|
MEDIA
INDONESIA, 12 Juni 2013
MENJELANG Pemilu 2014, semua mata
hanya tertuju pada Jakarta: Senayan dan Istana Negara. Jelas sekali itu sangat
menyedihkan karena proses demokratisasi yang dibangun Indonesia bukanlah
sekadar Jakarta. Justru, yang harus diberdayakan adalah daerah tertinggal dan
terbelakang. Kenapa mata hanya fokus pada Jakarta? Karena arus politik selama
ini diputar dan dipusatkan dalam lingkaran Jakarta.
Gerak politik daerah sering kali terlalu bergantung pada
politik `pesanan' Jakarta.
Kalau itu berlangsung terusmenerus, agenda konsolidasi demokrasi lokal bisa
gagal. Demokrasi lokal akan semakin terpuruk karena arus politik menyebar tidak
merata, tidak independen, dan mandek. Yang lahir dalam arus politik tidak sehat
tersebut ialah money politic, politik
dinasti, politik patron, dan politik tebang pilih (kasih).
Dalam konteks itu, harus ada upaya serius mengembalikan
kedaulatan demokrasi lokal sehingga arah masa depan Indonesia bisa semakin
terarah.
Secara teoretis, demokrasi lokal sejatinya merupakan fondasi lahirnya demokratisasi tingkat nasional. Kalau demokrasi lokal berjalan dengan baik, demokrasi berbangsa dan bernegara semakin mendekati keadilan dan kesejahteraan. Begitu pula sebaliknya.
Secara teoretis, demokrasi lokal sejatinya merupakan fondasi lahirnya demokratisasi tingkat nasional. Kalau demokrasi lokal berjalan dengan baik, demokrasi berbangsa dan bernegara semakin mendekati keadilan dan kesejahteraan. Begitu pula sebaliknya.
Dalam transisi
reformasi
Gemuruh Reformasi 1998 melahirkan gerakan reformasi
mahadahsyat yang menjadi momentum terciptanya tatanan infrastruktur dan
suprastruktur yang lebih demokratis di daerah. Dalam usaha normalisasi
kehidupan berbangsa dan bernegara, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
menetapkan Ketetapan No X/ MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan
dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan
Negara.
Kemudian lahir juga Tap No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Khusus dalam membangun demokrasi daerah, MPR mengeluarkan
Ketetapan No XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Ketiga ketetapan MPR tersebut menjadi rumusan bangsa dalam
membangun konsolidasi demokrasi. Khusus dalam otonomi daerah, pemerintah
akhirnya mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999 yang menjabarkan otonomi daerah mulai
dari ketentuan umum, daerah wilayah, wewenang kekuasaan, wewenang keuangan, dan
hubungan daerah dengan pusat.
Dengan berbagai ketetapan MPR dan UU tersebut, baM
gaimanakah nasib wajah demokrasi lokal dalam transisi sekarang? Itu pertanyaan
sangat krusial karena berbagai fenomena sosial menjelaskan ternyata daerah
`gagal' mewujudkan tatanan ideal yang demokratis. Berbagai kasus dan konflik di
daerah selama ini membuktikan ternyata elite berbaju politisi busuk masih
mendominasi kekuasaan. Akibatnya, meski puluhan bahkan ratusan UU dibuat, tetap
saja akan didistorsi dan diselewengkan.
Dari situ dapat dilihat, proses komitmen konso lidasi
demokrasi di daerah sebatas wilayah perundangan saja, sedangkan infrastruktur
dan suprastruktur daerah yang masih pincang dibiarkan tanpa dibenahi. Tidak
salah kalau bupati dan gubernur yang masih sangat kuat afiliasinya dengan Orde
Baru menduduki kembali kepemimpinan di berbagai daerah yang pada akhirnya
melahirkan protes berupa kerusuhan massal yang merusak berbagai aset publik.
Arah demokrasi
lokal
Untuk itu, menjelang Pemilu 2014 harus ada refleksi dan
aksi konkret bangsa da am mengembalikan arah demokrasi daerah yang berkeadilan
dan berkeadaban. Dalam hal tersebut, menurut Taylor (1966), komitmen demokrasi
daerah harus memenuhi em pat ciri dasar yang menjadi pokok dalam pertumbuhan
dengan model masyarakat demokratis, yakni open-class society, communicative society, mass consumption society,
dan pluralist society (Tayloretal,
1966; ch 27).
Dalam pengembangan demokratisasi di daerah, pemimpin yang
terpilih harus mampu membuka segala ruang kehidupan. Open-class society atau masyarakat terbuka yang tak berkelas, yang
merupakan bentuk masyarakat yang tidak disekat kesenjangan sosial akibat
globalisasi dunia yang makin kompleks, harus menjadi agenda serius pemimpin daerah
ke depan.
Kalau pemimpin daerah ke depan tidak mampu mencairkan makin
sumpeknya tatanan masyarakat global sekarang ini, pemilu kada hanya akan
menyengsarakan kembali sang ‘raja’. Tantangan globalisasi harus segera
disikapi, baik dengan pengembangan pendidikan daerah, kalau bisa mampu
menggratiskan pendidikan, ataupun dengan berbagai terobosan yang mampu
membangkitkan perekonomian rakyat yang makin terjepit sekarang ini.
Communicative
society atau masyarakat komunikatif ialah
kondisi masyarakat yang melek teknologi. Di tengah gempuran era informasi, yang
oleh Alvin Toffler dikatakan sebagai era pertarungan rasio manusia, masyarakat
di berbagai daerah, khususnya daerah perdesaan, harus dikenalkan dengan beragam
budaya modern yang berkembang selama ini agar tidak terjadi gagap kebudayaan,
gagap spiritual, gagap kejiwaan, dan gagal multidimensional lainnya.
Selanjutnya mass
consumption society, yakni kesempatan membangun kekuatan sosial ekonomi
yang tangguh. Kemampuan membangun masyarakat terbuka yang kaya dengan
pengetahuan dan informasi akan mampu menciptakan bangunan ekonomi yang kuat,
yang bisa memprediksi pasar. Kemampuan seperti itu masih langka di
daerahdaerah. Paling, yang mumpuni hanya mereka yang ada di tingkat pusat.
Maka, pemimpin di daerah harus bersikap kritis dalam
menghadapi berbagai harapan ke depan, khususnya yang menyangkut kuatnya basis
ekonomi perdesaan yang masih terbelakang.
Untuk menjaga keseimbangan di semua lini kehidupan daerah,
perlu dibangkitkan semangat pluralist society, masyarakat pluralis yang
menghargai segala kreativitas dan karya orang lain. Jangan sampai tingginya
kekuatan ekonomi hanya akan membangkitkan sentimen dan pengelasan sosial yang
berujung pada kesenjangan sosial. Namun, semua harus disikapi secara
pluralistis, yang satu elemen dengan yang lain saling membantu, mengasihi, dan
menyayangi, sesuai dengan amanat leluhur kita selama ini.
Keempat hal tersebut itulah yang akan menopang demokrasi
daerah karena di situ terlihat pemerintah tidak lagi memosisikan diri sebagai
superior yang depresif--atau surveillance
dalam istilah Giddens-terhadap masyarakat. Dengan demikian, tercipta citizenship rights (hak warga negara)
yang dimiliki masyarakat, yang meliputi civil
rights (hak untuk bebas), political
rights (hak untuk memilih), dan economic
rights (hak mendapatkan pekerjaan yang layak).
Kepercayaan (trust)
masyarakat kepada negara akan hilang manakala tiga citizenship rights terusik atau tidak dipenuhi oleh pemerintah. Dengan
terciptanya ketiga hak warga negara tersebut, upaya membangun demokrasi daerah
akan semakin mantap. Konflik segera berakhir dan daerah akan semakin cerdas
menempatkan diri dalam level nasional ataupun internasional di tengah kegalauan
globalisasi.
Pemimpin daerah akan menjadi tulang punggung bangsa dalam menatap
milenium kedua yang penuh gejolak sosial sehingga Indonesia akan semakin
memantapkan diri sebagai negara demokratis di hadapan dunia internasional.
Dengan komitmen itulah, wajah demokrasi lokal tidak hanya mewujudkan apa yang
disebut Haffner dengan civilized state,
tetapi juga mampu mewujudkan civilized
society dan reformed society. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar