Selasa, 15 Juni 2021

 

Merawat Relasi Negara-Masyarakat

Boni Hargens ;  Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI); Mengajar di sejumlah universitas di Tanah

KOMPAS, 14 Juni 2021

 

 

                                                           

Selain “menyejahterakan rakyat”, apa agenda teleologis negara demokrasi yang memungkinkan alibi dan narasi kekuasaan mendapatkan justifikasi moral dalam beragam situasi kontroversial? Mungkinkah relasi negara-masyarakat berada pada titik keseimbangan yang harmonis?

 

Tahun 1956, sosiolog Amerika, Wright Mills (1916-1962) menerbitkan naskah berjudul The Power Elite, elite kekuasaan. Pada bagian awal, Mills berbicara soal hidup banyak orang yang acapkali tidak dibentuk oleh kehendak dan rancangan sendiri, tetapi diciptakan oleh kepentingan segelintir orang yang lebih berkuasa daripada kebanyakan dalam masyarakat, terutama pada gatra politik dan ekonomi.

 

Mereka ini yang disebutnya “elite kekuasaan” atau “orang-orang hebat” (great men) dalam bahasa sejarawan budaya Swiss, Carl Jacob Christoph Burckhardt (1818-1897). Meski berbicara soal dinamika demokrasi Amerika Serikat pada masanya, tesis Mills selalu relevan dalam beragam konteks.

 

Membaca realitas sosial-politik dalam paradigma kekuasaan, terutama bila diletakkan dalam perspektif elitis, sebetulnya membaca dua kelas: “yang berkuasa” dan “yang dikuasai”. Demokrasi, sejak awal, mewartakan esensi kedaulatan rakyat sebagai roh utama dari demokrasi—yang dalam praksis dipercayakan kepada segelintir wakil yang duduk dalam ruang kekuasaan untuk bertindak atas dasar dan demi kemaslahatan rakyat an sich.

 

Sejarah membuktikan, di tangan elite politik, naluri kekuasaan tak selalu selaras dengan esensi moral dari kekuasaan per se. Sebagian elite bertindak “atas nama rakyat” untuk mengenyangkan diri. Korupsi politik dan politisasi identitas kelompok, terutama politisasi agama, merupakan contoh praksis pragmatis yang mengikis kandungan moral kekuasaan.

 

Tanggalkan isu dangkal

 

Kita baru di ujung paruh pertama 2021, wacana Pemilihan Presiden 2024 sudah menguat. Nama-nama bahkan berseliweran di media massa. Di tengah pandemi yang memunculkan variasi keresahan sosial, kita disuguhi berita politik dangkal, temporal, dan jauh dari pergumulan hidup rakyat jelata.

 

Sebagian orang merasa itu dinamika biasa. Pasalnya, politik selalu berbicara siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Namun, hal yang bisa disangkal, pengadilan moral berlangsung dalam wilayah nurani. Setiap kita yang memiliki kepedulian etis terhadap bangsa dan negara tentu tidak bahagia dengan tontonan serupa.

 

Bagi seorang negarawan, keselamatan rakyat dan kepentingan negara adalah dua realitas yang tak terpisahkan, bahkan saling mensyarati. Tanpa keselamatan rakyat, negara serentak kehilangan esensi ontologis dan tujuan teleologisnya. Sebaliknya, tanpa merawat kepentingan negara (konstitusi, kebijakan, keamanan perangkat negara, keutuhan wilayah, ketahanan ideologi, dan sebagainya), mustahil keselamatan rakyat terwujud.

 

Apakah salah kalau ambisi elite politik selalu mendominasi berita media massa? Ini bukan perkara salah atau benar, melainkan perihal etis atau tidak. Pemerintahan Presiden Joko Widodo baru berakhir tiga tahun lagi. Di tengah kompleksitas sosial hari ini, rakyat berada di titik paling rawan. Dituntut imajinasi moral dan tanggung jawab etis dari elite politik untuk memprioritaskan nasib rakyat daripada agenda pragmatis pemilu yang masih jauh.

 

Kemelut relasi negara-masyarakat

 

Situasi hari ini tak sesederhana kelihatannya. Benturan sosial yang keras sebelum dan setelah Pemilu 2019 masih menyisakan turbulensi berkelanjutan yang, bagaimanapun, berpotensi sebagai bom waktu di masa depan.

 

Radikalisme, terorisme, dan separatisme merupakan ancaman kasatmata yang dihadapi bangsa dan negara. Konsolidasi di tengah masyarakat dan di tataran elite belum tuntas dalam merespons tiga ancaman tersebut.

 

Otonomi khusus untuk Papua masih mendapat perlawanan keras. Saat yang sama, isu “radikalisme” mengalami politisasi kebablasan, terutama oleh sebagian oposisi politik. Hal itu dapat melemahkan kerja deradikalisasi yang sudah berjalan. Sebagian oposisi menilai radikalisme adalah terminologi bentukan rezim untuk membungkam lawan politik. Pandangan macam itu tentu masalah serius, bahkan lebih berbahaya daripada radikalisme itu sendiri.

 

Narasi ketidakadilan yang diusung kelompok populis kanan, terutama setelah Arab Spring sukses di Timur Tengah pasca-gebrakan besar di Tunisia tahun 2010, terus meningkatkan ketegangan konfliktual dalam relasi negara-masyarakat. Ini persoalan yang melampaui urusan pemilu. Ironisnya, sebagian elite politik memperlakukan isu macam ini sebagai amunisi elektoral.

 

Para sarjana terus berdebat soal apakah konsolidasi demokrasi sejak 1998 sudah berhasil atau berjalan di tempat. Kapan kita bisa keluar dari fase transisi politik? Perdebatan epistemologis macam ini memiliki implikasi praktis yang mendalam. Ujungnya kita akan berbicara soal keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beragam lembaga tambahan (auxiliary bodies) yang dibentuk untuk mendorong percepatan konsolidasi demokrasi di negara post-otoritarian.

 

Dalam sebuah diskusi publik, saya katakan sebagai respons terhadap seorang aktivis sosial, konsolidasi demokrasi belum tuntas. Indikator utamanya adalah keberfungsian pranata dasar demokrasi yang kita kenal sebagai “trias politika”. KPK hakikatnya lembaga ad hoc, sementara. Dia bisa dibubarkan ketika yudikatif dinilai sudah kuat untuk menjalankan fungsi penegakan hukum.

 

Faktum korupsi politik yang masih menggurita tentu membawa kita jauh dari lilin di ujung terowong yang gelap. Implikasinya, keberadaan KPK masih dibutuhkan, butuh terus didukung, dan diperkuat.

 

Apakah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) merupakan ancaman? Dalam konteks partikular, kompleksitas sosial tak bisa diatasi dengan sudut pandang tunggal. Ada persoalan radikalisme yang mengancam ketahanan ideologi Pancasila di satu sisi—dan telah lama menjalar di banyak institusi negara, dan ada kebutuhan penciptaan pemerintahan yang bersih di lain sisi. Keduanya fundamental dan sedapat mungkin diatasi secara bersamaan.

 

Dalam lensa ini, TWK perlu dilihat secara optimistis sebagai upaya memperkuat keberadaan dan peran KPK, terutama dalam hal menjaga komitmen moral orang-orang di dalamnya untuk berkiblat pada ideologi negara, bukan pada ideologi lain—meskipun sepintas tujuannya kelihatan serupa! Tujuan sama tak membenarkan perbedaan pendekatan. Perjuangan melawan korupsi harus diletakkan dalam kerangka ideologi negara, bukan pada ideologi lain.

 

Meski demikian, keresahan tentang pelemahan KPK, setelah adanya peralihan status pegawai independen menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), perlu menjadi refleksi seluruh elemen, terutama masyarakat sipil dalam peran pengawasan terhadap kekuasaan.

 

Rekomendasi

 

Rumitnya hubungan negara-masyarakat hari ini mencerminkan ketaksebangunan (incongruence) dalam sejumlah aspek. Pertama, ada pertentangan antara paradigma negara dan para masyarakat terhadap sejumlah isu strategis seperti TWK. Dalam situasi macam ini, sulit adanya harmoni pandangan.

 

Maka, sebaiknya isu TWK dikesampingkan dan kita kembali pada aturan hukum yang sudah baku sambil menanti pembuktian KPK dalam hal penguatan kinerja. Protes masyarakat perlu diterima sebagai refleksi sepanjang itu baik untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

 

Kedua, kesan adanya relasi konfliktual antara negara dan masyarakat menguat sejalan dengan penegakan hukum yang berjalan dengan tegas terhadap kelompok oposisi politik, terutama oposisi jalanan terseret kasus ujaran kebencian, tindak pidana kekerasan, dan propaganda radikal. Meski negara benar, strategi keseimbangan tetap dibutuhkan untuk mencegah ketegangan menjadi bom waktu di masa depan.

 

Ketiga, ketegangan relasional negara-masyarakat tentu tak terpisahkan dari agenda Pemilu 2024. Isu ketidakadilan, perlawanan terhadap pemerintah, dan beragam propaganda di ruang publik perlu dievaluasi kritis untuk membedakan permainan politik dari suara murni rakyat.

 

Keempat, perlu pembenahan komunikasi pemerintah, terutama dalam merespons serangan oposisi di media massa. Skenario penggalangan sering kali lebih efektif dibandingkan strategi ofensif. Kritik keras perlu direspons dengan cara yang berbeda dengan tetap menjaga keseimbangan frekuensi supaya wibawa negara tidak diremehkan.

 

Berikut, promosi prestasi pemerintah dan kerja keras aparat negara adalah upaya alternatif untuk menekan perlawanan oposisi politik tanpa masuk ke arena konflik yang sengaja diciptakan. Ada banyak contoh untuk ini. Pembangunan masif di Papua adalah bentuk kontribusi konkret pemerintah melawan propaganda kaum separatis.

 

Terowongan penghubung Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta adalah upaya membangun monumen toleransi. Pendekatan positif macam ini perlu ditingkatkan, bukan untuk menang atas oposisi, melainkan untuk membawa relasi negara-masyarakat pada titik keseimbangan yang harmonis. Selain itu, terutama, untuk merawat persepsi kolektif tentang keindonesiaan kita yang demokratik, toleran, dan cinta damai. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar