Saya
yakin judul di atas tidak saja berlaku untuk diriku, tetapi juga pembaca
semua. Pendidikanlah yang sangat besar jasanya dalam mengubah nasib
seseorang, bahkan juga sebuah bangsa dan negara. Saya terlahir di
Pabelan, sebuah desa tergolong miskin dekat Candi Borobudur, Magelang,
akhir 1953.
Memasuki
usiaku yang ke-10, kenangan yang terekam adalah kehidupan desa yang padat
penduduk, namun miskin. Sawah sempit, panen rusak dimakan hama tikus.
Masih terngiang di benakku, waktu itu komunis tengah berjaya. Sewaktu
kelas empat SD (sekolah dasar), saya pernah diajar Bu Romlah, orangnya
cantik dan lincah.
Ketika agak
kesal melihat kenakalan anak-anak muridnya, dia berkata: ”Masak Allah, goreng nabi”.
Belakangan saya baru tahu bahwa dia seorang tokoh Gerwani, underbow PKI. Ada lagi Pak Guru
Suparman. Orangnya baik, mengajarnya bagus, tegas, layaknya militer.
Selang beberapa tahun saya bertemu, dia baru keluar dari tahanan karena
dituduh terlibat makar yang dilakukan PKI. Dia kader Pemuda Rakyat.
Antara tahun
1963-1965 kehidupan sosial di desaku terasa gersang. Pengemis dan
pengangguran di mana-mana. Yel-yel ganyang Malaysia dan Ganefo sering
terdengar. Orang mengartikan Ganefo: Segane tempo. Nasinya tertunda
akibat kemarau panjang dan panen rusak. Orang kampung banyak yang makan
bulgur, paling banter nasi bubur encer. Sawah kering. Kalaupun panen,
kalah dengan tikus.
Sampai-sampai
Pak Jumali, kepala sekolah, pernah berpidato dengan semangat sehabis apel
pengibaran bendera: ”Anak-anakku
semua, mari ramai-ramai berburu menangkap tikus. Tikus-tikus itu telah
memakan padi yang menjadi hak kita. Sekarang kita balas tikustikus itu
kita masak dan kita makan”. Dalam usiaku antara 12-14 tahun, saya
sudah bisa menangkap ketegangan yang terjadi antara umat Islam dan
kelompok komunis.
Melihat
kondisi sosial perdesaan yang miskin, ayah mengirim saya belajar di
Sekolah Teknik Kanisius Muntilan, jurusan pertukangan kayu. Alasannya sederhana:
agar nanti mudah mendapatkan pekerjaan. Ayah melihat mereka yang memiliki
keahlian tukang kayu tingkat ekonominya lebih baik daripada buruh tani.
Rumahnya lebih bagus dan tertata dibanding yang lain. Panggilan tawaran
kerja selalu berdatangan untuk memperbaiki atau membangun rumah.
Demikianlah,
saya ternyata tidak sampai setahun memilih keluar dari STK Muntilan.
Merasa kurang cocok mempelajari pertukangan. Daripada jadi pengangguran,
saya mendaftarkan diri masuk pendidikan pesantren yang dimotori oleh Kiai
Hamam Ja’far yang dibuka pada 1965. Jumlah temanteman sekelas angkatan
pertama ini sebanyak 28 santriwansantriwati. Tempat belajar di serambi
masjid. Ada bangunan pesantren tua di samping masjid yang bisa ditempati
sebagai asrama bagi santriwan.
Santri
angkatan pertama ini semuanya anak-anak desa yang sebagian besar
pengangguran karena tidak sanggup meneruskan sekolah ke tingkat lanjut
setamat SD. Ada juga beberapa santri jebolan SMP, tidak sampai tamat.
Yang menarik, meski kami anak-anak desa dan tempat belajar pun sangat
sederhana, suasana belajar berlangsung serius. Kiai Hamam Ja’far dibantu
beberapa ustaz sebagai asistennya. Dua di antaranya mahasiswa IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, famili Kiai Hamam.
Semua guru,
dalam bahasa disebut ustaz, masuk kelas dengan mengenakan dasi. Mata
pelajaran mencakup pelajaran agama dan umum. Kiai selalu menekankan,
hidup itu indah, dunia itu luas, Allah telah menyediakan semua yang
dibutuhkan manusia. Tapi, hanya mereka yang memiliki iman, ilmu, dan akhlak
yang akan menikmati dunia ini dengan baik dan benar. Apa-apa yang
dianggap benar belum tentu ujungnya baik. ”Tetapi, kalau kita menjaga kebaikan, lamalama akan mendapatkan
kebenaran,” kata Kiai. ”Kebaikan
diraih dengan akhlak, kebenaran diraih dengan ilmu,” tandasnya.
Nilai-nilai
kehidupan yang selalu disampaikan Kiai Hamam Ja’far (alm) sangat
memotivasi para santri untuk belajar dan berani menghadapi hidup. Metode
pengajaran yang oleh para ahli disebut integrated approach, life skill, quantum learning, fun and joyful
learning, latihan otak kanan, dan entah istilah apa lagi, rasanya
semua itu pernah saya dapatkan sewaktu belajar di pesantren.
Etos cinta
ilmu sangat ditekankan. Saya sendiri tidak memiliki cita-cita yang jelas
nanti mau jadi apa, atau bekerja apa, tetapi yakin bahwa selama seseorang
mencintai ilmu, menjaga integritas, pasti mudah bergaul dan diterima
masyarakat, di mana pun berada. Menjalani hidup dengan ikhlas, mandiri,
sederhana, berwawasan luas, cinta ilmu menjadi ideologi pesantren yang
saya temui dan rasakan waktu itu.
Buahnya,
meski hidup di tengah masyarakat desa yang miskin, duniaku terasa sangat
luas, melampaui budaya dan mimpi-mimpi masyarakat sekelilingku. Lewat
pelajaran bahasa Arab, terbangun imajinasi dan keinginan untuk mengunjungi
negara-negara Timur Tengah. Persepsiku waktu itu, dunia Arab adalah dunia
yang penduduknya muslim semuanya, sebuah masyarakat ideal yang dekat
dengan pusat Islam. Betapa senangnya andaikan suatu saat bisa berkunjung
ke sana.
Lain halnya
ketika belajar bahasa Inggris. Muncul imajinasi tentang dunia Barat,
masyarakat kulit putih yang sangat maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pendeknya, belajar bahasa asing bagaikan membuka jendela dunia
dan bahasa asing adalah sayap untuk terbang menelusuri khazanah budaya
dan intelektual di luar batas budaya Indonesia.
Pandangan
seperti itu mulai tertanam ketika belajar di pesantren meski di antara
kegiatan kami adalah mengurus kambing, ikan, dan kerja bakti mengangkut
batu dan pasir untuk membangun ruang belajar yang sederhana. Suasana
belajar serasa sebagai suasana bermain, bekerja, beribadah, serta
membangun mimpi-mimpi tentang masa depan. Terjadi sebuah blessing in disguise.
Santri
angkatan pertama ini belajarnya tidak teratur, berbeda dari santri-santri
angkatan berikutnya yang mulai berdatangan dari luar kota, bahkan luar
Jawa. Teman sekelasku semakin berkurang. Ada yang berumah tangga,
bekerja, dan juga membantu dapur dan administrasi pesantren. Melihat
perkembangan demikian, muncul tekad di hatiku, tak ada masa depan di
desaku ini.
Pondok
pesantren saya pandang sebagai busur yang telah menempa diriku menjadi
anak panah. Tiba saatnya saya mesti melepaskan diri melesat dari
almamater tercinta. Jakarta, ibu kota negara, adalah kota impian untuk
membangun mimpi-mimpi. Di sini penuh madu, dan saya mendaftarkan diri
bagaikan semutnya. Ibu Kota bak lumbung padi, saya mesti lebih pintar
dari sekadar seekor ayam.
Setelah
melalui berbagai jalan berliku, tahun 1974 saya masuk Jakarta dan tak
lama prosesnya tercatat sebagai mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam
Negeri) Syarif Hidayatullah, yang sekarang berubah menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri). Hidup adalah journey yang tak pernah
berakhir.
Di depan kita
terbentang seribu satu kemungkinan. Tak ada bekal paling berharga kecuali
pendidikan dan tekad. Hanya pendidikan yang mampu mengubah nasib
seseorang dan suatu bangsa. Ini saya alami, saya rasakan, dan saya
yakini.
Terlahir di
desa yang miskin, belajar di serambi masjid, mimpi-mimpi berkunjung ke
luar negeri yang terbangun ketika memulai belajar bahasa Arab dan Inggris
telah menjadi kenyataan. Tidak kurang dari 35 negara pernah saya
kunjungi. Ada yang pergi untuk belajar, seminar, ibadah haji, rekreasi,
bahkan hanya untuk bermain golf. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar