Senin, 08 April 2013

Bahaya Etnis Bersenjata


Bahaya Etnis Bersenjata
Heni Purwono ;  Peminat Sejarah Militer pada Magister Ilmu Sejarah PPs Undip, Mahasiswa Penerima Beasiswa S-2 Kepengawasan Sekolah P2TK Dikmen Kemendikbud pada Magister Manajemen Pendidikan PPs Unnes
SUARA MERDEKA, 08 April 2013

  
Tepat rasanya bila jurnalis yang juga pengamat militer Indria Samego dan peneliti senior militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodyawardani menyebut Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai etnis tersendiri.
Kenyataannya memang demikian. Beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh personel TNI, menunjukkan dan dipicu oleh solidaritas korps satuan (korsa) karena salah satu anggota diusik oleh pihak lain. Tak salah bila masyarakat mengatakan sebagai kekeliruan pemaknaan tentang  esprit de corps.
Dalam kasus penyerangan di Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatra Selatan beberapa waktu lalu misalnya, motif sejumlah anggota TNI adalah balas dendam akibat salah satu anggota tewas tertembak anggota Sat­lantas. Pun demikian dalam kasus penye­rangan LP Ke­las II Cebongan Kabu­paten Sleman DIY yang dilakukan oleh 11 ang­gota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kar­tasura Kabupaten Su­koharjo. Fenomena itu makin meneguhkan bah­wa TNI merupakan etnis tersendiri.
Sebagai ’’etnis’’, se­benarnya manakala jiwa korsa TNI diletakkan pada tempatnya, itu menjadi hal positif. Namun manakala tidak diletakkan pada tempatnya, hal itu akan menjadi sangat berbahaya karena mereka merupakan ’’etnis bersenjata’’.
Sisi positif ’’etnis’’ TNI, di negara kita yang plural telah teruji oleh zaman. TNI menjadi lembaga yang sangat fleksibel terhadap pluralitas. Istilah Jawa dan luar Jawa sebagai sebuah isu seksi dalam politik sipil untuk menentukan kepemimpinan, tidak berlaku sama sekali dalam TNI.
Pasukan militer yang beranggotakan etnis tertentu sangat terbiasa dipimpin oleh nama bermarga atau dari fam yang berbeda, dan sebagainya. Itulah sebabnya sosok militer acap dianggap lebih bisa diterima dalam pluralitas masyarakat . Bagi sosok militer yang ingin berpolitik maka kelebihan ini sering kali dijadikan modal ampuh untuk merangkul pemilih yang memiliki pluralitas tinggi. Terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia, terdapat pola bahwa rakyat cenderung memilih pemimpin dari kalangan militer karena dianggap lebih menjanjikan kepemimpinan yang berdisiplin (Arbi Sanit, 1984).
Namun nilai positif yang ada dalam tubuh TNI akan memudar, bahkan sirna manakala kejadian-kejadian yang menodai rekam jejak TNI, pelanggaran HAM, terus terjadi. Untuk itu, seperti pada kasus Cebongan maka pihak TNI dan pemerintah tentu, harus benar-benar menuntaskan penyelesaian kasus ini jika tidak ingin kehilangan kepercayaan masyarakat.
Solusi jangka pendek, pengadilan militer rasanya tidak cukup karena kasus Cebongan telah menjadi pantauan internasional. Harus ada pula pengadilan hak asasi manusia karena ada pelanggaran HAM. Hukuman setimpal harus diterima oleh pelaku karena selain membawa nama pribadi, mereka bagian dari institusi militer. Solusi jangka panjang, pemerintah perlu membentuk lembaga independen dengan kekuatan hukum nyata, yang mampu menjadi pengadil bagi TNI, termasuk Polri.
Tentara Sejati
Selama ini peradilan internal lembaga tersebut, selain tidak memuaskan semua pihak, tertutup bagi publik, juga terkesan keputusan yang ada selalu menguntungkan sekaligus menyelamatkan nama baik korps masing-masing. Hasilnya, karena peradilan berlangsung setengah hati maka sangat mungkin kejadian serupa kembali berulang karena tidak mampu membuat efek jera.
Terakhir, perlu ada komitmen tulus dari TNI untuk benar-benar secara konsekuen melaksanakan reformasi, kembali ke barak. Reformasi mereka yang digagas pada awal reformasi tidak boleh bersifat hangat-hangat tahi ayam. Sampai sekarang semangat reformasi harus terus digelorakan, agar tercipta tentara nasional yang sejati, profesional sebagaimana cita-cita Jenderal Soedirman sebagai founding father. Juga pesan founding father negara kita Soekarno dalam peringatan HUT Ke-8 RI pada 17 Agustus 1953.
Waktu itu, Bung Karno mengatakan, ’’Angkatan Perang (TNI-Red) tidak bo­leh ikut-ikut politik. Tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan Perang harus berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa, tapi ia tidak boleh ikut-ikut politik. Ayo bangsa Indonesia, dengan jiwa berseri-seri mari berjalan terus, jangan berhenti. Revo­lusimu belum selesai. Jangan berhenti. Sebab siapa yang berhenti akan diseret oleh sejarah. Dan siapa yang menentang corak dan arahnya sejarah, tidak peduli tiada bangsa apapun, ia akan digiling digilas oleh sejarah itu sama sekali.’’ (Arsip Nasional RI).
Rakyat butuh atmosfer rasa aman, jaminan penegakan hukum, dan tidak ada pihak mana pun yang berhak unjuk kekuatan lewat kekuasaaan ataupun senapan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar