Demonstrasi besar-besaran yang
direncanakan Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia batal. Hal itu
dimaksudkan oleh perencananya sekadar untuk mengingatkan secara damai
pemerintahan SBY agar pada tahun terakhir mandat kekuasaannya
berkonsentrasi pada penyelesaian aneka ragam masalah negara bangsa
yang sedikit-banyak ikut dia ciptakan selama menjalankan kekuasaan selaku
rezim berpretensi reformis.
Namun, hal itu ditanggapi
penguasa sebagai kehendak menggulingkan Presiden secara inkonstitusional,
kemudian diisukan sebagai suatu usaha kudeta, dan karena itu, perlu
ditumpas sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Melihat respons reaktif
pemerintahan SBY yang berlebihan, Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI)
membatalkan demonstrasi demi mencegah bentrokan antara aparat keamanan
dan rakyat polos tak bersenjata. Pembatalan ini merupakan satu keputusan
yang bijaksana dari pihak MKRI. Publik awam merasa lega karena tidak
timbul keributan. Pihak penguasa pada umumnya dan pemerintah SBY
khususnya tentu puas dengan pembatalan demonstrasi karena isu yang
dilontarkan ternyata termakan publik awam yang rata-rata tidak peduli
pada masalah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, kepuasan ini sungguh tak
bijaksana. Aparat keamanan bisa saja melaporkan kepada pemerintah bahwa
situasi sudah ”aman dan terkendali”. Show
of force penguasa hanya mengendalikan gejala, bukan sebab mendasar
keresahan yang disinyalir MKRI sehingga tidak dijamah, dibiarkan menyatu
dengan tumpukan anomali kehidupan yang sudah membara dalam sekam.
Bahaya laten ini adalah kemelut
kebudayaan yang pantas kita risaukan. Yang merisaukan bukanlah kemelut
itu, tetapi kenyataan kaum elite kita, terutama yang merasa terpanggil
memimpin Indonesia, tidak menyadari keberadaan bahaya itu. Padahal,
kemelut ini sudah memunculkan api di sana-sini, bukan lagi bagai bara
dalam sekam, sudah kasatmata, seperti insiden berdarah di sejumlah
daerah, dan baru-baru ini konflik kelompok TNI-Polri di Sumsel serta
penyerangan lembaga pemasyarakatan di Sleman, Yogyakarta, belum lagi
gonjang-ganjing kepartaian.
Kemelut Kebudayaan
Membicarakan kebudayaan atau
budaya secara esensial mengacu kepada manusia sebab dia satu-satunya
makhluk ciptaan Tuhan yang tahu menciptakan nilai dan memberi makna pada
nilai. Sementara (sistem) nilai per definisi adalah budaya. Maka, apa
yang universal bukanlah natur human kita, melainkan kemampuan kita
menciptakan realitas kebudayaan dan lalu berperilaku sesuai dengan
pengertiannya. Kemelut kebudayaan terjadi bila kemampuan menciptakan
apa-apa yang bernilai tidak dibarengi atau tidak disusul dengan
kesanggupan berperilaku dalam pengertian/pemahaman nilai-nilai itu.
Revolusi kemerdekaan nasional
kita tak jauh dari langit sebagai ”anugerah” alam. Ia disiapkan dengan
sistematik oleh para pendiri negara-bangsa kita. Begitu kondusif,
rangkaian persiapan tadi hingga kini kita peringati sebagai
tonggak-tonggak perjuangan kemerdekaan nasional.
Kita kenal periode Kebangkitan
Nasional. Di sini, beberapa pemuda terdidik dari sekolah kedokteran
(STOVIA) menciptakan ”realitas kebudayaan” berupa ”keterpelajaran rakyat”
selaku prakondisi pertumbuhan kesadaran nasional. Jadi, ia ”nilai” yang
perlu dikembangkan. Lalu, mereka bertindak sesuai dengan nilai itu berupa
usaha penggalangan ”dana belajar”.
Kita ingat peristiwa Sumpah
Pemuda. Di sini, lagi-lagi para pemuda terdidik kita menciptakan
”realitas kebudayaan” berupa ”bangsa”, ”tanah air”, ”bahasa persatuan”,
yang semuanya dinamakan Indonesia. Kemudian, mereka berperilaku dalam
term itu dengan menyebut ormas masing-masing sebagai ”Jawa Muda”,
”Sumatera Muda”, ”Ambon Muda”, ”Minahasa Muda”, dan lain-lain untuk
membedakan diri dari sikap para tetua suku masing-masing yang pada umumnya
dikuasai nilai-nilai kesukuan/kedaerahan.
Realitas kebudayaan itu semakin
diku- kuhkan dan disebar ke berbagai penjuru Tanah Air melalui
pembangunan sistem pendidikan nasional oleh beberapa tokoh intelektual
yang sudah tercerahkan, berhadapan dengan sistem pendidikan kolonial yang
berlaku. Willem Iskandar dengan Sekolah Guru-nya di Tano Bato (Tapsel),
Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya di Yogyakarta, dan Moh Sjafei
dengan Sekolah Kerajinan Indonesia-nya di Kayutanam (Sumbar). Dengan
demikian, Indonesia menjadi satu-satunya negara merdeka yang selagi masih
dijajah sudah berani mendirikan sistem pendidikan nasional sendiri.
Puncak dari penciptaan realitas
kebudayaan di zaman prakemerdekaan nasional adalah Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945, yang sekaligus berupa revolusi tak damai untuk merebut
dan menegakkan kembali kedaulatan nasional.
Di zaman pascarevolusi
kemerdekaan, kita terus menciptakan realitas kebudayaan dengan dalih
”mengisi kemerdekaan”. Kita ciptakan pembangunan nasional, tetapi kita
memperlakukannya sebagai pembangunan ekonomi, menambah plus-value of things (GNP), bukan plus-value of man (to be more). Para tokoh reformasi
mengkritik cara pembangunan teknokratis Orde Baru, tetapi ketika
berkuasa, meneruskannya dengan cara yang lebih kacau. Lalu, dilansir
”budaya demokrasi”, tetapi rakyat, demos, yang katanya pemilik
negara-bangsa, hanya dijadikan ”penonton” dan bukan ”partisipan” dalam
pengambilan keputusan. Parpol yang menjamur di masyarakat, yang katanya
bermisi wadah penyalur aspirasi rakyat, malah tidak mendidik, bahkan
mengeksploitasi keawaman rakyat dalam berpolitik.
Kemudian, diterapkan ide otonomi
daerah yang serba mentah hingga timbul ”raja-raja kecil lokal” yang
alih-alih mengayomi wong cilik, malah melayani kepentingan primordialnya
sendiri. Katanya mau menegakkan ”negara hukum”, tetapi aparat penegak
hukum menciptakan hukum rimba. Katanya ”tidak untuk korupsi”, tetapi bila
kepergok menonjolkan diktum ”praduga tak bersalah”. Padahal, anak kalimat
diktum ini berbunyi ”the absence of
evidence is no evidence of the absence of crime”.
Jadi, generasi pascarevolusi
kemerdekaan, terutama yang menepuk dada selaku ”kaum reformis”, hanya
menyuguhkan janji demi janji kepada rakyat. Mereka mengubah ”revolusi
kemerdekaan nasional” menjadi suatu revolution
of rising expectations karena janji yang satu belum tuntas terpenuhi
sudah disusul dengan ekspektasi baru sebagai eksperimen politik. Ada
baiknya mereka merenungi petuah bijak dari seorang negarawan yang
berbunyi, ”Orang dapat membohongi
sebagian rakyat untuk sementara waktu, membohongi seluruh rakyat untuk
sementara waktu, tetapi tidak seluruh rakyat untuk selama-lamanya!”
Kerawanan Pembentukan Bangsa
Kemelut kebudayaan, alih-alih
melenyapkan, malah mengukuhkan kerawanan alami pembentukan bangsa.
Menurut filsuf Renan (1882) dan sering dikutip oleh Bung Karno, bangsa
terbentuk berdasarkan the will to
be together.
Dasar pembentukan ini
benar-benar berlaku bagi Indonesia. Jauh sebelum Indonesia terbentuk
sebagai satu ”Bangsa” (realitas budaya) dan kemudian memproklamasikan
”Negara”-nya, negara selaku bangsa yang terorganisasi (realitas budaya),
di wilayahnya ini sudah ada suku-suku. Mereka bukan berupa kumpulan
sembarang orang, tetapi sudah menjadi kelompok yang relatif mantap
berbudaya dan relatif baik terorganisasi dalam hukum adat masing-masing,
bahkan ada yang sudah mengenal tulisan. Maka, kemerdekaan nasional
Indonesia mengajak mereka dari hidup berdampingan menjadi hidup bersama,
dari sekadar kohabitasi menjadi an
assemblage of people in large numbers associated in an agreement with
respect to justice and a partnership for the common good.
Jadi, ”bangsa” bukanlah
pengertian deskriptif. Bangsa Indonesia bukan satu fakta. Ia ada karena
berupa status nascendi yang permanen, dari naturnya ia selalu in
potentia, tak pernah in actu. Maka, istilah ”bangsa” bukan menyatakan
keadaan yang mantap/tuntas, tetapi suatu gerakan. Suatu kemauan, suatu
usaha kolektif. Setiap orang diikutsertakan, diperhitungkan sebagai
”orang” (diwongke) hingga punya
sense of belonging. Dengan kata
lain, our Indonesia is not a thing
of mere physical locality.
Kemelut kebudayaan dan kerawanan
dasar pembentukan bangsa Indonesia bukan merupakan takdir. Ia adalah
nasib yang sebenarnya bisa baik asal saja kita wujudkan usaha kolektif
yang relevan dengan realitas budaya yang telah kita ciptakan sendiri
karena memang dikehendaki. Ada dua usaha pokok yang sebenarnya bisa
diandalkan untuk keperluan itu, yaitu pembangunan pendidikan dan
kebudayaan, serta bersamaan dengan itu, pembangunan nasional. Kita tahu,
kedua usaha besar yang memang ada dilakukan setiap pemerintah yang
berkuasa hanya membawa Indonesia ke lembah kekacauan karena hanya
merupakan the misdirection of its
strength and the abuse of its resources. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar