Jurus
Gerhana Aminudin TH Siregar Hendro Wiyanto ; Kurir seni rupa |
KOMPAS, 13 Juni 2021
Bung Aminudin yang baik,
terima kasih untuk kiriman esaimu. Sesudah bingung menyimak karanganmu, saya
berterima kasih juga karena kebingungan telah membuat saya membaca lagi
risalah yang Bung kutip (Joebaar Ajoeb, Gerhana Seni Rupa Modern Indonesia,
TePLOK Press, 2004). Bung takjub dengan ”gerhana”-nya Ajoeb (1926-1996), dan
saya tahu itu adalah kekeliruan pertama Bung. Bung takjub karena agaknya cuma
membaca alinea pertama buku ”Sekjen LEKRA” itu. Bung gemar bikin daftar
masalah yang sudah berulang-ulang disemburkan orang di mana-mana.
Institusi-institusi seni rupa kita, wacana yang dibangunnya, standar
”ke-ilmiah-an”-nya, lukisan-lukisan palsu, dan belakangan webinar-webinar
orang ”berduit”, yang semua itu Bung bilang, ”gagal paham seni rupa bangsa”.
Bung membicarakan ”gerhana” melulu dengan cara yang juga menggerhana. Jurus
gelap-gelapan ini mengingatkan saya pada kritikus kita dulu yang menyetarakan
habis-habisan materi kritik dengan cara mengritik. Kalau materi kritiknya
tidak bermutu, tidak akan lahir pula kritik seni yang berbobot, sesumbar sang
kritikus. Saya ingat, Bung bilang, ”seni rupa kita krisis scholar”, sosok itu
absen merumuskan masalah. Bung mesti berhenti ngedumel melulu…. Gerhana Ajoeb ditulis pada
awal 1990-an. ”Masalah bangsa” yang digerhanai orang-orang seni rupa adalah
masalah-masalah politik dan kebudayaan yang dicatat Ajoeb pada 1960-an sampai
1990-an. Maafkan penggunaan kata ”dan” di sini. Dengan melirik jurus gerhana
samar-samar, Bung merumuskan soalnya jadi begini: seni rupa kita membelakangi
semua warisan Bung Besar, dan kerja para seniman tak lebih daripada berkhidmat
pada kebebasan estetik alias estetisme. Bung mesti ingat juga, selera estetik
Soekarno berhenti hanya sampai lukisan-lukisan Basoeki Abdullah. Sebelum nyerempet ke John
Berger segala, mending kita ingat lagi hubungan ”gerhana” antara Bung Besar
dan si Abun-Affandi. Keduanya pernah bertengkar. Pada 1960-an, Affandi
mengusulkan tema besar mural di museumnya: di sebelah ”kiri” dilukisi para
kere, dan sebelah kanan kaum borju.
Soekarno mentah-mentah menolak ”representasi” begituan; dan kita pasti
tahu kenapa. Bung Besar bahkan mengaku tidak paham corat-coret lukisan
Affandi yang makin ruwet sesudah 1950-an. Maksud saya cuma ini:
orang-orang seni rupa perlu menyayangi Bung Besar—dan semua warisan estetik
serta politiknya—dengan cara yang lebih pintar. Affandi bukan skolar, tapi
dia biasanya pintar ”ngetes” selera orang. Sayangnya tetangga bung di
Oosterpark, Amsterdam, sana, Basuki Resobowo (1915-1999), amit-amit bilang,
bahwa pelukis ini malah tidak berguna. Affandi, kata bung Reso (”re[k]sa”,
atau ”reuzen” alias ”raksasa”, kata Hersri Setiawan), adalah ”faktor
penghambat lahirnya manusia baru di Indonesia.” Bisa saja, kalau ”berguna”
ini urusannya adalah ideologi partai. Justru si Abun sendiri adalah manusia
baru Indonesia, yang jelas-jelas ”non-mimesis”. Karena itu, tidak ajaib kalau
Basoeki Abdullah yang paling gemar melukis Bung Besar. Sebenarnya bukan soal
warisan atau jejak Bung Besar, karena warisan apa pun pasti terbatas dan
terus akan melampau. Pada harian Kompas (30/5/2021, halaman 7) yang menerbitkan
surat-esai Bung ada omongan pengampu di perguruan tinggi seni yang ngawurnya
setengah mampus. Dia bilang, seni patung kita sekarang ini sudah berkembang
menjadi ”lebih benar-benar berorientasi pasar dan komersial”. Mirip gaya
Bung, ia membandingkannya dengan tempo doeloe, zaman Soekarno ketika
proyek-proyek seni rupa banyak didanai oleh pemerintah. Apanya yang mau
dibandingkan? Pasarnya atau karya patungnya? Patron, perkembangan estetik
atau wawasan politiknya? Anakronisme, bung! Rupanya, inilah penyebab gerhana
ketakjuban di dalam karangan bung. Kita tahu Ajoeb adalah
orang yang menerjemahkan monografi seni rupa kontemporer Indonesia karya
Brita L Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat (1991; 1998). Sampul depan
kedua buku (asli dan terjemahan) adalah reproduksi karya-karya Semsar Siahaan
(1952-2005) yang sama gaharnya. Semsar menggambarkan kondisi sebagian besar
masyarakat kita yang luka oleh penindasan dan penghisapan sumber-sumber utama
kehidupan mereka: tanah, tenaga kerja, pendidikan, harapan dan seluruh masa
depan. Ajoeb menyebutkan banyak
sekali contoh ”prestasi” Orba, yang sama sekali tidak tersentuh oleh sebagian
besar sikap estetisme seniman. Istilah bung, ”khusyuk meliris(k)”. Semsar
muncul dari situasi itu, dan mulai mengecam sangat keras guru-gurunya
sendiri. Rezim otoritarian di zaman gahar-nya Semsar diringkas dengan satu
kata oleh ahli ekonomi-politik: negara di atas politik. Ajoeb menulis begini, ”…
lukisan Dede Eri Supria, Djoko Pekik, Jim Supangkat, atau Semsar Siahaan, GM
Sudarta… Hardi, Moeljono, Lucia Hartini … corak dan wawasan yang dikandung
karya mereka belum memadai.” Bung menambahi pula dengan lukisan ”Mentari
Setelah 1965” karya AD Pirous. Akan tetapi, sudah pasti naif kalau mengatakan
bahwa jenis estetisme beginian bukanlah suatu cara berpolitik. Ingatlah debat
antara politik dan estetik sebelum gerhana-nya Ajoeb. Wijaya Herlambang
menampilkannya lagi dengan jitu contoh di khazanah sastra: cerita-cerita
tragedi (1965) menyimpan pesan subliminal yang menunjukkan kerumitan ”konflik
psikologis dan manipulasi ideologis”. Dibaca begitu, tragedi
berlangsung tidak pada diri para korban, tetapi pada pelaku kekerasan. Lalu,
alih-alih simpati kepada korban, yang tersirat dari karangan bercorak
”humanis” adalah afirmasi atas peristiwa kekerasan. Dengan kata lain, masalah
(seni rupa) bangsa mestinya tidak cukup dipaparkan, tetapi mesti ”ditemukan”
di dalam karya. Bayangan gerhana hitam
itulah yang Bung bawa-bawa sampai ke ”cupang cendolan” segala. Saya komentari
ringkas saja soal ini. Cupang cendolan yang Bung kritik bukanlah teks
scholarly, yang keliru kalau dianggap cuma hasil ”melamun”. Ujung-ujungnya
Bung pasti akan bilang memalsukan sejarah. Tidak ada kurator di mana pun yang
berhasrat menulis teks (sejarah)—apalagi dengan jargon ”penyadaran”—sekadar
untuk pengantar pameran di galeri kaum berduit. Tapi teks itu bisa saja
menyumbang, entah di bagian mananya untuk sebuah historiografi seni rupa. Tapi sekarang makin jelas,
bahwa historiografi ”gerhana” semacam yang Bung angankan tidaklah bisa
menjadi teks satu-satunya. Ada sejarah-sejarah lain yang belakangan disadari
muncul dari teks-teks ”cupang cendolan”, misalnya sejarah pameran. Kalau
anakronisme bisa berakibat gagal paham, gagal paham gara-gara cuma ”takjub
Ajoeb” juga bisa menggerhana di mana-mana. Salam dari Jakarta. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar