Kamis, 12 Juli 2012

RUU PT dan Upaya Menaikkan Angka Partisipasi

RUU PT dan Upaya Menaikkan Angka Partisipasi
Sukemi ; Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media  
SINDO, 12 Juli 2012


Persoalan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) ternyata bukan hanya soal otonomi yang kini ramai dibicarakan. Ada hal lain yang juga perlu disampaikan dan amat strategis untuk masa depan perjalanan sebuah perguruan tinggi. 
Apa itu? Yakni berkait dengan upaya pemerintah dalam menaikkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi, dan harmonisasi pendidikan vokasional dan akademik. Dua hal ini tentu bukan hanya dalam pencapaian APK, tapi juga berkait dengan kesiapan dan peran perguruan tinggi dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk mengisi pembangunan.

Itu sebabnya dalam RUU PT ditegaskan tentang fungsi perguruan tinggi sebagai wadah pendidikan calon pemimpin, pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan humaniora, serta sebagai pusat pengembangan peradaban bangsa (Pasal 25 ayat 1). Tulisan berikut akan mengemukakan beberapa hal strategis dari RUU PT selain persoalan otonomi.

Perguruan Tinggi Komunitas 

Satu terobosan baru dalam RUU PT adalah akan diberlakukannya pendidikan perguruan tinggi komunitas atau community college (CC).Program ini diharapkan dapat meningkatkan bukan hanya APK PT, melainkan juga menjembatani kekurangsiapan lulusan pendidikan memasuki pasar kerja. Pendirian program CC bukan tanpa alasan. Beberapa studi menunjukkan nilai positif dari program CC. Sekadar menyebutkan, studi yang dilakukan oleh Bernanke, B (2007).

Dalam “Speech At the US Chamber Education and Workforce Summit”, CC memberikan kontribusi nyata terhadap perluasan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi karena biayanya murah, jadwal yang lentur, lokasi yang dekat, karena tersebar merata di seluruh negara. Di AS hampir 50% mahasiswa mengikuti pendidikan tinggi melalui CC. Community college sangat membantu pemenuhan kebutuhan pelatihan khusus, pendidikan perbaikan (remedial), dan pendidikan orang dewasa.

Lebih dari itu, melalui CC kebutuhan peningkatan APK dalam jumlah besar, dalam waktu cepat, membutuhkan model-model baru pengelolaan pendidikan tinggi dan menengah, yang antara lain dengan membangun CC minimal di tiap kota/ibu kota kabupaten. Melalui CC, biaya pendidikan tinggi akan dapat ditekan karena peserta didik tidak harus pergi terlalu jauh untuk bisa kuliah. Selain soal CC, dari sudut pandang pemerintah, sedikitnya ada dua hal penting lain yang menjadi dasar dalam penyusunan RUU PT.

Pertama, semangat otonomi yang berlandaskan pada amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), 31 Maret 2010, yang tidak boleh terjadi penyeragaman bentuk lembaga pendidikan; pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan; dan tidak terjadi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan, sebagaimana terdapat dalam UU BHP yang telah dibatalkan MK.

Ini menjadi amat penting, belajar pada UU BHP, RUU PT tidak boleh terulang lagi, setelah diundangkan kemudian dibatalkan MK. Kedua, berkait dengan kesetaraan. Tidak boleh lagi terjadi diskriminasi terhadap jenis pendidikan tinggi yang ada. Selama ini di jalur politeknik diperlakukan diskriminatif berkait dengan jenjang karier dan jabatan akademik. Itu sebabnya, dalam RUU PT, dimungkinkannya jalur politeknik untuk membuka jenjang S-2 dan S-3 terapan, serta jabatan akademik sebagai guru besar terapan. Sebelumnya jalur politeknik hanya membatasi jabatan akademik tertinggi sampai golongan IVC (lektor kepala).

Soal Otonomi? 

Berkait dengan otonomi, ada dua hal. Pertama, otonomi akademik, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah. Hal ini sejatinya sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Itu sebabnya, kekhawatiran terhadap RUU PT yang akan mengooptasi perguruan tinggi, terkikisnya daya kritis perguruan tinggi, independensinya akan tergadaikan, adalah sesuatu yang tidak akan terjadi.

Nilai kebebasan akademik sejatinya telah melekat dalam perguruan tinggi, bahkan dalam lingkup individu-individu di perguruan tinggi, sebagai seorang ilmuwan dan cendekiawan. Otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih tetap luas. Apalagi dalam penjelasan RUU PT ditambahkan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi negeri harus bebas dari pengaruh politik praktis.

Bagaimana dengan masih adanya pasal yang menyatakan kurikulum, program studi, dan penelitian akan diatur melalui peraturan menteri? Sesungguhnya hal itu bagian lain dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat. Bukankah saat ini banyak perguruan tinggi yang membuka program studi yang tidak jelas dan tidak terakreditasi. Jika ini dibiarkan, bukankah masyarakat yang justru dirugikan? Kedua, otonomi pengelolaan keuangan.

Para pengelola perguruan tinggi berharap otonomi pengelolaan keuangan dapat diberikan seluas-luasnya sehingga mereka bisa leluasa menentukan dan mengatur anggaran perguruan tinggi. Tapi, sebagian masyarakat mengkhawatirkan, jika otonomi pengelolaan keuangan diberikan seluas-luasnya pada tiap perguruan tinggi, bukan mustahil penentuan biaya akan dilakukan seenaknya.

Kekhawatiran ini amat beralasan karena ketika diberlakukannya UU PTBHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara), yang kemudian dibatalkan oleh MK, telah terbukti bahwa perguruan tinggi yang ber-BHMN terkesan seenaknya dalam menentukan besaran biaya pendidikan. Itu sebabnya dalam pengelolaan otonomi keuangan, khususnya bagi PTN, RUU ini telah menyiapkan tiga pilihan otonomi yang akan diberikan.

Pertama, PTN yang difungsikan sebagai satuan kerja (satker) yang menjalankan pola pengelola keuangan negara sebagaimana diatur dalam PP 66 Tahun 2010 dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 20 Tahun 1997 tentang PNBP (PPK-Negara). Kedua, sebagai satuan kerja (satker) yang menjalankan pola pengelola keuangan badan layanan umum (BLU) juga telah diatur dalam PP 66 Tahun 2010 dan UU No1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 20 Tahun 1997 tentang PNBP (PPK-BLU).

Ketiga, perguruan tinggi negeri otonomi penuh sebagai badan hukum (PTN BH). Pola pengelolaan otonomi dan transisi dari PPK-Negara ke PPK-BLU dan dari PPK-BLU ke Badan Hukum (PTN BH) akan diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah ini penting karena sebelum pemberian hak otonomi penuh dalam pengelolaan keuangan harus dapat dipastikan PTN yang bersangkutan telah mendapatkan penguatan dalam tata kelola keuangan; mampu melakukan pemberdayaan terhadap sumber daya yang dimiliki; dan dapat melakukan sinergitas sehingga tidak mementingkan diri sendiri.

Tiga hal ini penting dimiliki sebelum sebuah PTN mendapatkan hak untuk menjadi PTN BH. Tapi, apa pun diskusi yang berkembang baik di masyarakat maupun di lembaga pembuat undang-undang, kita berharap kehadiran UU PT akan membawa manfaat baik bagi masyarakat, dunia usaha, pengelola perguruan tinggi, pemerintah maupun dosen. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar