Rabu, 11 Juli 2012

Kecerdasan Memenangkan Pertarungan Politik


Kecerdasan Memenangkan Pertarungan Politik
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
SUARA KARYA, 11 Juli 2012

Kampanye pilkada DKI Jakarta sudah berakhir dan dilanjutkan dengan pencoblosan hari ini. Segala janji politik dengan suguhan ala jual kecap manis nomor satu sudah tak henti-hentinya digelontorkan. Semua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur beramai-ramai menunjukkan diri sebagai figur yang lebih layak memimpin Jakarta lima tahun ke depan ketimbang calon lainnya.

Memang, kampanye politik pemilu atau pilkada tidak lain adalah suatu proses komunikasi politik dialogis antara para kontestan dengan para konstituen. Dan dalam kampanye-kampanye politik itu, para kontestan selalu berusaha untuk membangun image, citra dan pesona politiknya agar keberadaan mereka menarik simpatik konstituen. Namun, apakah image politik dapat terbangun dalam kampanye pemilu dengan waktu yang begitu singkat?

Pertanyaan tersebut layak diadopsi mengingat kampanye politik baik dalam teori maupun dalam prakteknya selama ini secara sederhana diartikan sebagai suatu aktivitas pengumpulan massa, parade-mobilisasi massa, orasi politik, pemasaran atribut partai seperti umbul-umbul, poster, spanduk, brosur dan pengiklanan di media massa. Jangka waktu pelaksanaan kampanye sudah ditentukan oleh panitia pemilu yang sangat terbatas yang kemudian diakhiri dengan pemungutan suara untuk menentukan konstituen pemenang pilkada.

Padahal, terjadinya interaksi yang baik antara konstestan dengan masyarakat secara efektif seharusnya dilakukan lewat "kampanye" atau "dialog" yang terus-menerus dalam keseharian dan dari waktu ke waktu dengan intensitas yang terukur dan permanen.

Tujuan kampanye politik tidak lain adalah untuk menciptakan semangat dan kebersamaan politik demi terbangunnya persamaan persepsi politik. Dan di dalam kampanye, sasaran utama yang ingin diraih oleh para kontestan adalah menarik simpati konstituen agar pada saat pemilihan, para kontestannyalah yang dipilih. Maka, usaha yang dilakukan oleh para kontestan adalah membangun citra dan pesona atau image politik secara baik. Di dalam image, citra dan pesona politik itulah yang merupakan sarana pendukung keberhasilan dalam pemenangan pemilu. Konsekuensi logisnya, persaingan dalam kampanye sesungguhnya adalah persaingan dalam membangun image, citra dan pesona politik.

Untuk itu benar, kata A. Locke dan P. Harris (1996) bahwa kampanye politik terkait erat dengan pembentukan image, citra dan pesona politik. Dalam kampanye politik terdapat dua hubungan yang akan dibangun, yaitu internal dan eksternal. Hubungan internal adalah suatu proses antara anggota-anggota parpol dengan pendukung untuk memperkuat ikatan ideologis dan identitas mereka. Sementara hubungan eksternal dilakukan untuk mengomunikasikan image, citra dan pesona yang akan dibangun kepada pihak luar parpol atau para kandidat, termasuk media massa dan masyarakat luas. Dan dalam membangun image, citra dan pesona politik ini, parpol harus memiliki karakteristik sendiri dibandingkan dengan para pesaingnya.

Perlu dicatat bahwa demi membangun image, citra dan pesona politik ini, bukan saja terjadi di seputar kampanye pemilu atau pilkada tetapi juga harus dibangun dari waktu ke waktu baik sebelum maupun sesudah pemilu atau pilkada. Atau, citra politik harus dibangun melalui proses interaksi yang terus menerus dengan masyarakat agar nilai-nilai kampanye tidak mudah hilang dari mamori kolektif masyarakat. Karena itulah kerap dikatakan preferensi pemilih akan kandidat atau konstituen tertentu sudah terbentuk jauh hari sebelum kampanye pemilu atau pikada dimulai. Preferensi pemilih tidak dapat dibentuk hanya dengan kampanye pemilu yang bersifat jangka pendek.

Oleh karena itu pula, citra politik seorang kandidat dilihat dari citra dan, pesona pribadi sebelumnya. Karena itu pula, pertama, sulit bagi seorang pemimpin yang sebelumnya sudah dinilai gagal, dipilih lagi pada pemilu atau pilkada berikut. Kedua, sulit bagi seorang kontestan atau kandidat yang belum dikenal sebelumnya akan tiba-tiba menampilkan dirinya pada saat kampanye dengan waktu yang sangat singkat. Seorang kandidat "dadakan" yang belum dikenal publik dengan image, citra dan pesona politiknya yang belum diketahui sebelumnya memang dapat saja memenangkan sebuah pertarungan politik pemenangan pemilu atau pilkada.

Tetapi, hal ini hanya terjadi jika ia memiliki karisma dan pesona pribadi yang memang sangat istimewa jauh di atas rata-rata para kontestan atau kandidat lainnya. Dan ini hanyalah suatu perkecualian yang berada di luar rel analisa, studi, dan teori politik yang berlaku umum, bahkan itu dapat muncul di luar jalur demokrasi yang normal?

Untuk itu dalam demokrasi yang normal, para kontestan harus memiliki atau membangun citra dan pesona politik sepanjang waktu. Para kontestan yang memiliki kredibilitas bagus di masa lalu akan memudahkannya membentuk opini publik bahwa mereka memang pantas memenangkan pemilu atau pilkada.

Implikasinya, kontestan yang ingin memenangkan pemilu atau pilkada harus selalu hati-hati dan cerdas dalam segala tindak dan/atau perilakunya sehari-hari. Sekali mereka melakukan kesalahan dan menodai citra dan pesona diri dan/atau merusak citra dan pesona politiknya, akan menjadi cacat politik yang dengan sendirinya akan menghancurkan reputasi politik.

Membangun citra dan pesona politik sama dengan membangun kepercayaan publik. Jadi, tatkala citra dan pesona politik rontok, maka hancurlah kepercayaan publik. Sehingga, sangat sulit membangun citra dan pesona politik atau mempertahankan kepercayaan publik jika masyarakat sudah terlanjur tidak memiliki kepercayaan (trust) positif terhadap parpol atau kontestannya. Betapa sulitnya dapat membangun kepercayaan publik yang sudah terlanjur rontok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar