Senin, 08 April 2013

Presiden Sekaligus Pemilik Partai


Presiden Sekaligus Pemilik Partai
Yunarto Wijaya ;  Direktur Riset Charta Politika Indonesia
KORAN SINDO, 08 April 2013

  
Beberapa bulan terakhir kita terus disuguhi oleh riuhnya konstelasi politik internal yang terjadi di Partai Demokrat. Keriuhan yang seharusnya cukup dirasakan oleh penghuni rumah besar partai tersebut. 

Tapi sayangnya, keriuhan ini juga menimbulkan kebisingan yang memaksa hampir semua dari kita mendengarnya. Keriuhan ini diharapkan bisa berakhir pasca-kongres luar biasa (KLB) yang dilangsungkan di Bali oleh partai penguasa (ruling party) ini. Keriuhan ini mungkin bisa dikatakan berakhir di tubuh internal partai yang secara aklamasi memilih SBY tanpa hambatan apa pun. Akan tetapi dari sisi pendidikan politik, keputusan ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai kemunduran proses evolusi yang terjadi dalam sistem kepartaian kita. 

Upaya untuk melakukan pembenaran secara komparatif dilakukan oleh sebagian petinggi Partai Demokrat dengan menyebut kondisi empiris di negara lain. Beberapa negara yang disebut di antaranya Jepang, Thailand, Australia, Jerman, dan Inggris. Mereka mengatakan bahwa di negara-negara tersebut, seorang kepala pemerintahan juga adalah seorang ketua umum partai. Klaim pembenaran tersebut terasa menggelikan manakala kita tempatkan dalam logika tata negara yang benar.

Semua negara yang disebutkan di atas adalah negara yang menggunakan sistem parlementer, kepala pemerintahan tidak memegang otoritas sebagai kepala negara. Sebuah perbandingan yang tentu saja tidak bisa diletakkan dalam konstelasi politik di Indonesia yang menganut sistem presidensial. Tentu saja pembelaan diri dari kritik adalah hak politik dari siapa pun. 

Akan tetapi menjadi sebuah pendidikan politik yang tidak sehat manakala pembelaan diri ini menggunakan sebuah logika politik yang menabrak pakem logika tata negara yang sehat, apalagi ketika ini ditonton oleh jutaan masyarakat yang belum tentu memiliki kepentingan apapun dengan kekisruhan internal partai tersebut. 

Presiden dalam Sistem Presidensial 

Pembenaran yang menggunakan argumentasi secara historis juga dimunculkan. Dikatakan bahwa budaya rangkap jabatan ini bukan hanya terjadi pada masa SBY, melainkan juga oleh pendahulunya. Kritik terhadap rangkap jabatan terhadap SBY dianggap sebagai sesuatu yang bersifat politis dan berlebihan. Dijabarkanlah perbandingan dengan menyebut beberapa nama presiden di masa lalu dalam kapasitasnya sebagai petinggi partai. 

Mereka menyebutkan contoh Soeharto selaku pembina Partai Golkar, BJ Habibie selaku pembina Partai Golkar, Abdurrahman Wahid selaku ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, Megawati selaku ketua umum PDI Perjuangan, dan Jusuf Kalla selaku ketua umum Partai Golkar. Perbandingan dengan gaya simplifikasi seperti ini tentu saja sangat rentan kritik baik secara empiris ataupun secara sistemik. 

Secara empiris, manakala dimunculkan nama presiden di masa pra-reformasi. Dan secara sistemis, manakala kita mengetahui bahwa keberadaan rangkap jabatan tersebut merupakan sebuah anomali manakala coba kita bandingkan dengan negara presidensial lain. Memasukkan nama Soeharto dalam sebuah pembenaran rangkap jabatan presiden dan petinggi partai adalah sebuah kemunduran pola pikir yang berpotensi menyesatkan arah demokrasi yang kita bangun. 

Hampir semua pihak sepakat bahwa keberadaan Soeharto sebagai presiden sekaligus ketua dewan pembina Golkar saat itu, adalah bagian dari upaya pelestarian rezim yang tentu saja tidak mungkin kita lestarikan di sistem demokrasi kita dewasa ini. Secara sistemis, dalam sistem presidensial, presiden adalah satu-satunya pemegang kontrak sosial dengan rakyat melalui pemilu yang bersifat langsung.

Sebagai individu, dia dipilih bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, melainkan juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, seketika terpilih, dia akan menjadi figur milik bangsa yang seharusnya tidak boleh lagi terikat oleh kepentingan kelompok (termasuk partai) tertentu (Ranadireksa, 2007). 

Logika ini bermakna sama dengan sebuah ungkapan legendaris presiden kedua Filipina, Manuel L Quelzon: “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins”. Sebuah kalimat yang memiliki sebuah makna mendalam dalam filosofi kepemimpinan dalam sistem presidensial. Dengan logika tersebut, adalah hal tepat apabila kita mengkritik seorang presiden yang mau menempatkan dirinya menjadi pemegang empat jabatan strategis sekaligus di dalam partainya. 

Kritik ini tidak hanya berkaitan dengan pembagian waktu dalam konteks kepemimpinan secara manajerial, tetapi lebih ditujukan pada posisi sakral seorang kepala negara yang harus melampaui wilayah “politik” semata. Penegasan mengenai rangkap jabatan seorang presiden pada akhirnya juga akan berpengaruh pada pemerintahan yang dia bangun. Kelonggaran mengenai rangkap jabatan ini pada akhirnya juga akan merusak karakter ‘Zaken Kabinet’ yang biasanya akan diganti oleh kabinet pelangi dengan dominasi orang-orang partai di dalamnya. 

Kelonggaran ini bahkan dipertegas oleh hasil keputusan KLB Partai Demokrat yang memilih dua orang menteri sebagai pemegang jabatan strategis untuk membantu tugas ketua umum. Sebuah keputusan yang berbanding terbalik dengan kritik SBY kepada para menteri parpol pada sidang kabinet 19 Juli 2012 kemarin. 

Suka atau tidak, itulah kondisi yang sedang terjadi di negara kita. Negara sistem presidensial dengan cita rasa parlementer. Sebuah keadaan yang terus dilestarikan oleh undang-undang paket politik yang kita miliki dan Undang- Undang Dasar yang selalu mengalami hambatan dalam proses amendemennya. 

Perbaikan Sistem vs Pelestarian Kekuasaan 

Berkaca pada kondisi di atas, bisa disimpulkan bahwa masalah rangkap jabatan ini adalah turunan dari permasalahan sistem yang memang sudah akut. Diperlukan sebuah perubahan sistem yang bisa menerjemahkan makna dari demokrasi konsensus yang tepat dalam sebuah transisi demokrasi. Bukan pembenaran terhadap anomali sistem pemerintahan seperti yang sedang dijalankan. 

Tidak mudah memang mewacanakan perbaikan sistem secara holistis manakala keputusan ada di tangan para politisi yang sudah terlalu sibuk dalam usaha pelestarian kekuasaannya. Termasuk ketika kita sebetulnya berharap banyak mengenai hal ini pada sosok SBY yang memiliki pengaruh besar selama hampir sepuluh tahun terakhir. 

Beliau sepertinya memang sudah terlalu sibuk dalam kesehariannya baik sebagai presiden, ketua setgab ataupun petinggi partai. Petinggi partai yang bukan hanya hadir sebagai simbol, melainkan juga berkewajiban menjaga kinerjanya baik sebagai ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, ketua majelis tinggi dan sekaligus ketua umum. 

Sebuah kondisi yang menurut saya terus menempatkan posisi Partai Demokrat sebagai sebuah fans club ketimbang organisasi modern. Sebuah kenyataan yang patut disayangkan, mengingat fenomena fans club ini biasanya akan melestarikan budaya feodal dan oligarkis dalam perjalanannya. 

Partai pada akhirnya hanya terlihat sebagai sebuah kerumunan elit yang mengurus kepentingannya sendiri (Katz dan Mair, 1995). Fakta empiris yang pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah demokrasi yang bersifat elitis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar