Tepat rasanya bila jurnalis yang juga pengamat militer
Indria Samego dan peneliti senior militer Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodyawardani menyebut Tentara Nasional
Indonesia (TNI) sebagai etnis tersendiri.
Kenyataannya memang demikian. Beberapa
kasus kekerasan yang dilakukan oleh personel TNI, menunjukkan dan dipicu
oleh solidaritas korps satuan (korsa) karena salah satu anggota diusik
oleh pihak lain. Tak salah bila masyarakat mengatakan sebagai kekeliruan
pemaknaan tentang esprit de
corps.
Dalam kasus penyerangan di Mapolres Ogan
Komering Ulu (OKU) Sumatra Selatan beberapa waktu lalu misalnya, motif
sejumlah anggota TNI adalah balas dendam akibat salah satu anggota tewas
tertembak anggota Satlantas. Pun demikian dalam kasus penyerangan LP Kelas
II Cebongan Kabupaten Sleman DIY yang dilakukan oleh 11 anggota
Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.
Fenomena itu makin meneguhkan bahwa TNI merupakan etnis tersendiri.
Sebagai ’’etnis’’, sebenarnya manakala
jiwa korsa TNI diletakkan pada tempatnya, itu menjadi hal positif. Namun
manakala tidak diletakkan pada tempatnya, hal itu akan menjadi sangat
berbahaya karena mereka merupakan ’’etnis bersenjata’’.
Sisi positif ’’etnis’’ TNI, di negara
kita yang plural telah teruji oleh zaman. TNI menjadi lembaga yang sangat
fleksibel terhadap pluralitas. Istilah Jawa dan luar Jawa sebagai sebuah
isu seksi dalam politik sipil untuk menentukan kepemimpinan, tidak
berlaku sama sekali dalam TNI.
Pasukan militer yang beranggotakan etnis
tertentu sangat terbiasa dipimpin oleh nama bermarga atau dari fam yang
berbeda, dan sebagainya. Itulah sebabnya sosok militer acap dianggap
lebih bisa diterima dalam pluralitas masyarakat . Bagi sosok militer yang
ingin berpolitik maka kelebihan ini sering kali dijadikan modal ampuh
untuk merangkul pemilih yang memiliki pluralitas tinggi. Terlebih bagi
negara berkembang seperti Indonesia, terdapat pola bahwa rakyat cenderung
memilih pemimpin dari kalangan militer karena dianggap lebih menjanjikan
kepemimpinan yang berdisiplin (Arbi Sanit, 1984).
Namun nilai positif yang ada dalam tubuh
TNI akan memudar, bahkan sirna manakala kejadian-kejadian yang menodai
rekam jejak TNI, pelanggaran HAM, terus terjadi. Untuk itu, seperti pada
kasus Cebongan maka pihak TNI dan pemerintah tentu, harus benar-benar
menuntaskan penyelesaian kasus ini jika tidak ingin kehilangan
kepercayaan masyarakat.
Solusi jangka pendek, pengadilan militer
rasanya tidak cukup karena kasus Cebongan telah menjadi pantauan
internasional. Harus ada pula pengadilan hak asasi manusia karena ada
pelanggaran HAM. Hukuman setimpal harus diterima oleh pelaku karena
selain membawa nama pribadi, mereka bagian dari institusi militer. Solusi
jangka panjang, pemerintah perlu membentuk lembaga independen dengan
kekuatan hukum nyata, yang mampu menjadi pengadil bagi TNI, termasuk
Polri.
Tentara Sejati
Selama ini peradilan internal lembaga
tersebut, selain tidak memuaskan semua pihak, tertutup bagi publik, juga
terkesan keputusan yang ada selalu menguntungkan sekaligus menyelamatkan
nama baik korps masing-masing. Hasilnya, karena peradilan berlangsung
setengah hati maka sangat mungkin kejadian serupa kembali berulang karena
tidak mampu membuat efek jera.
Terakhir, perlu ada komitmen tulus dari
TNI untuk benar-benar secara konsekuen melaksanakan reformasi, kembali ke
barak. Reformasi mereka yang digagas pada awal reformasi tidak boleh
bersifat hangat-hangat tahi ayam. Sampai sekarang semangat reformasi
harus terus digelorakan, agar tercipta tentara nasional yang sejati,
profesional sebagaimana cita-cita Jenderal Soedirman sebagai founding father. Juga pesan founding father negara kita
Soekarno dalam peringatan HUT Ke-8 RI pada 17 Agustus 1953.
Waktu itu, Bung Karno mengatakan, ’’Angkatan Perang (TNI-Red) tidak boleh
ikut-ikut politik. Tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik.
Angkatan Perang harus berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar
berjiwa, tapi ia tidak boleh ikut-ikut politik. Ayo bangsa Indonesia,
dengan jiwa berseri-seri mari berjalan terus, jangan berhenti. Revolusimu
belum selesai. Jangan berhenti. Sebab siapa yang berhenti akan diseret
oleh sejarah. Dan siapa yang menentang corak dan arahnya sejarah, tidak
peduli tiada bangsa apapun, ia akan digiling digilas oleh sejarah itu
sama sekali.’’ (Arsip Nasional RI).
Rakyat butuh atmosfer rasa aman, jaminan
penegakan hukum, dan tidak ada pihak mana pun yang berhak unjuk kekuatan
lewat kekuasaaan ataupun senapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar