Kamis, 13 Juni 2013

Pemilu 2014 dan Arah Demokrasi Lokal

Pemilu 2014 dan Arah Demokrasi Lokal
Muhammadun ;   Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 12 Juni 2013


MENJELANG Pemilu 2014, semua mata hanya tertuju pada Jakarta: Senayan dan Istana Negara. Jelas sekali itu sangat menyedihkan karena proses demokratisasi yang dibangun Indonesia bukanlah sekadar Jakarta. Justru, yang harus diberdayakan adalah daerah tertinggal dan terbelakang. Kenapa mata hanya fokus pada Jakarta? Karena arus politik selama ini diputar dan dipusatkan dalam lingkaran Jakarta.
Gerak politik daerah sering kali terlalu bergantung pada politik `pesanan' Jakarta.
Kalau itu berlangsung terusmenerus, agenda konsolidasi demokrasi lokal bisa gagal. Demokrasi lokal akan semakin terpuruk karena arus politik menyebar tidak merata, tidak independen, dan mandek. Yang lahir dalam arus politik tidak sehat tersebut ialah money politic, politik dinasti, politik patron, dan politik tebang pilih (kasih).

Dalam konteks itu, harus ada upaya serius mengembalikan kedaulatan demokrasi lokal sehingga arah masa depan Indonesia bisa semakin terarah.
Secara teoretis, demokrasi lokal sejatinya merupakan fondasi lahirnya demokratisasi tingkat nasional. Kalau demokrasi lokal berjalan dengan baik, demokrasi berbangsa dan bernegara semakin mendekati keadilan dan kesejahteraan. Begitu pula sebaliknya.

Dalam transisi reformasi

Gemuruh Reformasi 1998 melahirkan gerakan reformasi mahadahsyat yang menjadi momentum terciptanya tatanan infrastruktur dan suprastruktur yang lebih demokratis di daerah. Dalam usaha normalisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Ketetapan No X/ MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Kemudian lahir juga Tap No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Khusus dalam membangun demokrasi daerah, MPR mengeluarkan Ketetapan No XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketiga ketetapan MPR tersebut menjadi rumusan bangsa dalam membangun konsolidasi demokrasi. Khusus dalam otonomi daerah, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999 yang menjabarkan otonomi daerah mulai dari ketentuan umum, daerah wilayah, wewenang kekuasaan, wewenang keuangan, dan hubungan daerah dengan pusat.

Dengan berbagai ketetapan MPR dan UU tersebut, baM gaimanakah nasib wajah demokrasi lokal dalam transisi sekarang? Itu pertanyaan sangat krusial karena berbagai fenomena sosial menjelaskan ternyata daerah `gagal' mewujudkan tatanan ideal yang demokratis. Berbagai kasus dan konflik di daerah selama ini membuktikan ternyata elite berbaju politisi busuk masih mendominasi kekuasaan. Akibatnya, meski puluhan bahkan ratusan UU dibuat, tetap saja akan didistorsi dan diselewengkan.

Dari situ dapat dilihat, proses komitmen konso lidasi demokrasi di daerah sebatas wilayah perundangan saja, sedangkan infrastruktur dan suprastruktur daerah yang masih pincang dibiarkan tanpa dibenahi. Tidak salah kalau bupati dan gubernur yang masih sangat kuat afiliasinya dengan Orde Baru menduduki kembali kepemimpinan di berbagai daerah yang pada akhirnya melahirkan protes berupa kerusuhan massal yang merusak berbagai aset publik.

Arah demokrasi lokal

Untuk itu, menjelang Pemilu 2014 harus ada refleksi dan aksi konkret bangsa da am mengembalikan arah demokrasi daerah yang berkeadilan dan berkeadaban. Dalam hal tersebut, menurut Taylor (1966), komitmen demokrasi daerah harus memenuhi em pat ciri dasar yang menjadi pokok dalam pertumbuhan dengan model masyarakat demokratis, yakni open-class society, communicative society, mass consumption society, dan pluralist society (Tayloretal, 1966; ch 27).

Dalam pengembangan demokratisasi di daerah, pemimpin yang terpilih harus mampu membuka segala ruang kehidupan. Open-class society atau masyarakat terbuka yang tak berkelas, yang merupakan bentuk masyarakat yang tidak disekat kesenjangan sosial akibat globalisasi dunia yang makin kompleks, harus menjadi agenda serius pemimpin daerah ke depan.

Kalau pemimpin daerah ke depan tidak mampu mencairkan makin sumpeknya tatanan masyarakat global sekarang ini, pemilu kada hanya akan menyengsarakan kembali sang ‘raja’. Tantangan globalisasi harus segera disikapi, baik dengan pengembangan pendidikan daerah, kalau bisa mampu menggratiskan pendidikan, ataupun dengan berbagai terobosan yang mampu membangkitkan perekonomian rakyat yang makin terjepit sekarang ini.

Communicative society atau masyarakat komunikatif ialah kondisi masyarakat yang melek teknologi. Di tengah gempuran era informasi, yang oleh Alvin Toffler dikatakan sebagai era pertarungan rasio manusia, masyarakat di berbagai daerah, khususnya daerah perdesaan, harus dikenalkan dengan beragam budaya modern yang berkembang selama ini agar tidak terjadi gagap kebudayaan, gagap spiritual, gagap kejiwaan, dan gagal multidimensional lainnya.

Selanjutnya mass consumption society, yakni kesempatan membangun kekuatan sosial ekonomi yang tangguh. Kemampuan membangun masyarakat terbuka yang kaya dengan pengetahuan dan informasi akan mampu menciptakan bangunan ekonomi yang kuat, yang bisa memprediksi pasar. Kemampuan seperti itu masih langka di daerahdaerah. Paling, yang mumpuni hanya mereka yang ada di tingkat pusat.

Maka, pemimpin di daerah harus bersikap kritis dalam menghadapi berbagai harapan ke depan, khususnya yang menyangkut kuatnya basis ekonomi perdesaan yang masih terbelakang.
Untuk menjaga keseimbangan di semua lini kehidupan daerah, perlu dibangkitkan semangat pluralist society, masyarakat pluralis yang menghargai segala kreativitas dan karya orang lain. Jangan sampai tingginya kekuatan ekonomi hanya akan membangkitkan sentimen dan pengelasan sosial yang berujung pada kesenjangan sosial. Namun, semua harus disikapi secara pluralistis, yang satu elemen dengan yang lain saling membantu, mengasihi, dan menyayangi, sesuai dengan amanat leluhur kita selama ini.

Keempat hal tersebut itulah yang akan menopang demokrasi daerah karena di situ terlihat pemerintah tidak lagi memosisikan diri sebagai superior yang depresif--atau surveillance dalam istilah Giddens-terhadap masyarakat. Dengan demikian, tercipta citizenship rights (hak warga negara) yang dimiliki masyarakat, yang meliputi civil rights (hak untuk bebas), political rights (hak untuk memilih), dan economic rights (hak mendapatkan pekerjaan yang layak).

Kepercayaan (trust) masyarakat kepada negara akan hilang manakala tiga citizenship rights terusik atau tidak dipenuhi oleh pemerintah. Dengan terciptanya ketiga hak warga negara tersebut, upaya membangun demokrasi daerah akan semakin mantap. Konflik segera berakhir dan daerah akan semakin cerdas menempatkan diri dalam level nasional ataupun internasional di tengah kegalauan globalisasi. 

Pemimpin daerah akan menjadi tulang punggung bangsa dalam menatap milenium kedua yang penuh gejolak sosial sehingga Indonesia akan semakin memantapkan diri sebagai negara demokratis di hadapan dunia internasional. Dengan komitmen itulah, wajah demokrasi lokal tidak hanya mewujudkan apa yang disebut Haffner dengan civilized state, tetapi juga mampu mewujudkan civilized society dan reformed society.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar