Pementasan
Ketoprak Plesedan Penuh Lelucon dan Pitutur Selo Soemardjan ; Sosiolog (1915-2003) |
KOMPAS, 13 Juni 2021 (15
Maret 1992)
Sudah lebih dari 10 tahun
lamanya saya tidak melihat pertunjukan ketoprak. Bagi seorang yang dilahirkan
dan dibesarkan di Yogya, waktu itu berarti lama sekali. Bayangkan, tahun 1932
saya untuk pertama kali melihat ketoprak di kampung saya, Kumetiran. Sejak
itu saya tidak melewatkan setiap kesempatan untuk melihat lagi. Tanggal 15
Februari 1992 saya saksikan pementasan ketoprak di Jakarta. Melebihi harapan saya,
mutu Ketoprak Plesedan ini amat tinggi, baik dalam akting pemain, dialog,
kecepatan urutan adegan-adegan dan yang paling hebat humornya! Selama dua
setengah jam saya tidak ada henti-hentinya tertawa. Seperti juga Rendra yang
duduk di samping saya! Humornya segar, orisinal, mengandung kritik sosial
atau malahan berisi pitutur dan piwulang! Gamelannya, kombinasi dari gamelan
tradisional Jawa dan organ modern, selalu sinkron dengan akting para pemain,
sehingga mendukung dan memperindah seluruh pergelaran. Begitu banyaknya humor
yang ditampilkan, sehingga saya tidak dapat ingat semuanya. Akan tetapi di
bawah ini saya coba membeberkan beberapa kutipan dengan saya tambah makna
yang menurut perasaan saya terkandung dalam tiap lelucon. Semua dialog,
termasuk humor, diucapkan dalam bahasa Jawa, sering ngoko (rendah), sering
juga kromo hinggil (tinggi). Seperti lelucon dengan bahasa apa saja di dunia,
kalau diterjemahkan hilang sebagian atau seluruh isi humornya. Di sini
demikian juga. Tulisan ini bukan tulisan
ilmiah, akan tetapi saya pernah mendengar seorang ahli ilmu kebudayaan
mengatakan, humor itu hanya dapat dimengerti dan diapresiasi dalam bahasa aslinya
dan dengan latar belakang kebudayaannya. Di luar itu rasanya cemplang, kurang
garam! Salah satunya adalah
lelucon yang mengandung kritik sosial. Ada seorang Adipati Trenggalek sedang
membujuk anaknya laki-laki supaya mau kawin dengan gadis yang dipilihkan oleh
ayahnya. Adipati, "Kamu ingin
saya jodohkan dengan seorang gadis yang saya pilihkan bagimu! Sanggupkah
kamu?" Anak, "Sendika!
(Siap)!" Adipati, "Sebaiknya
kapan?" Anak, "Dua tahun
lagi!" Adipati, "Mengapa
tunggu begitu lama?" Anak, "Skripsi, Pak?
Belum selesai!" Adipati, "Apa skripsi
itu perlu?" Anak, "Sebenarnya
tidak, Pak. Sebagai putra Bapak Adipati, tanpa skripsi saya juga bisa
lulus." Pada kesempatan lain anak
Adipati bertemu dengan seorang warok terkenal yang mempunyai anak gadis
cantik. Anak Adipati, "Bapak,
sebaiknya anakmu Soeminten itu saya angkat menjadi istri saya kedua!" Warok, "Wah! Jangan
dong!" Anak Adipati, "Lho,
mumpung di Trenggalek sini belum ada PP 10!" Ada juga lelucon yang
secara spontan diucapkan menanggapi keadaan yang pada saat itu dilihat oleh
para pemain. Lelucon spontan itu biasanya hanya mungkin dilontarkan oleh
orang yang jiwanya memang berisikan kemampuan untuk seketika memberi reaksi
atau tanggapan yang penuh humor terhadap suatu situasi yang saat itu
dialaminya. Jelasnya hanya orang yang benar-benar mempunyai bakat humor dapat
mencetuskan lelucon spontan. Ada adegan di mana seorang
pemain pria sedang bercumbu mesra dengan pemain wanita. Tentunya di atas
panggung. Sekonyong-konyong si wanita menjerit dan mau lari, "Saya malu,
malu, malu." Si pria kaget dan bertanya, "Ada apa? Ada apa?"
Jawab si wanita, "Itu ada orang nginjen (mengintip)!" Memang di
depan panggung ada seorang wartawan foto (bukan pemain ketoprak) yang jongkok
untuk mengambil juga kaget dan lari. Ada adegan lain yang
memberikan kesempatan untuk lelucon spontan. Seorang pria bertengkar dengan
seorang warok, yaitu jagoan berkelahi. Pertengkaran hampir beralih menjadi
perkelahian fisik. Si pria takut, kemudian lari. Si warok tidak mengejar.
Beberapa detik kemudian si pria kembali lagi. Dibentak oleh si warok,
"Mengapa kamu kembali lagi?" Jawabnya, "Jalannya sana
buntu." Memang dia salah jalan waktu lari, jalan buntu! Lelucon yang berikut ini
juga mengandung kritik sosial. Di dalam suatu dialog seorang pemain
mengatakan, "Ketoprak kita ini sebenarnya mirip dengan pers. Ketoprak
kita bersifat ketoprak plesedan. Pers itu juga plesedan. Tetapi kalau
ketoprak kita sengaja memplesedkan kata atau bahasa supaya penonton ketawa,
kalau pers bisa keplesed dan dicabut surat izin usaha penerbitan (SIUPP)-nya.
Akibatnya menyedihkan." Sebenarnya selama berada
di panggung tidak banyak plesedan kata atau bahasa yang sungguh-sungguh
diucapkan. Mungkin yang di bawah ini boleh dinamakan plesedan. Sekali lagi
ada adegan di mana dua orang salaing bertengkar. Pihak yang ditantang
berkelahi dengan gagah dan berani bersumbar, "Apa abamu! Apa kamu kira
saya berani?" Sebenarnya, "Apa kamu kira saya takut?" Tetapi
karena terlalu emosi malah keliru. Kemudian masih dilanjutkan, "Ayo!
Rawe-rawe rantas, malang-malang...." Sebenarnya yang harus dikatakan,
"Rawe-rawe rantas, malang-malang putung," yang berarti semua
rintangan akan saya patahkan. Tetapi karena gugup dan takut, jadinya,
"Rawe-rawe rantas, Malang, Kediri, Blitar, Surabaya..." Cara memberi komando
kepada pasukan seperti di bawah ini mungkin perlu diperhatikan oleh ABRI. Di
dalam semangat ABRI, komando kepada pasukan selalu diberikan dengan teriak
keras sekali diakhiri perintah seperti membentak. Misalnya, "Pasukan
maju jalaaaaan... Gerak!" Suara keras dan sikap tegak, saling memperkuat
semangat militernya. Di dalam Ketoprak Plesedan
juga ada pasukan. Pasukan Jawa asli. Caranya memberi komando juga dengan
bahasa Jawa, kromo hinggil, dibarengi gerak-gerik sopan santun Jawa halus.
Gerak pasukannya berdisiplin tinggi, tetapi halus. Contoh komandonya,
"Samudayanipun (semuanya) mlampah majeng ... Mangga! Artinya,
"Semuanya, maju jalan ... silakan." Kemudian, "Samudayanipun
atereeeet ... mangga!" Ateret adalah dari bahasa Belanda achteruit atau
mundur! Isi dialog tidak semuanya
bersifat lelucon. Ada dialog yang agak panjang yang secara intelektual
bermutu. Di dalam dialog itu terungkap perbedaan pikiran dan sikap seorang
priyayi agung tradisional yang berhadapan dengan anak lelakinya yang modern
dan berpendidikan sampai perguruan tinggi. Bapaknya, Adipati Trenggalek,
hendak membujuk anaknya supaya mau kawin dengan anak perempuan seorang warok
yang berjasa kepada sang Adipati. Adipati, "Anakku,
dengarkan dawuhku! Kamusaya lihat sudah cukup dewasa untuk mempunyai seorang
istri!" Anak, "Nuwun sewu,
Bapak. Kalau Bapak menganggap saya sudah cukup dewasa, bukankah sudah
sepantasnya kalau Bapak tidak dawuh (perintah) kepada saya,tetapi
membicarakan dengan saya. Lebih-lebih mengenai perkawinan yang akan mengenai
kepentingan hidup saya pribadi." Adipati, "Bolehlah
kita bicara. Saya telah memilih gadis cantik untuk menjadi istrimu!" Anak, "Saya
menghargai pilihan Bapak itu. Tetapi kalau saya harus beristri, apakah tidak
sebaiknya saya memilih sendiri istri itu. Kalau tidak senang dengan gadis
pilihan Bapak, apakah saya dengan istri nanti tidak jatuh dalam lembah
sengsara?" Adipati, "Ketahuilah,
Nak! Waktu saya kawin dengan ibumu dulu, ibumu itu juga pilihan orangtua
saya. Saya juga tidak mengenal ibumu lebih dahulu. Meskipun demikian saya dan
ibumu selalu dapat hidup rukun dan dapat menciptakan keluarga yang berbahagia
serta terhormat." Anak, "Saya percaya
penuh kata-kata Bapak itu. Tetapi ukuran kebahagiaan suami-istri dan keluarga
Bapak dahulu sudah berbeda. Bapak dan ibu rukun dalam arti Bapak selalu
memberi perintah dan ibu menurut. Hubungan suami-istri yang demikian itu
memang dikehendaki oleh kebudayaan yang dialami oleh bapak dan ibu dahulu. Tetapi sekarang! Kerukunan
dan kebahagiaan suami-istri didasarkan atas persamaan kedudukan. Tidak pantas
lagi suami perintah terus dan istri tunduk terus. Kalau ada sesuatu yang
penting yang harus diputuskan, suami-istri harus membicarakannya. Keputusan
diambil bersama! Kalau suami-istri tidak saling mengenal sebelumnya, dan
perkawinan tidak didasarkan atas rasa cinta-mencintai dan hormat-
menghormati, semuanya itu sekarang tidak mungkin." Bapak, "Saya lihat
kamu itu hanya memikirkan kepentingan dirimu sendiri. Itukah sifat dan sikap
manusia zaman modern sekarang? Mengertilah, bahwa gadis yang saya pilihkan
bagimu itu anaknya warok di Trenggalek yang sudah berjasa besar kepada
bapakmu dan kepada rakyat Trenggalek, karena dia dapat mengalahkan
warok-warok lain yang mengganggu keamanan. Kalau kamu kawin dengan anaknya
perempuan maka pertalian besar antara saya dan warok itu akan lebih
memperkokoh lagi pemerintahan di Trenggalek. Sebagai anakku kamu berwajib
untuk memikirkan dan mengusahakan kelestarian pemerintahan Trenggalek!" Anak, "Kalau itu
pertimbangan Bapak maka perkawinan itu sebenarnya bukan perkawinan antara
saya dan gadis anak warok itu, akan tetapi antara Adipati Trenggalek dan
warok, bukan? Saya mohon maaf, tetapi saya tidak bersedia dijadikan korban
untuk perkawinan! Saya merasa seolah-olah hanya dijadikan hadiah saja untuk
menghargai jasa-jasa warok itu kepada Bapak!" Bapak, "Saya kecewa
sekali kamu tidak mengerti berterima kasih kepada bapakmu. Bukankah saya dan
ibu yang membesarkan kamu, bukankah saya dan ibumu yang memberikan pendidikan
dan kedudukan terhormat bagimu? Sekarang tunjukkanlah terima kasihmu dengan
mengikuti keputusanku. Itulah wajib anak terhadap orangtua!" Anak, "Saya berterima
kasih benar atas segala yang bapak dan ibu berikan kepada saya. Tetapi cara
mewujudkan terima kasih itu tidak seperti yang bapak uraikan tadi. Manusia
berada di dunia in karena kehendak Tuhan. Manusia itu wajib untuk berterima
kasih kepada orangtua dan Tuhan. Terima kasih kepada
orangtua ditunjukkan dengan hidup yang baik dan selalu menghormati kepada
orangtua. Ada pun terima kasih kepada Tuhan diwujudkan dengan pembinaan
terhadap anak agar anak itu menjadi manusia yang baik dan taat kepada Tuhan.
Eyang mendidik anaknya, yaitu bapak, bapak mendidik anaknya, yaitu saya. Saya
mendirik anak saya, yaitu cucu Bapak. Itulah terima kasih anak kepada
orangtua dan kepada Tuhan." Bapak, "Kalau begitu
kamu menolak perintah Bapakmu." Anak, "Dengan segala
kerendahan hati, saya tidak dapat menerima keputusan Bapak mengenai gadis
yang harus saya peristri. Saya akan mempunyai pilihan sendiri." Bapak, "Kalau begitu,
kamu saya usir dari rumah ini." Sebagai penonton Ketoprak
Plesedan saya terkesan atas dialog di atas. Isinya bukan lagi lelucon belaka,
akan tetapi menggambarkan frustrasi seorang bapak yang masih berpegangan pada
kebudayaan dan nilai-nilai sosial yang sekarang sudah kehilangan kekuatannya. Sebaliknya si anak juga
mengalami frustrasi oleh karena mempunyai pendirian yang diresapkannya dari
kebudayaan serta nilai-nilai sosial yang berlaku sekarang dan yang berbeda,
bahkan bertentangan dengan yang masih dianut oleh bapaknya. Kesenjangan
budaya antargenerasi terbuka dengan jelas di dalam dialog pendek itu. Selain menunjukkan adanya
kesenjangan antargenerasi, dialog itu berisikan juga sekelumit filsafat.
Menurut bapak, makna terima kasih anak kepada orangtua diarahkan kepada
orangtua itu, yaitu dengan tunduk pada keputusan orangtua. Anak bersikap,
terima kasih kepada orangtua wajib diberikan oleh si anak,tetapi dengan cara
hidup yang baik dan menghormat kepada orangtua tanpa mengorbankan kepribadian
dirinya (kepribadian anak). Akan tetapi, di samping
itu manusia, termasuk si anak itu, harus berterima kasih juga kepada Tuhan.
Dan terima kasih kepada Tuhan itu diwujudkan tidak ke atas, artinya tidak
kepada orangtua, akan tetapi malahan ke bawah, yaitu kepada anak. Bimbingan
dan pembinaan kepada anak akan melestarikan eksistensi manusia di dunia ini
seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Alhasil saya bergembira
sekali mendapat kesempatan menyaksikan pementasan Ketoprak Plesedan ini. Saya
dapat tertawa dengan bebas, tetapi saya juga mendapat berbagai pitutur yang
berharga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar