru diberikan saat harga BBM
naik.
Di masa lalu, BLSM dinamai Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Saat harga BBM naik pada 2005 dan 2008, salah satu kompensasinya berupa BLT. Besar
BLSM tahun ini mencapai Rp11,6 triliun atau 38,7% dari total kompensasi
penaikan harga BBM (Rp30 triliun). Selama lima bulan berturutturut, sebanyak
15,5 juta rumah tangga miskin sasaran mendapat bagian Rp150 ribu per bulan per
rumah tangga. Bagi warga miskin, pelbagai bantuan itu tentu amat berarti. Di
tengah gerusan inflasi dan tekanan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok,
warga miskin bisa terbebas sejenak dari pusing kepala.
Akan tetapi, seperti halnya balsem atau balsam, efek bantuan
sosial berupa BLSM hanya bersifat amat sementara. BLSM tidak beda dengan obat
pusing yang banyak dijual di warung-warung atau toko kelontong yang hanya
menghilangkan pusing sesaat. Warga miskin akan terobati, tidak akan pusing
selama diberikan bantuan uang tunai Rp150 ribu per bulan. Namun, begitu bantuan
dihentikan, pusing akan kembali lagi. Boleh jadi, pusing yang diderita akan
lebih lama. Warga miskin akan didera pusing berkepanjangan pada bulan keenam,
ketujuh, dan seterusnya.
Mereka benar-benar bakal didera pusing tujuh keliling
karena efek domino penaikan harga BBM bersifat persisten dan berkepanjangan.
Barangkali bukan sebuah kebetulan bila BLSM dibaca atau
diplesetkan menjadi balsam. Cara kerja BLSM mirip balsam. Minyak kental yang
mengandung minyak damar dan minyak asiri itu terasa panas jika digosokkan ke
kulit sebagai obat sakit kepala dan masuk angin (KBBI, 2010). Pada tahap awal,
balsam terasa panas menyegarkan.
Sayangnya, khasiat balsam tidak tahan lama. Efek panas
hanya sementara, kemudian terus menurun, bahkan secara gradual berubah menjadi
dingin. Untuk menghangatkan lagi, balsam harus dioleskan kembali. Tentu dengan
dosis yang lebih tinggi. Ada efek kecanduan. Sama halnya dengan BLSM, juga ada
efek kecanduan berupa ketergantungan.
Antara balsam dan BLSM juga
dipertemukan kesamaan lain: sama-sama hanya mengobati gejala atau simtom, bukan
sumber, apalagi akar (radict)
penyebab penyakit. Akibatnya, begitu efek pengobatan balsam habis, sakit
kembali menyerang. Seperti efek balsam, untuk sementara waktu, BLSM bisa
menghilangkan pusing akibat penaikan harga BBM. Namun, BLSM sama sekali tidak
menyentuh akar penyebab warga miskin pusing: kemiskinan. Sepanjang akar
penyebab kemiskinan tidak disentuh dan dituntaskan, sepanjang itu pula warga
miskin akan tetap berkubang dalam kemiskinan.
Salah kaprah
Mengapa kemiskinan masih berjubel
di negeri ini? Ini tak lain karena pelbagai program antikemiskinan yang
anggarannya mencapai puluhan triliun rupiah itu salah. Pertama, upaya mengatasi
kemiskinan direduksi hanya dari sisi permodalan. Seakan-akan muncul simple truth bahwa modal segalagalanya.
Faktanya, ekonomi rakyat amat lemah dalam keahlian dan keterampilan usaha,
akses dana/modal usaha, dan pemasaran atau informasi.
Kedua, program penanggulangan kemiskinan sering terjebak
pada strategi kail dan ikan. Strategi kail dan ikan perlu didudukkan secara
proporsio nal dalam penanganan kemiskin an. Program antikemiskinan sering kali
memisahkan keduanya. Ini salah besar. Ketiga, program antikemiskinan tak fokus.
Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang tersebar hampir di semua
departemen/lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih, bahkan repetisi program
yang berujung pada penghamburan anggaran.
Keempat, program antikemiskinan belum menyentuh jantung masalah.
Meskipun sudah 68 tahun merdeka, struktur ekonomi Indonesia sampai sekarang
masih dualistis seperti dikenali Boeke pada 1930. Boeke mengemukakan tajamnya
pembagian ekonomi ke dalam sektor tradisional dan sektor modern, yang saat ini
kira-kira sama dengan sektor tradable vs
non-tradable. Dua sektor ini hidup bersama tanpa memiliki kaitan satu sama
lain. Tanpa menyambungkan dua sektor itu kemiskinan akan terus bercokol di
negeri ini.
Di luar itu, BLSM berpotensi memicu konflik sosial di akar
rumput. Pangkal masalahnya adalah rumah tangga sasaran sebesar 15,5 juta
keluarga itu.
Data ini diambil dari Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2011 (PPLS
2011). Data PPLS 2011 cukup baik, tidak anonim, karena mencakup nama dan alamat
calon penerima bantuan sosial.
PPLS menyediakan nama dan alamat 24 juta rumah tangga
dengan kondisi sosial ekonomi terendah dari sekitar 96,7 juta jiwa data yang
dihimpun atau mencakup 42,5% rumah tangga di negeri ini. Karena target BLSM
tahun ini hanya 15,5 juta rumah tangga, berarti tidak semua rumah tangga yang
terdata dalam PPLS jadi penerima BLSM. Apa dasar penentuan 15,5 juta rumah
tangga itu? Mengapa 8,5 juta lainnya tak menerima?
Perlu disadari, kemiskinan itu bersifat dinamis dari waktu
ke waktu. Adanya perbedaan waktu saat data PPLS dikumpulkan (tahun 2011) dengan
implementasi BLSM (tahun 2013) perlu diperhitungkan dengan cermat. Dalam
rentang itu, keluarga yang pindah pasti ada, dari miskin jadi tidak miskin
lagi, atau sebaliknya, dari tidak miskin malah jatuh miskin. Agar tepat
sasaran, pembaruan data harus dilakukan. Ini untuk mencegah munculnya inclusion dan exclusion error dalam penyaluran BLSM. Inclusion error terjadi jika
orang yang seharusnya tidak menerima BLSM justru menerima. Sebaliknya, exclusion error terjadi saat orang yang
harusnya menerima BLSM justru tidak menerima.
Pemerintah harus belajar dari program BLT pada 2005 dan
2008 yang kisruh di sejumlah daerah. Banyak warga yang merasa jauh lebih
miskin, karena itu lebih berhak menerima dana kompensasi, tetapi justru tidak
menikmatinya. Sebaliknya, warga yang menurut ukuran umum berkecukupan justru
kebagian BLT. Ketidakadilan semacam ini mudah meledak menjadi konflik sosial.
Jangan sampai BLSM mengulang kisah yang sama: sudah efek obatnya hanya
sementara, BLSM justru memicu bibit-bibit konflik sosial? Inikah yang
dikehendaki pemerintah? Atau jangan-jangan ini semua di luar perhitungan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar