Minggu, 06 Juni 2021

 

Menghormati Kematian

Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas

KOMPAS, 02 Juni 2021

 

 

                                                           

Ketika angin berembus kencang terdengar suara desis dari tubuh lembu. Api tiba-tiba membesar dan asap membubung menggapai pepohonan di pekuburan. Para pelayat menyingkir dari sisi barat, mereka khawatir terimbas udara panas yang disemburkan lidah api. Aku lihat tubuh ringkih Ricka Cahyani perlahan jatuh dari dalam lembu untuk kemudian benar-benar diperabukan dalam raga Sang Hyang Agni.

 

Api dan lembu adalah dua simbol penting dalam ritus Ngaben di Bali. Api representasi dari Dewa Brahma, Sang Pencipta, sedangkan lembu adalah kendaraan Dewa Siwa, Sang Pelebur. Lewat perantaraan lembu, pertama-tama unsur-unsur pembentuk tubuh manusia (bhuwana alit) dikembalikan kepada semesta (bhuwana agung). Seluruh unsur yang menubuhkan manusia, disebut sebagai Panca Mahabhuta, yang terdiri dari Pertiwi (zat padat), Apah (zat cair), Teja (panas tubuh), Bayu (napas), Akasa (unsur terhalus dari badan yang menjadikan rambut dan kuku, disebut ether), dikembalikan lewat api ke alam semesta. Semesta besar (bhuwana agung) dipresentasikan sebagai asal mula, tubuh Tuhan yang meruang. Oleh sebab itulah muncul konsep tentang Tuhan sebagai wyapi wyapaka nirwikara, Tuhan berada di mana-mana, tidak terpengaruh dan tidak berubah.

 

Ruang semesta adalah asal mula kehidupan, di mana manusia beserta makhluk-makhluk lainnya, termasuk binatang dan pepohonan, mewujud menjadi ”semesta diri”, dengan unsur-unsur yang serupa: padat, cair, panas, uap, dan gas. Persenyawaan kelima unsur inilah yang menukilkan keberadaan makhluk hidup. Dalam kepercayaan ini terkandung pula pemahaman bahwa bhawuna agung (makrokosmos) menjadi pusat orientasi, terutama manusia timur yang disebut kosmosentrisme. Kecenderungan ini menyebabkan perbedaan orientasi manusia Barat dengan Timur. Jika Barat berorientasi pada antroposentrisme, yang sepenuhnya menumpukan kemampuan hidup manusia berasal dari dalam diri, maka kosmosentrisme menyandarkan diri pada kekuatan maha-besar bernama alam semesta. Cara pandang yang berbeda ini sangat berpengaruh terhadap persepsi manusia terhadap berbagai fakta dan fenomena di sekitar hidupnya.

 

Kedua, ada konsep penyatuan yang disebut dengan aham brahman asmi, Tuhan bersatu di dalam diri, di mana Atman (roh), melalui perantaraan lembu, diharapkan bersatu dengan Tuhan. Oleh sebab itu, upacara Ngaben dianggap sebagai ritus untuk mengantarkan Atman ke alam di mana ia berasal mula. Menurut kepercayaan, hanya dengan cara itulah Atman akan menuju ke alam Pitara. Ia telah menjadi ”setengah dewa” untuk kemudian layak disemayamkan di merajan (pura keluarga).

 

Dalam ritus Ngaben yang rumit dan panjang, terdapat satu tahapan paling penting, yakni pelebon atau kremasi jenazah. Kremasi banyak disalahpahami sebagai kesadisan, sebuah tindakan horor terhadap jenazah, yang seharusnya diperlakukan secara lebih terhormat dan bermartabat. Aku ingat, mendiang Dokter Anak Agung Made Djelantik bercerita tentang opini istrinya, Astri Zwart (ibunda almarhum Bulantrisna Djelantik), yang melihat Ngaben sebagai peristiwa horor. ”Ia tidak tahan melihat jenazah dibakar, apalagi dibolak-balik. Dia bilang tidak manusiawi,” kira-kira begitu ujar Dokter Djelantik kepadaku.

 

Sebagai seorang budayawan, Dokter Djelantik kemudian mengusulkan lewat forum-forum adat dan agama di Bali agar pembakaran jenazah dalam upacara Ngaben ”dilembagakan” dalam sebentuk krematorium. Djelantik melihat wahana seperti krematorium sebagai tempat menghormati dan memperlakukan jenazah secara lebih martabat dan ”manusiawi”. Ia bahkan kemudian berjanji, apabila istrinya yang berdarah Belanda nanti meninggal, ia tidak akan mengizinkan diperlakukan secara horor. Ia ingin Astri disemayamkan dalam krematorium, untuk mengenang dan menghormatinya secara lebih layak.

 

Usulan Djelantik datang terlalu dini. Tahun 1980-an, kebanyakan pemuka adat dan agama di Bali memegang teguh warisan tradisi yang telah mereka terima dari para leluhur. Pembuatan wahana seperti krematorium dianggap pamali, seolah ”mendoakan” orang supaya cepat meninggal. Hal-hal semacam itu dianggap tabu dan berakibat tidak baik dalam tatanan adat, agama, dan sosial masyarakat. Oleh karena itu, usulan Djelantik ditolak mentah-mentah, bahkan dicap ingin ”membaratkan” Bali. Tudingan itu tentu saja dilatarbelakangi oleh sentimen personal, karena kebetulan pasangan hidup Djelantik berasal dari Belanda.

 

Sesungguhnya tahun 1990-an telah terjadi perubahan secara perlahan. Kremasi jenazah tidak wajib lagi menggunakan kayu bakar sebagaimana yang sampai kini kita saksikan di India. Telah muncul inovasi menggunakan semacam kompor dengan bahan bakar minyak tanah. Cara ”baru” ini mempercepat proses kremasi sehingga mengurangi kesan ”horor” dalam memperlakukan jasad. Jika kremasi dengan menggunakan kayu bakar memakan waktu 4-5 jam, kompor minyak bisa menyelesaikannya dalam waktu 2-3 jam.

 

Seiring dengan tuntutan efisiensi waktu, tenaga, dan mempertimbangkan hal-hal yang lebih bermartabat, tahun 2000-an mulai diperkenalkan krematorium walaupun diawali oleh umat Kristiani di Bali. Perlahan-lahan kelompok-kelompok soroh (klan) mulai merancang bahwa krematorium menjadi kebutuhan penting di era modern. Guru Besar Universitas Hindu Indonesia Prof Dr Ketut Sumadi melihat fenomena ini secara moderat. Katanya, tradisi itu kebiasaan yang bisa berubah seiring kebutuhan hidup manusia. Mistifikasi terhadap tradisi sering kali sebagai upaya untuk menjaganya agar tidak dilupakan oleh generasi pelanjut.

 

”Bukan berarti tidak bisa berubah. Krematorium itu berkembang seiring dengan keadaban. Penghargaan dan penghormatan kita kepada HAM, misalnya, kan terus berkembang. Begitu juga tata cara, sopan santun, dan etika kita dalam memperlakukan jenazah,” katanya.

 

Ia melihat ajaran dan tradisi di Bali jauh lebih lentur dibandingkan di negara seperti India. Dalam situasi darurat Covid-19 sejak bulan April 2021, misalnya, banyak orang mengkremasi jasad keluarganya di jalanan dengan seonggok kayu. Seluruh krematorium di kota seperti New Delhi telah penuh. Orang-orang mengantre selama 24 jam untuk mengkremasi jasad keluarganya, sebagai tanda bhakti dan penghormatan terakhir.

 

Seiring dengan itu, kata Sumadi, di Bali tumbuh beberapa krematorium yang disiapkan oleh komunitas-komunitas yang dikelola mirip dengan ”badan usaha sosial”. ”Pada saat terjadi krisis seperti pandemi, wahana ini sangat dibutuhkan sebagai katalisator penyaluran rasa bhakti secara lebih terhormat,” katanya.

 

Djelantik mungkin memang terpengaruh Barat, karena ia selama puluhan tahun bersekolah dan kemudian bekerja di Eropa. Tetapi, ia juga seorang pewaris puri di Kerajaan Karangasem, yang memiliki pengetahuan dan bekal tradisi kuat. Oleh sebab itu, ia tetap mengkremasi jenazah istrinya, Astri, secara Hindu di krematorium. Hakikatnya, tidak hanya pada tata cara, tetapi juga pada kepercayaan bahwa kremasi adalah jalan terhormat untuk memprabukan jasad dan kemudian mengantarkan roh kembali ke alam semesta.

 

Tata cara memperlakukan jenazah dengan kremasi diperkirakan sudah muncul 17.000 tahun lalu, dengan bukti arkeologis tulang-belulang Mungo Lady di Danau Mungo, Australia. Pada beberapa periode zaman, kremasi muncul tenggelam sebagai perlakuan terhadap jenazah. Di Timur Tengah dan Eropa, pada masa-masa tertentu karena pengaruh agama, kremasi terhadap jenazah dilarang, tetapi pada masa-masa berikutnya, terutama bagi penganut Kristiani, kremasi justru dibenarkan untuk dilakukan.

 

Di Bali, Ngaben menjadi ”tontonan” paling eksotik bagi para wisatawan. Bahkan, pada awal tahun 1930-an seiring politik etis, Pemerintah Kolonial Belanda meluncurkan program apa yang disebut sebagai Baliseering. Belanda merasa bahwa kebudayaan dan tatanan tradisi di Bali perlu ”dimodernisasi” untuk menghapus kesan primitif. Selain itu, Baliseering atau Balinisasi sesungguhnya diluncurkan sebagai program bermatra ganda. Pertama, Belanda ingin ”melindungi” Bali dari pengaruh luar, terutama penetrasi agama Kristen dan Islam. Kedua, penggelaran upacara-upacara seperti Ngaben memunculkan daya tarik bagi wisatawan asing. Sesungguhnya sejak tahun 1914 Belanda sudah secara aktif mempromosikan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang eksotik. Slogan-slogan seperti Bali sebagai the last paradise selalu didengungkan untuk menarik orang-orang Eropa ke Bali.

 

Ketiga, Belanda sedang ditekan oleh parlemen Eropa karena memperlakukan negeri jajahan secara tidak manusiawi. Oleh sebab itu, seiring dengan pemberlakuan politik etis, Belanda juga melakukan Balinisasi di Pulau Bali. Salah satu dampak yang kemudian meninggalkan jejak sampai kini terlihat pada upacara Ngaben. Ritus ini tidak hanya dilihat sebagai ”kewajiban” dalam agama, tetapi lebih-lebih adalah ”atraksi” budaya yang bisa menarik minat para wisatawan. Terbukti, misalnya, Ngaben di Puri Gianyar hampir selalu dilakukan secara megah, bahkan dengan mengundang jaringan televisi negara asing.

 

Siang perlahan-lahan turun menjadi sore. Jasad Ricka Cahyani sudah luluh menjadi abu. Begitu juga dengan lima jasad lain yang juga dikremasi di Setra Tebasaya, Ubud, Bali. Enam lembu yang dibangun dengan cita rasa tinggi pun telah berubah menjadi arang. Upacara belum selesai. Setelah melalui tahapan upacara yang rumit dipimpin oleh seorang pendeta, abu jenazah harus dilarung ke laut atau muara sungai. Kami semua secara beriringan menuju Pantai Masceti, di selatan Kota Gianyar, untuk melarung abu Ricka Cahyani.

 

Pelarungan berintikan pengembalian secara paripurna seluruh unsur badan wadag manusia ke dalam ruang semesta di mana ia berasal mula. Laut diposisikan sebagai pelebur mala dan pengantar sempurna semesta diri untuk menemukan pelabuhan terakhir dari pengembaraan hidup manusia: nirwana.

 

Semoga Ricka Cahyani, keponakan kami yang baru berusia 43 tahun, benar-benar bertemu dengan Sang Pencipta. Lalu dari ketinggian langit ia memberi berkat kedamaian dan jalan kebahagiaan kepada tiga anaknya, yang masih terlalu muda, untuk bertarung menjalani hidup. Selamat jalan Ricka. Doa kami tak putus kepadamu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar